MUNGKIN karena masalah suksesi sudah berkali-kali "dikunyah-kunyah" dalam berbagai diskusi dan seminar, seminar yang diselenggarakan Sabtu pagi pekan lalu dengan topik yang sama itu hampir saja batal. Izin dari pihak keamanan akhirnya diberikan juga, satu setengah -- jam sebelum seminar dimulai di Balai Surabaya Post, Surabaya. "Fakta dan Prospek Suksesi Kepemimpinan Nasional," adalah tema seminar yang diangkat oleh penyelenggara, Universitas Al-Falah Surabaya yang bekerja sama dengan harian Surabaya Post. Sekitar 100 peserta hadir dalam seminar itu. Daya tarik seminar itu adalah pembicara H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, tokoh yang berada di belakang Kelompok 21, yang pernah mengeluarkan pernyataan meminta Pak Harto tetap memegang jabatan Presiden RI periode 1993-1998 mendatang. Tak heran kalau jalan seminar itu, seperti kata Rektor Universitas Al-Falah Fuad Amsyari, bergeser dari tujuan semula: untuk mengupas soal suksesi secara keilmuan. "Tapi, justru banyak yang bertanya soal kebulatan tekad Kelompok 21," katanya. Sayang, dua tokoh lain yang diundang untuk mendampingi Alamsjah, Kasospol ABRI Letjen. Harsudiono Hartas dan Dr. Amien Rais dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tak bisa ditampilkan. Tinggallah Alamsjah dengan 20 halaman makalahnya. Alamsjah menguraikan perjalanan suksesi selama tiga zaman: masa kolonial Orde Lama, dan Orde Baru. Di zaman kolonial, kepemimpinan nasional, secara politis maupun ketatanegaraan, tak ada sama sekali. Di masa Orde Lama, Presiden Soekarno yang memangku kepemimpinan nasional. Ketika itu, suksesi sudah berlangsung secara konstitusional dengan periodisasi: masa Republik Proklamasi, masa Republik Indonesia Serikat, masa Republik Indonesia berlandaskan UUDS-1950, dan masa Republik Indonesia setelah Dekrit 5 Juli 1959-1965. Semasa itu terjadi penyimpangan konstitusional ketika lahir Tap MPRS yang menetapkan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Belakangan, Tap MPRS itu dicabut seiring dengan berakhirnya masa Orde Lama yang digantikan Orde Baru. Di masa Orde Baru, suksesi juga berjalan mulus. Yaitu, dengan telah empat kalinya dilaksanakan pemilu. Suksesi kepemimpinan nasional di masa ini dipersonifikasikan pada diri Pak Harto dengan dukungan rakyat secara konstitusional. Alhasil, kata Alamsjah, suksesi kepemimpinan nasional tak selalu harus berarti juga terjadi pergantian orang. Jadi, ribut-ribut soal alih generasi dalam kepemimpinan nasional, menurut Alamsjah, adalah tak relevan. Soal itu hanya mungkin dilaksanakan dalam lingkungan birokrasi dan militer. "Dalam dunia politik dan ekonomi, bukan umur yang menentukan. Tapi kemampuan yang berbicara," katanya. Ronald Reagan yang sudah gaek berusia 70 tahun bisa menggantikan Jimmy Carter yang masih berumur 56 tahun sebagai Presiden AS. Melihat itu, Alamsjah merasa pantas untuk mencalonkan kembali Pak Harto menjadi Presiden RI 1993-1998 mendatang. Menurut dia, Pak Harto telah berjasa dalam tiga hal. Menyelamatkan negara dari pemberontakan G30S-PKI, menegakkan stabilitas nasional dalam segala bidang selama 20 tahun, dan sukses melaksanakan pembangunan nasional. "Kawan dan lawan harus mengakui hal ini," katanya. Ketika ditanya apakah pencalonan itu merupakan upaya terselubung untuk menjadikan Pak Harto menjadi presiden seumur hidup, Alamsjah menyanggah. "Saya tak bermaksud mengangkat Pak Harto menjadi presiden seumur hidup. Beliau boleh menolak dan MPR juga bisa tak memasukkan usul ini dalam agenda sidang. Apa yang saya lakukan ini tak bertentangan dengan UUD '45," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini