Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Fraksi Gerindra akan menggelar diskusi membahas opsi-opsi setelah penghapusan presidential threshold.
Golkar ingin meninjau ulang ambang batas persyaratan partai politik peserta pemilu.
Pembuat undang-undang disarankan mengatur ambang batas maksimal syarat pembentukan koalisi pencalonan presiden.
FRAKSI Partai Gerindra di Dewan Perwakilan Rakyat gerak cepat membahas dinamika politik setelah Mahkamah Konstitusi menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold. Mereka menggelar rapat di DPR pada Selasa siang, 21 Januari 2025. Salah satu agendanya menyusun Undang-Undang Politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan fraksinya sepakat menggelar diskusi grup terpumpun (focus group discussion/FGD) untuk membahas substansi penyusunan Undang-Undang Politik bulan depan. Ia menyatakan fraksinya belum dapat menyimpulkan urusan itu karena mereka baru akan membahasnya setelah reses berakhir. "Hal ini juga tak bisa buru-buru diputuskan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyusunan Undang-Undang Politik secara omnibus pertama kali digelindingkan Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Ahmad Doli Kurnia pada 30 Oktober 2024. Komisi II DPR menyambut usulan tersebut. Ketua Komisi II Rifqinizamy Karsayuda bersurat kepada pimpinan DPR dan Baleg pada 30 Desember 2024. Isi surat itu adalah keinginan komisinya menyusun paket Undang-Undang Politik secara omnibus.
Paket itu rencananya menggabungkan minimal tiga undang-undang dalam satu undang-undang. Ketiganya adalah Undang-Undang Pemilihan Umum; Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah; serta Undang-Undang Partai Politik.
Sidang putusan uji materi undang-undang mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 23 Oktober 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Pembahasan paket Undang-Undang Politik makin menguat setelah Mahkamah Konstitusi menghapus presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dalam Undang-Undang Pemilu dua pekan lalu. Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 mengubah Pasal 222 Undang-Undang Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi membeberkan lima pertimbangan. Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden. Kedua, pengusulan pasangan calon presiden oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional. Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden, partai peserta pemilu bisa bergabung sepanjang tidak menyebabkan dominasi partai.
Keempat, partai peserta pemilu yang tidak mengusulkan calon presiden akan mendapat sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya. Kelima, perubahan Undang-Undang Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang berfokus pada penyelenggaraan pemilu, termasuk partai yang tidak memperoleh kursi di DPR.
Sufmi Dasco Ahmad mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut cukup menarik. Sebab, Mahkamah tidak memutuskan sendiri, melainkan menyerahkannya kepada pembuat undang-undang untuk membuat rekayasa konstitusi. "Ini kan belum pernah ada dalam putusan MK," katanya.
Dasco menyatakan pada prinsipnya DPR sepakat calon presiden tidak boleh terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Namun ia menyerahkan kepada setiap fraksi di DPR dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Ia juga optimistis partai politik Koalisi Indonesia Maju—koalisi pendukung Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024—akan mempunyai satu pola yang sama mengenai bentuk rekayasa konstitusi tersebut.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Adies Kadir mengungkapkan, partainya ingin meninjau ulang ambang batas persyaratan partai peserta pemilu dalam Undang-Undang Pemilu. Peninjauan ulang itu merupakan bagian dari rekayasa konstitusi yang akan diusulkan Fraksi Golkar di DPR.
Adies mengatakan mekanisme tersebut diharapkan dapat menghindari jumlah pasangan calon presiden peserta pemilu menjadi terlalu banyak.
Debat ketiga calon presiden 2024 di Istora Senayan, Jakarta, 7 Januari 2024. Dok. TEMPO/Febri Angga Palguna
Anggota komisi bidang pemerintahan DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Aria Bima, menyebutkan fraksinya masih membahas bentuk rekayasa konstitusi yang direkomendasikan Mahkamah Konstitusi. Ia menyatakan rekayasa konstitusi itu akan disesuaikan dengan kebutuhan kerja di DPR.
"PDIP tidak ingin regulasi berjalan demokratis secara prosedural, tapi tak substantif," katanya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP Said Abdullah mengatakan partainya akan menggunakan mekanisme perekayasaan konstitusional melalui kerja sama koalisi partai dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Caranya, mengatur mekanisme kerja sama partai tersebut.
"Tanpa mengurangi hak setiap partai untuk mengajukan kandidat, presiden dan wakil presiden yang terpilih tetap akan memiliki dukungan politik yang kuat di DPR," ujar Kepala Badan Anggaran DPR ini melalui keterangan tertulis.
Mantan hakim Mahkamah Konstitusi, I Dewa Gede Palguna, menyarankan partai menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sebagai seruan dengan bersungguh-sungguh mulai mentradisikan prinsip-prinsip meritokrasi.
"Tanpa prinsip itu, partai politik bukan lagi infrastruktur demokrasi, melainkan bagian dari persoalan serius dan beban demokrasi," ucapnya.
Pengajar hukum tata negara di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan judicial order dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sesungguhnya menghendaki tidak ada aksi memborong partai ataupun skenario membatasi pilihan pemilih dalam pilpres dengan membentuk koalisi gemuk. Sebab, koalisi gemuk dapat berdampak melemahkan sistem presidensial karena lemahnya kekuatan penyeimbang terhadap kekuasaan.
Titi menyarankan substansi yang dapat diubah pembuat undang-undang dalam Undang-Undang Pemilu di antaranya pengaturan ambang batas maksimal syarat pembentukan koalisi pencalonan presiden. Ia mengusulkan ambang batas maksimal itu 50-60 persen dari koalisi pencalonan untuk memungkinkan keberagaman pilihan. "Selain itu, jalannya pemerintahan akan memiliki kekuatan penyeimbang melalui partai-partai di DPR yang tidak akan melulu bergabung dengan koalisi partai anggota kabinet," tuturnya.
Selain itu, kata Titi, pembentuk undang-undang perlu mengatur agar partai peserta pemilu tidak asal-asalan mengusulkan pasangan calon presiden. Partai politik wajib memastikan pasangan calon yang diusung lahir dari proses rekrutmen yang demokratis. Misalnya, pasangan calon presiden diputuskan melalui pemilihan atau keputusan internal partai yang dilakukan secara inklusif dan demokratis.
"Hal itu bisa dilakukan dengan model pemilu pendahuluan di setiap partai yang harus diikuti kader atau figur-figur politik potensial untuk bisa dicalonkan dalam pemilihan presiden," ujarnya. Titi berharap pasangan calon presiden yang diusung partai peserta pemilu dapat mencerminkan aspirasi anggota partai, pengurus, ataupun konstituen partai yang bersangkutan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo