Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAJU-mundurnya pemberlakuan larangan penggunaan cantrang mengisyaratkan ada persoalan serius dalam proses terbitnya regulasi di pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada 9 Januari 2015, pelaksanaan aturan itu sudah ditunda tiga kali. Pelarangan pemakaian alat tangkap cantrang semestinya berlaku pada Juni mendatang, tapi Presiden Joko Widodo menunda lagi sampai akhir 2017.
Perbedaan antara Presiden Jokowi dan Menteri Susi semestinya tidak terjadi bila keduanya memiliki sudut pandang yang sama tentang dua hal. Pertama, alat tangkap cantrang, yang beroperasi dengan mengeruk sampai dasar laut, jelas menimbulkan kerusakan lingkungan. Kedua, pemerintah wajib memperhatikan hajat hidup nelayan dan orang banyak yang bergantung pada sektor perikanan ini.
Pemerintah tentu tak bisa sekadar melarang, mengingat alat tangkap ini sudah digunakan nelayan lokal selama bertahun-tahun. Yang memicu keributan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tidak menawarkan solusi alat pengganti cantrang.
Kebijakan tanpa solusi yang jelas memukul pendapatan nelayan itu kemudian menuai protes luas dan memaksa pemerintah memperpanjang masa pemberlakuan cantrang. Belakangan, Kementerian Kelautan menetapkan gill net, jaring vertikal yang dipasang membentang untuk menjerat ikan, sebagai alat yang boleh dipakai menggantikan cantrang. Toh, protes tak sepenuhnya reda lantaran jaring pengganti cantrang yang dijanjikan Kementerian Kelautan itu baru sedikit yang terdistribusikan kepada nelayan.
Akibatnya, saat ini bukan cuma pemilik kapal dan nelayan yang menjerit lantaran pelarangan cantrang. Kalangan perbankan, yang menyalurkan modal untuk pemilik kapal, mulai cemas terhadap pengembalian kredit yang bakal bermasalah. Data Statistik Perbankan Indonesia hingga Januari 2017 menunjukkan kredit sektor perikanan mencapai Rp 9,14 triliun, dengan kredit bermasalah tergolong besar, yakni Rp 384 miliar atau 2,17 persen.
Presiden tidak boleh membiarkan aturan penggunaan cantrang ini terus-menerus menjadi polemik. Pilihan solusi yang bisa diambil Presiden juga tidak terlalu rumit: Menteri Susi diminta secepatnya mendistribusikan alat tangkap pengganti kepada semua nelayan, baru kemudian aturan pelarangan cantrang tegas diberlakukan.
Artinya, pemerintah tetap mengedepankan aspek perlindungan terhadap lingkungan, sekaligus mendorong peningkatan pendapatan nelayan lokal dan industri perikanan dalam negeri. Keberpihakan pemerintah pada pemain lokal perlu juga ditunjukkan dengan memangkas rantai perizinan yang panjang. Saat ini, sebagai contoh, ada lebih dari 20 jenis izin bagi pemain lokal untuk mengoperasikan kapal tangkap, yang dikeluarkan oleh empat instansi pemerintah. Yang sangat menyulitkan, masa berlaku izin itu pun berbeda-beda.
Di luar soal izin, kebijakan Menteri Susi melarang cantrang demi menyelamatkan lingkungan laut perlu didukung. Tapi Menteri Susi perlu memikirkan penghidupan nelayan dengan secepatnya mendistribusikan alat tangkap pengganti, sebelum menerapkan "batas mati" larangan cantrang. Hanya dengan cara itu, ia tak akan terkesan berjalan berlawanan arah dengan Presiden Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo