Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Satu akun media sosial di Jawa Timur mendapat teguran dari polisi virtual karena mengkritik pemerintah.
Sejak 2016, polisi jorjoran berbelanja perangkat lunak dan keras untuk patroli siber.
Polisi virtual berpatroli selama 24 jam.
SEKITAR dua jam sebelum hari berganti, satu pesan masuk ke kotak surat akun Instagram @surabayamelawan pada Jumat, 26 Februari lalu. Pengirimnya adalah akun @siberpoldajatim, yang memiliki 2.208 pengikut. Mengaku dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus, pengirim pesan meminta pengelola akun @surabayamelawan menghapus unggahan di media sosial karena ditengarai melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tapi tak ada petunjuk sama sekali konten mana yang dianggap melanggar hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu Everdine--demikian pemilik @surabayamelawan ingin dipanggil--mengunggah sebuah video kompilasi. Isinya membandingkan razia pedagang pasar saat pembatasan sosial berskala besar dan kerumunan massa saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Maumere, Nusa Tenggara Timur. Dalam keterangan video itu, dia menyebutkan Presiden bisa bebas dari hukuman, sementara rakyat harus menerima sanksi ketika melanggar protokol kesehatan. “Ruang untuk masyarakat bersuara seperti ditutup,” kata Everdine, yang meminta identitasnya disamarkan karena alasan keamanan, pada Rabu, 24 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Everdine tak mengacuhkan peringatan polisi. Dia membiarkan konten video itu tetap terpasang di akun Instagram miliknya, yang memiliki lebih dari 28 ribu pengikut. Hingga 27 Maret lalu, unggahan razia pedagang itu sudah ditonton 13 ribu kali. Akun @surabayamelawan pun tak diblokir dan masih mengunggah konten bernada kritik kepada pemerintah. Salah satunya meme kebijakan impor komoditas, seperti beras dan jagung, yang dipublikasikan pada 26 Maret lalu.
Rekaman permintaan maaf Arkham (kanan) yang diunggah akun Instagram @polrestasurakarta,15 Maret 2021. instagram @polrestasurakarta
Edy A. Effendi, pemilik akun Twitter @SulukMalam, pernah mendapat teguran serupa dari polisi pada 23 Februari lalu. Pengirimnya akun resmi Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia, @CCICPolri. Dia menerima peringatan itu setelah mengomentari unggahan anggota staf khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, yang mempertanyakan kondisi Jakarta yang terus dikepung banjir. Effendi menyebut Benny sebagai kafir dan menuduh dia intoleran. “Secara logika bahasa, orang muslim pun bisa kafir,” ujarnya.
Direktorat Siber meminta Effendi mengoreksi konten tersebut lewat direct message karena dinilai mengandung ujaran kebencian. Jika tidak mengoreksi, dia akan menghadapi proses hukum. Tapi Effendi sempat menyanggah. Dia mempertanyakan koreksi apa yang dikehendaki polisi dan mengajak administrator akun Direktorat Siber berdiskusi soal logika bahasa. Namun dia tak mendapat jawaban. “Saya seperti menerima surat cinta tapi berbau teror,” kata Effendi.
Besoknya, Effendi mengoreksi cuitannya. Dalam unggahan itu, dia menyindir Benny yang menjadi pejabat di BPIP tapi ikut mengurus banjir Jakarta. Akun Direktorat Siber juga ditautkan dalam cuitan tersebut.
Pada 13 Maret lalu, Arkham Mukmin, warga Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, diciduk Kepolisian Resor Kota Surakarta setelah menyindir Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka. Arkham berkomentar di akun @garudarevolution yang memuat pernyataan anak Presiden Joko Widodo itu mengenai lokasi penyelenggaraan kompetisi sepak bola Piala Menpora. Arkham ragu terhadap pengetahuan Gibran tentang sepak bola. “Tahu apa dia tentang sepakbola, taunya dikasih jabatan saja,” tulis Arkham melalui akun pribadinya, @arkham_87.
Tim patroli siber Polresta Surakarta disebut telah mengirimkan peringatan, tapi tak digubris. Polisi kemudian memanggil Arkham karena dia dianggap menolak menghapus unggahan tersebut. Rekaman video permintaan maaf Arkham kemudian diunggah akun Instagram @polrestasurakarta pada 15 Maret lalu. Didampingi seorang pria berkemeja hitam dengan latar belakang layar hitam bertulisan “Jangan Mudah Berkomentar yang Tidak Sesuai Fakta”, Arkham memohon ampun kepada Gibran dalam video berdurasi sekitar dua menit. Dia mengaku menyesal dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Tengah Komisaris Besar Iskandar F. Sutrisna menyangkal jika polisi disebut menangkap Arkham. Menurut dia, Polresta Surakarta hanya mengingatkan agar warga Internet, termasuk Arkham, tidak melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Setelah pemilik akun diedukasi agar segera menghapus postingan-nya, yang bersangkutan menyadari kesalahannya dan meminta maaf,” ucap Iskandar.
Hingga Kamis, 25 Maret lalu, Direktorat Tindak Pidana Siber Kepolisian RI telah memverifikasi 113 akun yang terbukti memuat ujaran kebencian. Namun polisi hanya berhasil mengirimkan peringatan kepada 58 akun. Sisanya, polisi gagal mengirimkan peringatan karena akun Direktorat Siber diblokir oleh pemilik akun atau konten sudah dihapus sebelum teguran dilayangkan.
•••
MARKAS Besar Kepolisian RI mengaktifkan patroli virtual di media sosial setelah terbitnya Surat Edaran Kepala Polri Nomor SE/2/II/2021 bertanggal 19 Februari 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Diteken Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, warkat itu dibuat setelah Presiden Joko Widodo memerintahkan polisi membuat pedoman interpretasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena banyak kasus warga negara yang saling lapor.
Sigit mengklaim polisi virtual bertujuan mengawasi, mendidik, memperingatkan, dan mencegah masyarakat dari tindak pidana siber. “Kalau ada ujaran kebencian, aplikasi polisi virtual akan mengenali dan mengirimkan peringatan kepada pemilik akun,” katanya.
Sejumlah organisasi kemasyarakatan sipil mengkritik penggunaan polisi virtual. Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, mengatakan patroli siber cenderung membatasi kebebasan berpendapat masyarakat. Menurut dia, program polisi virtual juga tak punya metode pengawasan yang jelas sehingga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menjelaskan, program polisi virtual melampaui tugas dan wewenang yang diberikan Undang-Undang Kepolisian. Mereka yang mendapat teguran pun tak memiliki kesempatan membela diri. “Patroli siber dipakai untuk mendisiplinkan warga negara secara berlebihan,” ujar Damar.
Menurut dia, masifnya patroli virtual tecermin dalam pengadaan infrastruktur siber di Mabes Polri. Dalam situs lelang pengadaan elektronik milik Polri, Korps Bhayangkara sedikitnya telah membelanjakan Rp 1,8 triliun untuk membeli perangkat lunak dan keras sejak 2016, dengan nilai kontrak terkecil sekitar Rp 85 miliar. Peralatan itu antara lain terpasang di Badan Intelijen dan Keamanan serta Badan Reserse Kriminal Polri. SAFEnet menengarai peralatan itu tak hanya digunakan untuk berpatroli di dunia maya, tapi juga terlibat dalam aktivitas membangun narasi kebijakan pemerintah. Salah satunya pengesahan omnibus law.
Namun Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Prabowo Argo Yuwono membantah jika polisi disebut mengekang kebebasan berpendapat dengan mengaktifkan program polisi virtual. Dia mengklaim kepolisian berupaya mengedukasi masyarakat mengenai perilaku di dunia maya. Ihwal jorjoran belanja peralatan, Direktur Tindak Pidana Siber Polri Brigadir Jenderal Slamet Uliandi mengklaim pembelian itu wajar. “Kami menjalankan fungsi pengamanan dan penertiban masyarakat,” katanya.
Aktivitas polisi virtual dikendalikan dari Gedung Badan Reserse Kriminal Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Menempati ruangan seluas dua kali lapangan badminton, ruang kerja tim polisi virtual terbagi dalam dua bilik: periset profil media sosial dan analis. Di bilik periset ada layar raksasa yang terpacak di depan lebih dari 20 set komputer yang digunakan para operator.
Ketika Tempo mengunjungi pusat komando polisi virtual pada Kamis, 25 Maret lalu, ada sembilan petugas di ruang riset dan dua orang di bilik analis. Para petugas itu mengenakan pakaian bebas, dengan warna dominan hitam. Tiap orang menatap dua layar komputer yang saling terkoneksi.
Seorang laki-laki berperawakan lencir dan berkacamata duduk di barisan paling belakang. Dia sibuk menggerak-gerakkan tetikus dan menatap monitor selebar 22 inci di sisi kiri. Di layar itu terpampang akun Instagram seseorang yang diduga mengunggah ujaran kebencian. Sejenak mencari profil pemilik akun, laki-laki itu kemudian membuat tangkapan layar akun Instagram target. Gambar tersebut kemudian ditempelkan pada lembar dokumen Microsoft Word. “Output dari kami adalah laporan informasi,” tutur pria yang enggan menyebutkan namanya itu.
Suasana ruang Siber Crime Bareskrim Polri, Jakarta, 25 Maret 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Direktur Tindak Pidana Siber Brigadir Jenderal Slamet Uliandi mengatakan semua anggota tim patroli siber adalah polisi aktif. Tim terbagi dalam tiga sif yang masing-masing bekerja selama sekitar delapan jam. “Background mereka adalah penyidik,” ujar Slamet.
Seorang perwira pertama polisi yang mendampingi selama kunjungan menyebutkan jam kerja anggota polisi virtual bisa molor bila ada topik yang riuh di media sosial. Dia mencontohkan, polemik bahan baku dan efek samping vaksin AstraZeneca sempat membuat tim patroli siber bekerja hingga belasan jam. Perwira ini menyebutkan ada sejumlah narasi yang mengaitkan kandungan vaksin itu dengan etnis tertentu.
Pemetaan akun media sosial yang melanggar bisa juga berasal dari laporan masyarakat yang masuk melalui situs resmi Direktorat Siber. Setelah diolah menjadi laporan informasi, konten target akan dikaji tim analis dan pimpinan bersama para pakar, antara lain ahli hukum pidana dan sosiologi. Pembahasan itu biasanya digelar dalam rapat evaluasi yang berlangsung saban sore sekitar pukul 16.00.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, adalah salah satu pakar yang dilibatkan oleh Direktorat Siber. Menurut dia, rapat evaluasi konten biasanya berlangsung selama satu jam. Trubus mengaku kerap memberikan pendapat tentang dampak yang timbul karena unggahan seseorang di media sosial. Dia mencontohkan banyak unggahan di media sosial yang menyebut Cina dan kafir yang dapat memantik permusuhan. “Kami cuma memberi masukan. Penentuan apakah akan dikirim direct message atau tidak itu menjadi wewenang Polri,” ucapnya.
Brigadir Jenderal Slamet Uliandi mengatakan tak semua laporan informasi dari tim berujung pada pesan peringatan ke kotak surat pemilik akun media sosial. Tim polisi virtual tak akan mengirimkan direct message jika rapat evaluasi tak menemukan unsur kabar kibul atau ujaran kebencian dalam akun target. Slamet menyebutkan polisi tak akan menindak akun yang mengkritik pemerintah asalkan disampaikan secara beradab. “Kami memprioritaskan langkah preemtif dan preventif,” kata lulusan Akademi Kepolisian 1991 ini.
RAYMUNDUS RIKANG, DEVY ERNIS, ANDITA RAHMA, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo