Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta -- Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Habiburokhman mengklaim Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan produk perundang-undangan paling partisipatif. Ia membantah tudingan, pembahasan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tersebut tertutup dan tak transparan. ”Justru ini pembahasan paling partisipatif dan transparan. Kami lakukan rapat-rapat terbuka, bahkan live streaming (siaran langsung),” kata Habiburokhman melalui keterangan tertulis, dikutip Jumat, 18 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut dia, Komisi Hukum DPR menggelar sejumlah kegiatan sosialisasi dan diskusi publik soal RUU KUHAP, salah satunya seminar daring dengan 7.300 peserta. Habiburokhman juga menyebutkan, komisi yang membidangi penegakan hukum itu sudah melakukan delapan kali penyerapan aspirasi, termasuk dengan Mahkamah Agung, akademikus, organisasi masyarakat sipil, dan advokat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Semula, DPR menyatakan akan melanjutkan pembahasan tentang perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana itu setelah masa reses Lebaran 2025. Namun, keputusan itu berubah. Habiburokhman mengumumkan pembahasan RUU KUHAP akan dilakukan pada masa sidang berikutnya. "Kami bersepakat (RUU KUHAP) belum di masa sidang saat ini, kami hold dulu kemungkinan besar (dibahas) baru di masa sidang mendatang," ujar politikus Partai Gerindra itu.
Ia menjelaskan, keputusan penundaan itu mempertimbangkan singkatnya masa persidangan III pada tahun sidang 2024-2025. Masa sidang kali ini hanya 25 hari aktif. Adapun pembahasan RUU idealnya membutuhkan durasi paling lama hingga dua bulan.
Habiburokhman menuturkan, Komisi III DPR akan memanfaatkan waktu menuju masa sidang berikutnya untuk menampung aspirasi masyarakat. "Satu bulan ke depan kami membuka diri terhadap masukan-masukan dari masyarakat sehubungan dengan KUHAP," ujarnya.
Penjelasan tersebut mendapat respons dari dua lembaga pegiat hukum, yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Berikut tanggapan YLBHI dan ICJR soal klaim Komisi III DPR bahwa pembentukan RUU KUHAP paling partisipatif.
YLBHI: Partisipasi Publik Seharusnya Dimulai Sejak Awal
Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, keterlibatan masyarakat dalam pembentukan RUU KUHAP seharusnya dimulai dari awal. Ia menilai revisi KUHAP kurang partisipatif bahkan sejak proses perumusannya. “Tiba-tiba saja sudah jadi drafnya di awal. Padahal seharusnya pelibatan masyarakat, pelibatan ahli, pelibatan aktivis, itu harus lebih luas lagi dari awal,” ujar Isnur saat dihubungi Tempo pada Jumat, 18 April 2025.
Menurut dia, partisipasi publik harus dilakukan di semua tahapan pembentukan undang-undang. Mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangannya. Ia mengingatkan Komisi III DPR bahwa keterlibatan masyarakat itu harus yang bermakna dan bukan hanya di satu tahapan saja.
“Harusnya libatkan lebih dalam lagi, lebih luas lagi, dan lebih banyak orang-orang yang berkepentingan, termasuk korban. Kita harus mendengarkan korban dan pihak-pihak yang pernah mengalami bagaimana kejamnya proses penyidikan pidana, dugaan proses penyiksaan dan lain-lain,” tutur Isnur.
YLBHI meminta Komisi III DPR lebih terbuka dan perlahan-lahan dalam pembentukan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ini. “Kami mendorong Komisi III DPR untuk mengundang atau melibatkan ahli lebih luas lagi, seperti ahli hukum acara pidana, viktimologi, kriminologi, dan semua lebih luas lagi,” ujar dia.
ICJR: Draf RUU KUHAP Punya Banyak Catatan
Dihubungi secara terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif ICJR Maidina Rahmawati mengatakan belum bisa menilai apakah pembentukan RUU KUHAP sudah cukup melibatkan partisipasi masyarakat atau tidak. “Kami belum bisa menyimpulkan pastisipatif atau tidak, karena dibenturkan oleh pernyataan Habiburokhman bahwa pembahasan ini masih tahap awal,” ujar Maidina pada Jumat, 18 April 2025.
Maidina mengatakan, Koalisi Masyarakat Sipil memang sempat diundang oleh Badan Keahlian DPR pada Januari 2025. Namun, Koalisi Masyarakat Sipil--ICJR bagian dari koalisi-- tidak mendapatkan informasi lanjutan. “Kami tidak terinfo kelanjutan penyusunan undang-undangnya, tiba-tiba pada 18 Februari 2025 ada rapat paripurna penetapan RUU KUHAP menjadi usulan DPR,” ujar dia.
Ia mengatakan kala itu, draf RUU KUHAP tidak dipublikasikan oleh DPR. Baru pada 20 Maret 2025, DPR mempublikasikan naskah akademik RUU KUHAP melalui laman resminya. “Ternyata draf itu punya banyak sekali catatan,” tutur Maidina.
Pemerintah dan DPR sempat membahas usulan revisi KUHAP pada 2012. Namun disepakati pembahasan RUU KUHAP ditunda sembari memprioritaskan pembahasan RUU KUHP.
Maidina mengatakan, rangkaian catatan progresif yang sudah ada di draf revisi KUHAP pada 2012 hilang seluruhnya. Menurut dia, sejumlah lembaga seperti ICJR, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), hingga Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Asperhupiki), telah mengajukan naskah usulan atau rekomendasi RUU KUHAP. “Tapi masalah fundamental soal pengawasan seluruh proses peradilan pidana di Indonesia belum sama sekali diatasi di draf revisi KUHAP 2025 ini,” ujar dia.
Komisi III DPR sempat mengundang Koalisi Masyarakat Sipil berdiskusi mengenai rancangan revisi KUHAP pada 8 April 2025. Anggota koalisi yang hadir di antaranya perwakilan ICJR, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Indonesian Legal Resource Center (ILRC), hingga Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Namun, diskusi itu bukan bagian dari pembahasan formal RUU KUHAP. Koalisi menganggap diskusi itu tak bisa dijadikan sebagai klaim bahwa partisipasi publik bermakna telah dilakukan. Maidina menyebutkan hingga kini belum ada undangan lanjutan dari lembaga legislatif itu untuk berdiskusi soal revisi KUHAP. “Kami sudah bersurat ke semua fraksi, kami menunggu mereka untuk mengizinkan untuk ditemui,” kata dia.
Pilihan Editor: