Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM ingatan Muhammad Mustofa, Abdurrahman al-Baghdadi sudah ia anggap sebagai kakak. Demikian sayangnya, ia kerap menghaluskan ucapan Abdurrahman dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia saat mengenalkan Hizbut Tahrir kepada peserta pengajian agar laki-laki dari Australia itu tak tersandung masalah. "Terjemahannya saya perlunak," kata Mustofa, Jumat pekan lalu.
Itu tahun 1982. Abdurrahman baru tiba di Indonesia dari Sydney. Pemuda 25 tahun itu datang ke Bogor, Jawa Barat, bersama ayah Mustofa, Abdullah bin Nuh, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ghazali yang juga dosen Universitas Indonesia. Semula Abdullah melawat ke Australia untuk menemui salah seorang putranya yang tinggal di sana.
Di Australia, Abdullah sempat menginap di rumah orang tua Abdurrahman al-Baghdadi, imigran asal Libanon, yang merupakan sahabat lamanya. Ketika hendak pulang ke Indonesia, Abdurrahman ingin ikut. "Padahal saat itu Al-Baghdadi sudah bekerja di rumah potong hewan halal," kata Mustofa. "Dia juga tidak tahu akan bekerja apa di Indonesia."
Abdullah tak keberatan. Apalagi pengetahuan agama Abdurrahman juga bagus. Abdurrahman sudah akrab dengan pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir sejak berumur 15 tahun. Keluarganya adalah anggota Hizbut Tahrir di Libanon. Mereka pindah ke Australia dan menjadi warga negara tersebut.
Di Bogor, Abdurrahman tinggal di Pesantren Al-Ghazali dan diangkat anak oleh Abdullah. Selain mengajar di pesantren, Abdurrahman berkenalan dengan mahasiswa Institut Pertanian Bogor yang sedang giat-giatnya melakukan kajian keislaman di Masjid Al-Ghifari di kampus IPB. Di sinilah Abdurrahman menularkan pemikiran Hizbut Tahrir kepada mereka. "Beliaulah yang pertama kali membawa paham Hizbut Tahrir ke Indonesia," kata Mustofa.
Pada 1982 itu, Mustofa baru pulang dari Yordania. Selama belajar di sana, Mustofa menyelami berbagai pemikiran Islam, termasuk Hizbut Tahrir. Ia pun berkenalan dengan sejumlah aktivis, dari Al-Ikhwan al-Muslimun hingga Hizbut Tahrir. "Ketika bertemu dengan saya, Al-Baghdadi sangat senang karena ada orang Indonesia yang paham Hizbut Tahrir," katanya.
Bersama Mustofa, Abdurrahman kemudian menyemaikan gagasan Hizbut Tahrir. Mustofa menjadi penyambung lidah Abdurrahman, yang belum menguasai bahasa Indonesia, dengan mahasiswa IPB di Masjid Ghifari. Ia menerjemahkan setiap kata yang diucapkan saudara barunya itu, terkadang dengan padanan yang lebih lunak.
Menurut Imdadun Rahmat, penulis buku Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, mahasiswa IPB yang pertama kali diperkenalkan pada gagasan Hizbut Tahrir adalah Fathul Hidayat. Menyusul setelah itu Asep Saifullah; Adian Husaini; Hasan Rifai al-Faridi; Muhammad Gatot Saptono, yang belakangan mengganti namanya menjadi Muhammad Al-Khaththath; dan lain-lain.
Mereka membentuk halakah atau kelompok pengajian kecil untuk mendalami pemikiran Taqiyyuddin An-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir. Halakah digelar di Pesantren Al-Ghazali, Masjid Ghifari, dan rumah kos mahasiswa, dengan narasumber Mustofa dan Abdurrahman.
Mustofa kembali ke Yordania untuk melanjutkan kuliah. Kegiatan halakah dan perluasan jaringan diteruskan oleh Fathul Hidayat dan kawan-kawan. Abdurrahman al-Baghdadi menuntun mereka dibantu oleh Abas Aula dan Abdul Hannan, alumnus sebuah universitas di Madinah. Pemikiran An-Nabhani kemudian disebarkan ke tempat lain melalui jaringan Lembaga Dakwah Kampus, organisasi intra-kemahasiswaan yang tersebar di universitas-universitas.
Walau ikut menaburkan gagasan Hizbut Tahrir, Mustofa menolak bergabung, terutama setelah Hizbut Tahrir memproklamasikan diri sebagai Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI pada 2000. Mustofa tak setuju dengan keinginan HTI yang menggebu-gebu untuk mendirikan kekhalifahan Islam.
Ayah Mustofa, Abdullah, juga tak pernah bergabung dengan Hizbut Tahrir. "Pada saat mereka mengajak masuk, saya bilang, ’Jangan begitu berdakwah di Indonesia. Tirulah Wali Songo. Tidak ada label, yang penting ilmunya diterima’," kata Mustofa. "Mereka jawab, ’Tidak bisa, Ustad’."
Penolakan tersebut tak memutuskan hubungan Mustofa dan Abdurrahman al-Baghdadi. Mereka tetap "bersaudara". Ayah Mustofa bahkan menikahkan Abdurrahman dengan perempuan asal Bogor. Bertahun-tahun kemudian, kedua anak Abdurrahman juga menuntut ilmu di Pesantren Al-Ghazali.
Gerakan dakwah HTI pada awal-awal tak terlalu sukses. Menurut Ismail Yusanto, juru bicara HTI yang juga generasi pertama murid Abdurrahman, selama sepuluh tahun pertama, jumlah pengikut Hizbut Tahrir di Indonesia hanya 17 orang. Kini, menurut Ismail, jumlah anggota HTI di atas 1 juta orang dan tersebar di 330 kota di seluruh Indonesia. Basis terkuat HTI ada di Jakarta (meliputi Bogor), Surabaya, Bandung, Kendari, Makassar, dan Medan.
Dengan jumlah pengikut sebanyak itu, HTI bisa mengumpulkan dana lebih dari Rp 100 miliar tiap tahun. Uang tersebut untuk dana operasional organisasi dan kegiatan insidental seperti rapat dan pawai akbar di Gelora Bung Karno, Jakarta.
Dana operasional ditarik dari iuran rutin. Sedangkan dana kegiatan dipungut saat acara hendak digelar. "Anda bayangkan, yang datang ke Senayan itu 100 ribu orang. Tiap orang wajib menyumbang Rp 50 ribu. Berapa dana yang terkumpul? Rp 5 miliar," kata Ismail. "Berapa dana untuk bikin acara tersebut? Rp 2-3 miliar."
Dengan kas yang dikelolanya, HTI bisa memiliki markas sendiri di kompleks perkantoran Crown Palace di Tebet, Jakarta Selatan. Awalnya, pada 2006, HTI membeli dua "rukan" yang berimpitan seharga Rp 2,5 miliar. Tahun lalu, mereka memperluas kantornya dengan membeli lagi lapak di sebelahnya senilai Rp 7 miliar.
Agresifnya murid-murid Abdurrahman al-Baghdadi dalam mengembangkan HTI memakan gurunya sendiri. Abdurrahman terlempar dari HTI. "Dia ditendang dari Hizbut Tahrir oleh murid-muridnya yang sekarang menjadi petinggi HTI," kata Mustofa, yang kini menjadi mengasuh Pesantren Al-Ghazali sekaligus pengurus Nahdlatul Ulama di Bogor.
Menurut Mustofa, Abdurrahman kini tinggal di Bogor dan sudah menjadi warga negara Indonesia. Ia terakhir kali bertemu dengan Abdurrahman tujuh bulan lalu.
Mantan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama As’ad Ali mengatakan beberapa kali bertemu dengan Abdurrahman. Pertemuan terakhir dalam satu acara pengajian di Jakarta pada 2015. Abdurrahman, kata As’ad, "Sudah seperti orang Indonesia."
Abdurrahman al-Baghdadi masih berdakwah tapi tidak lagi menuntut pendirian khilafah. Itu juga yang, menurut As’ad, membuat Abdurrahman dipecat dari keanggotaannya di HTI oleh Hizbut Tahrir pusat bertahun-tahun lalu.
Keinginan yang menggebu-gebu untuk mendirikan khilafah itu membuat HTI dituduh ingin mengganti bentuk negara. HTI kerap berkelit bahwa itu baru sebatas ajaran, bukan tindakan. "Kalau umat tak menerima, ya sudah, sampai di sana," ujar Ismail Yusanto.
Tapi, kata Mustofa, "Mereka tak bisa mengingkari. Saya punya bukti, saya punya kartunya, karena alif-ba-ta-nya buku-buku Hizbut Tahrir saya yang ngajarin."
Anton Septian, Sidik Permana (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo