Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cengkareng kacau, maklum masih baru

Pembukaan pengoperasian pelabuhan udara internasional cengkareng diwarnai kesemrawutan. Ribuan penumpang batal terbang dan ada pesawat yang salah parkir akibat macetnya komunikasi & kurang persiapan.(nas)

6 April 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DRAMA singkat itu berlangsung sekitar 20 menit. Pada pukul 10.15 Senin 1 April lalu, pesawat Airbus A-3 10 punya Singapore Airlines dengan nomor penerbangan 202 mendarat di pelabuhan udara internasional Cengkareng. Ini penerbangan internasional pertama yang mendarat di Cengkareng, sejak pengoperasian penuh bandar udara tersebut hari itu. Tepat pukul 10.20 pesawat dengan 173 penumpang itu berhenti di terminal A2, moncongnya tepat pada bulatan kuning di titik berhenti pesawat. Pelan-pelan belalai (aerobridge) bergerak mendekati, ujungnya agak terguncang-guncang. Di ujung belalai telah siap duta besar Singapura untuk Indonesia J.F. Conceicao dengan rombongannya, para pejabat Departemen Luar Negeri dan Dirjen Perhubungan Udara Sutoyo. Mereka menjemput S. Jayakumar dan Yeo Chew Tang, dua menteri Singapura yang datang untuk mempersiapkan kunjungan PM Lee Kuan Yew. Di lorong di belakang belalai tampak Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin dan direktur utama Perum Pelabuhan Udara Jakarta Cengkareng (PUJC) Karno Barkah. Seorang petugas pengendali belalai memutar-mutar tombol, tapi ujung belalai tak juga bisa mendekati pintu depan pesawat. Seorang petugas lain membantu. Ia juga gagal. Mereka tampak grogi dan berkeringat. Sepuluh menit telah lewat, tapi itu belalai tetap bandel. Dubes Conceicao menggeleng-gelengkan kepala. Komentar pun bermunculan. Dirjen Sutoyo bergumam, "Ya, tldak bisa, wong pesawat itu terlalu maju." Lima belas menit berlalu. Wajah kedua petugas belalai makin pucat. Apa boleh buat, pilot airbus terpaksa diminta mengundurkan pesawatnya, agar pintu depan pesawatnya terjangkau belalai elektronik. Baru setelah pesawat mundur, belalai bisa mencaplok pintu pesawat, tepat pukul 10.40. Semua orang pun tersenyum lega. Sepuluh penumpang pertama, termasuk kedua menteri Singapura itu, memperoleh kalungan bunga dan juga jabatan tangan Roesmin Nurjadin dan Karno Barkah. "Saya, sebagai orang Indonesia, agak malu dengan kejadian tadl," kata salah seorang penumpang yang tidak kebagian kalungan bunga. Dubes Conceicao mengelak menanggapi "insiden" singkat tersebut dan membelokkan percakapan dengan mengomentari arsitektur PUJC yang katanya sangat indah, dan "mencerminkan kebudayaan Indonesia". Menurut Menteri Roesmin, insiden belalai itu terjadi karena kesalahan petugas menara. "Seharusnya pesawat itu berhenti di terminal A3, tapi tower memerintahkannya berhenti di terminal A2. Lebih dari itu, parking master menyangka, yang datang pesawat Boeing 747, hingga meminta pesawat parkir di bundaran kuning tempat berhenti Boeing 747. Akibatnya, belalai tak bisa mendekati pintu pesawat," katanya. Tapi buru-buru ditambahkannya, "Ini 'kan masih baru. Lumrah kalau masih ada keseretan. Waktu operasi pertama Changi saja, belalai baru klop ke pintu pesawat setelah makan waktu dua jam," kata Roesmin Nurjadin. Ya, maklum, masih baru. Ucapan ini begitu seringnya terdengar pada hari pertama pengoperasian pelabuhan udara yang nama asingnya Jakarta International Airport Cengkareng aIAC) ini. Maklum, masih baru itu pula yang mendorong ribuan orang, kebanyakan pelajar dan masyarakat setempat, menembus panas terik, mengunjungi JIAC pada hari-hari pertama April ini. Suasananya seperti piknik. Ibu-ibu berpayung datang sambil menggendong bayi dan menggandeng anak-anak. Bis PPD penuh sesak dengan penumpang. Banyak yang datang naik sepeda motor atau sepeda. Sampah pun berserakan di mana-mana. Soalnya, antara lain, tidak terlihat adanya tempat sampah di JIAC. Suasana centang perenang memang mewarnai JIAC pada 1 April lalu. Di beberapa tempat, beberapa tukang masih bekerja menyelesaikan kios atau toko. Ruangan VIP baru setengah jadi. Hanya satu telepon umum yang ada pesawatnya, yang lain cuma kabelnya yang mencuat. Satu-satunya telepon itu pun tidak bisa dlpakai menelepon keluar. Di semua loket, secarik kertas dengan coretan spidol tertempel, menunjukkan fungsi loket itu. Tidak ada, misalnya, papan dengan tulisan jelas yang mudah dibaca. Pelud Cengkareng masih miskin informasi. Maklum, masih baru. Yang amat merisaukan adalah jadwal penerbangan. Pesawat Garuda pertama ke Ujungpandang, yang seharusnya berangkat pukul 05.00, baru berangkat setengah jam kemudian. Penerbangan Garuda ke Singapura, yang seharusnya pukul 07.00, baru berangkat satu jam kemudian. Makin siang, awal April itu, makin kacau. Dan sikap penumpang makin panas. Umumnya mereka menunggu keberangkatan pesawat yang kebanyakan tertunda tanpa penjelasan. Ketika Menteri Roesmin pada pukul 11 meninjau terminal B, penerbangan Garuda dalam negen, para penumpang yang sebagian sudah datang sejak pukul 07.00 mulai bergerombol dan menggerutu. Sama sekali tidak ada penjelasan mengapa dan berapa lama sejumlah penerbangan ditunda. Soalnya, meja informasi, yang dilengkapi dengan komputer merk Texas, buatan Amerika, di tiap terminal, sudah ditinggalkan petugasnya sejak pukul 10.00. Agaknya mereka "takut" dengan pertanyaan para penumpang yang makin siang makin berani. Lama kelamaan, komputer tanpa penjaga ini dipakai bergantian oleh para pengunjung, dengan seenaknya. Suasana di ruang tunggu kurang lebih sama. Sebagian penumpang bahkan mulai berteriak-teriak. Kegelisahan mereka, selain karena kesal, mungkin juga karena rasa lapar. Siang itu restoran yang terletak di depan lorong utama diserbu. Dan akibatnya, muncul keluhan lain. "Harganya amat mahal. Makan nasi goreng dan minum air Aqua saja habis lima ribu rupiah," kata seorang pria. Senin siang itu Andi Meriem Mattalatta tampak terselip di antara penumpang yang menunggu. "Saya mesti sampai di Ujungpandang hari ini, sebab besok saya harus menyanyi di depan PM Singapura Lee Kuan Yew," tuturnya. Penyanyi cantik ini sudah menunggu tiga jam, tapi hingga pukul 13.30 belum juga ada tanda pesawatnya akan berangkat. Keributan juga terjadi setelah pesawat mendarat. Sejumlah penumpang dari Ujungpandang mendatangi pusat pengendalian operasional GIA yang terletak di pinggir kiri terminal B. Ternyata, empat jam setelah pesawat mendarat, bagasi mereka belum juga muncul. "Kami juga tidak tahu," kata petugas Garuda. "Garuda brengsek," teriak seorang penumpang sambil ngeloyor pergi. Sekitar pukul 18.30 pesawat Garuda DC10 Bali dari Tokyo mendarat di apron terminal B, padahal seharusnya di terminal A yang merupakan terminal penerbangan internasional. "Kami disuruh parkir di sini oleh Air Traffic Control," kata seorang awak pesawat. Seharusnya dari Jakarta pesawat itu langsung berangkat ke Bali, tapi tertunda. Mendaratnya pesawat DC10 Bali ini sempat membuat geger karena penumpang jurusan Medan mengira itu pesawat yang akan mengangkut mereka. Mereka turun ke apron dan hampir naik tangga pesawat. Setelah diberi tahu, mereka berteriak ramai karena kecewa. Seorang nyonya berwajah pucat, rambutnya awut-awutan, Senin malam itu tampak menggendong bayinya yang tidur. Jaket merahnya dilepas untuk menyelimuti sang bayi. Bersama suami, ibu, dan adiknya, nyonya itu baru saja turun dari pesawat yang akan mengangkutnya ke Pontianak. Lho? "Kami sudah duduk di pesawat selama setengah jam, kernudian disuruh turun karena penerbangan dibatalkan," katanya sambil mengusap keringat bayinya. Keluarga itu sudah berada di Cengkareng sejak. pukul 7 pagi. Artinya, hampir 12 jam. Seorang wanita lain naik pitam: berteriak-teriak sambil bertolak pinggang, entah kepada siapa. Kopor dan bawaannya berserakan di kakinya. "Kalau mau batalkan, ya batalkan. Tapi jangan begini caranya. Beri tahu, dong, jangan siksa orang seenak perut sendiri. Sudah tak memberi tahu, juga tidak meminta maaf. Huh." Puncak kekacauan terjadi Senin malam, yang menimpa pesawat Garuda DC-9 dengan nomor penerbangan GA 434. Hingga tengah malam, pesawat jurusan Yogyakarta yang seharusnya berangkat pukul 10 pagi itu masih terparkir di gate B6 terminal B. Belalai yang menghubungkan subterminal dengan pesawat masih terpasang. Di lorong belalai yang dilapisi karpet merah yang panjangnya sekitar 20 meter, beberapa orang kulit putih tampak tidur-tiduran. Sejumlah tas berserakan di sana sini. Di dekat kokpit, beberapa penumpang bule berbicara keras kepada awak pesawat yang terdiri dari pilot, kopilot, pramugara, dan pramugari. Mereka "disandera" para penumpang. "Kami tidak boleh meninggalkan kokpit ini," ujar Syaifuddin, salah seorang awak pesawat. "Kami sudah di atas pesawat sejak jam empat sore," sambung seorang pramugari. Wajahnya muram. Rupanya, keberangkatan pesawat itu mengalami kelambatan. Sekitar pukul 16.00, untuk kesekian kalinya, lewat pengeras suara yang tidak begitu jelas, diumumkan bahwa keberangkatan penerbangan GA 434 itu enam jam terlambat. Entah mengapa, keberangkatan itu ditunda lagi, tanpa kepastian sampai kapan. Garuda kemudian menyediakan bis untuk mengangkut 76 penumpang itu menginap di hotel, atas tanggungan Garuda. Namun, para turis itu menolak. Salah seorang, turis wanita, rupanya sakit. Gadis berambut pirang itu dibaringkan di dekat pintu belalai. "Ia perlu dokter," kata seorang wanita Prancis. Rombongan itu terdiri dari berbagai bangsa, kebanyakan Prancis dan Jerman. "Kami sudah tertahan lebih dari sepuluh jam, tanpa diberi makan dan minum. Bsgasi kami semua, sejak pagi, entah terselip di mana. Kami belum mau pergi sebelum diberi penjelasan mengapa semua ini sampai terjadi," ujar seorang pria, dalam bahasa Inggris. Seorang lelaki tua menyambung, "Kami datang untuk melihat negeri Anda. Kami kecewa dengan pengalaman ini." Pukul 21.10 tim kesehatan datang. Gadis yang sakit itu ternyata alergi bila terlalu lama berada di ruangan tertutup. Pada saat si sakit diperiksa, dirut pelud Cengkareng Karno Barkah datang. Memakai baju putih lengan panjang dan dasi kupu, Karno segera menangani kasus ini. Pukul 24.00 tercapai kesepakatan. Awak pesawat "dibebaskan". Malam itu juga para turis diangkut ke hotel Horison. "Saya menjamin bahwa Selasa pagi mereka pasti diberangkatkan ke Yogya," kata Karno Barkah. Kekacauan Senin lalu di Cengkareng itu memang parah. Hari itu, di terminal B menurut rencana ada 54 penerbangan domestik Garuda dan 11 penerbangan internasional di terminal A. "Lebih dari 40 persen penerbangan itu gagal," kata seorang pejabat Garuda. Menurut perkiraannya, jumlah penumpang yang diangkut dengan 54 penerbangan itu 5.000. Itu berarti, sekitar 2.000 penumpang pada hari pertama pengoperasian Cengkareng gagal dlangkut. Buat mereka yang urung berangkat, tidak ada ganti rugi dari Garuda. Mereka yang tinggal di Jakarta memang bisa pulang ke rumah, dengan naik bis DAMRI yang bertarif Rp 2.000, atau dengan taksi yang tarifnya jauh lebih mahal. Setlap penumpang taksi dari Cengkareng, yang dimonopoli perusahaan Blue Bird, lebih dulu harus membayar Rp 5.000: Rp 2.700 untuk pembayaran tol jalan Sediyatmo dan Rp 2.300 untuk setoran penguasa pelud Cengkareng. Plus biaya yang tertera di argometer. Buat taksi yang menuju Cengkareng, tarifnya lebih mahal, karena taksi luar dilarang mengangkut penumpang dari Cengkareng. Karena itu, pengemudi taksi non-Blue Bird meminta penumpang menanggung biaya tol pulang pergi. Mengapa kekacauan di hari-hari pertama terjadi? Salah satu sebabnya sepele: pelud Cengkareng yang telah menghabiskan biaya sekitar Rp 455 milyar, dan diperlengkapi berbagai peralatan modern, kabarnya kekurangan pesawat telepon. Salah satu jantung pelud Cengkareng adalah pusat pengendalian pengaturan pemberangkatan penumpang. Di ruang seluas 3 x 6 meter itu terdapat beberapa komputer yang mencatat nama, jumlah penumpang, tujuan, serta kepastian apakah mereka sudah melapor atau belum. Dari situ ditentukan kapan pesawat mengudara. Artinya, penumpang diberi tahu bahwa pesawat mereka sudah siap di apron. Tapi untuk menghubungi penumpang yang menunggu di subterminal, ternyata susah. "Tak ada telepon di sini," kata A. Prasetiadi, koordinator transfer operation Garuda, yang Senin itu matanya merah dan rambutnya kusut. "Saya bekerja sejak kemarin," katanya. Bukankah di ruangan sebelah tampak puluhan pesawat HT (handie-talkie)? "HT itu tak bisa berfungsi ke subterminal. Selain jaraknya terlalu jauh, juga dihambat tembok tebal," kata Prasetiadi. Akibatnya, selain tidak bisa menghubungi petugas di subterminal yang bertugas memberi tahu penumpang, pusat pengendali juga tak bisa berkomunikasi dengan pesawat. "Kami belum diizinkan memasang antena untuk bisa menggunakan SSB (Single Side Band)," ujar Prasetiadi. Cara pemecahannya: dlkirim petugas yang berjalan kaki (benar, berjalan kaki) yang memberi tahu awak pesawat dan petugas subterminal. Tak hanya komunikasi yang macet yang menjadi penyebab kekacauan. Proses pengisian bahan bakar ternyata belum lancar. Lagi-lagi: Maklum masih baru. Ditambah lagi dengan kekeliruan parkir. "Para pilot masih bingung di mana letak yang tepat untuk memarkir pesawatnya," kata seorang petugas. Sistem parkir pesawat di Cengkareng memang agak membingungkan buat pilot yang baru pertama kali beroperasi di situ. "Mereka memarkir pesawatnya di posisi yang keliru. Ditambah lagi pengisian bahan bakar yang tak lancar," Karno Barkah mengakui. Hari Senin itu Karno Barkah, 62, mungkin yang orang yang paling pusing menghadapi kesemrawutan pelud Cengkareng. Pada pagi hari, ia masih kelihatan gagah dengan setelan jas dan dasi kupu. Tapi, sore harinya, jas dan dasi itu telah menghilang. Lengan bajunya digulung. Seorang petugas Garuda memperkirakan, dalam sepekan ini kekacauan masih akan terjadi. "Soalnya, komunikasi belum ada," ucapnya. Untuk memecahkannya, menurut rencana, akan dipasang antena SSB. Tapi itu bergantung pada cepat tidaknya izin keluar. Menurut penilaiannya, "Secara sistem komunikasi, pelabuhan udara ini belum layak dioperasikan." Namun, seorang pejabat pelud Cengkareng menuding kesalahan terletak pada Garuda. "Mereka kurang mempersiapkan," ujarnya. Siapa yang salah? Hampir semua pihak sepakat: pengoperasian penuh pelud Cengkareng mulai I April terlalu dipaksakan. Berbagai kekacauan itulah buktinya. Dirjen Perhubungan Udara Sutoyo, 55, tak sependapat. "Kalau ada kekurangan, itu ya lumrah. Kalau kita pindah rumah saja, mau merebus air juga susah. Tapi untuk hari pertama pengoperasian, saya kira sudah cukup bagus," ujarnya, Senin siang, sebelum kekacauan meningkat. Penentuan pengoperasian penuh pelud Cengkareng mulai 1 April, menurut Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin, sudah diputuskan dalam surat keputusan Menhub Nomor 108 tahun 1982. Di situ disebutkan, pada I Oktober 1984 uji coba dimulai, dan enam bulan kemudian (I April 1985) operasi penuh dimulai. Kontrak pembangunan pelud Cengkareng ditandatangani 18 Desember 1980 dan kontraktor bertanggung jawab atas proyeknya sampai 18 Desember 1984. "Saya pilih I Oktober, enam minggu sebelum 18 Desember, sebagai awal uji coba karena waktu itu masih termasuk tanggung jawab kontraktor. Mumpung yang menggarap masih bertanggung jawab. Jadi, penentuan I April itu hanya soal waktu. Tidak ada alasan lain," kata Roesmin. Namun, menurut sebuah sumber, uji coba itu ternyata membuat biaya pembangunan melonjak. Biaya, yang semula diperhitungkan Rp 335 milyar, naik menjadi Rp 382 milyar karena ada perubahan permintaan, antara lain penyedlaan alat pengangkut bagasi dan perubahan warna cat. Semula semua tiang baja dicat merah. Tapi kemudian diganti cat cokelat, "atas desakan masyarakat". Kabarnya, ada sementara pihak yang berkeberatan dengan warna merah itu. "Mirip kelenteng," kata seseorang. Biaya melonjak setelah ada klaim kontraktor sebesar Rp 73 milyar, antara lain akibat kerusakan yang terjadi ketika uji coba pada I Oktober tahun lalu. Klaim ini baru dibayar Rp I milyar. Bila klaim dibayar penuh, berarti biaya pelud Cengkareng seluruhnya sekitar Rp 455 milyar. Masih ada lagi dana tersedia hampir Rp 100 milyar buat pembangunan hanggar Garuda, dan kredit ekspor sekitar Rp 44 milyar buat hanggar dan beberapa gudang. Menteri Roesmin menjanjikan, investasi pemerintah, Garuda, dan PT Jasa Angkasa Semesta (konsorsium PT Bimantara Citra dan PT Chandra Dirgantara yang menanamkan Rp 10 milyar dan menangani ground handling di Cengkareng), tidak akan sia-sia. Tidak akan ada penumpang yang kehujanan. Tak akan ada lagi mobil atau bis bobrok masuk lapangan terbang. "Semua yang sudah diberikan penumpang harus dlkembahkan kepada penumpang dalam bentuk jasa yang lebih baik," kata Roesmin. Mudah-mudahan, setelah para penumpang diminta membayar lebih mahal, apa yang diucapkan Menteri Roesmin itu bukan sekadar janji. Susanto pudjomartono Laporan A. Luqman dan Agus Basri (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus