Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gampang betul pemerintah lempar handuk soal reformasi lembaga pemasyarakatan. Kewalahan mengatasi pelbagai kisruh di penjara, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berencana mengalihkan kuasa pengelolaan penjara kepada swasta. Ide ini sepintas bisa menjadi solusi. Tapi, selama mentalitas birokrasi kita tetap korup dan pengawasan tak diatur secara ketat, privatisasi penjara justru bikin runyam.
Bukan cerita baru bahwa penjara yang semestinya menjadi tempat membina justru berubah menjadi tempat mendidik penjahat seutuhnya. Cerita terpidana mati Freddy Budiman bisa menjadi contoh. Di balik jeruji, ia justru semakin merajalela mengendalikan jaringan bisnis jutaan pil ekstasi. Badan Narkotika Nasional bahkan menyebutkan ada lebih dari 40 narapidana yang terlibat dalam sindikat narkotik internasional tahun lalu.
Kaburnya lebih dari 400 narapidana dari penjara di Pekanbaru, Riau, beberapa waktu lalu juga mencerminkan gagalnya pembinaan di dalam penjara selama ini. Hampir tak ada pembekalan keterampilan di bui dengan jumlah penghuni tiga kali melebihi kapasitas itu. Narapidana justru lebih banyak diperas. Penjara, misalnya, sengaja membuat ruang transit berjejal agar petugas bisa mengutip bayaran kepada narapidana yang ingin berpindah ruangan.
Di penjara koruptor di Sukamiskin, Bandung, fasilitasnya malah dijadikan ladang bisnis. Enam tahun lalu, Artalyta Suryani mengagetkan publik dengan sejumlah keistimewaan dan fasilitas mewah di Rumah Tahanan Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Selama bertahun-tahun itu, pengelolaan penjara dan rumah tahanan nyaris tak mengalami perbaikan berarti. Kementerian Hukum selalu menunjuk biang soalnya ada pada tingkat hunian penjara yang jauh melebihi kapasitas, timpangnya rasio sipir dan narapidana, serta anggaran yang minim. Saat ini 497 penjara di 33 provinsi, dengan kapasitas 119 ribu jiwa, diisi lebih dari 200 ribu jiwa. Biaya makan untuk narapidana yang dikeluarkan negara mencapai Rp 2,4 triliun setahun.
Memang, dengan menswastakan penjara, pemerintah bisa menghemat anggaran hingga 20-30 persen. Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Israel, yang telah menerapkannya, juga tak lagi dipusingkan oleh masalah kepegawaian. Penswastaan ini, dalam gambaran ideal, bisa menjadi cara memperbaiki kondisi penjara melalui self-generating income. Narapidana bisa bekerja, menabung, dan ikut membantu menggerakkan kegiatan ekonomi.
Hanya, keberadaan penjara swasta juga bisa menjadi ancaman. Sejak Amerika Serikat menerapkan privatisasi penjara pada 1980-an, jumlah narapidana justru melonjak tajam. Perusahaan penjara swasta Corrections Corporation of America untung besar. Bahkan banyak pelaku kejahatan tanpa kekerasan, seperti pemakaian obat dan pencurian kecil, harus menjalani hukuman seumur hidup tanpa remisi. Penjara yang semula mengurung penjahat berbahaya telah berubah menjadi penghukuman massal demi profit korporasi penjara.
Situasi seperti itu, bahkan lebih parah, bisa terjadi di sini. Apalagi moralitas aparat kita buruk. Politikus dan orang-orang berduit juga biasa bergentayangan melobi sana-sini. Ketimbang buru-buru menerapkan penswastaan, lebih baik pemerintah menuntaskan reformasi struktural di lembaga pemasyarakatan, membongkar mafia penjara, membereskan pengelolaan semua penjara, dan meningkatkan kualitas sipir. Beberapa tahun lalu, sebuah penelitian menemukan: 80 persen pegawai ternyata belum pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan pemasyarakatan.
Lembaga peradilan juga semestinya tak gampang menjebloskan pelaku kejahatan kecil, terutama pengguna narkotik, ke penjara. Faktanya, separuh penghuni penjara adalah narapidana narkotik. Padahal sebagian narapidana itu lebih layak menghuni pusat rehabilitasi ketimbang bui. Hakim juga semestinya tak sungkan menjatuhkan hukuman kerja sosial. Di Belanda, hukuman ini efektif menurunkan tingkat kriminalitas. Sepertiga penjara di Belanda justru kosong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo