SUASANA peringatan Hari Kartini, 21 April lalu, tiba-tiba redup bagi empat wanita Indonesia yang mendapat gelar master of aesthetics and visual literacy (M.A.V.L.) dari Universitas New South Wales (UNSW), Australia. Tanggal 22 April lalu tersiar berita bahwa UNSW membantah telah memberikan gelar itu. Berita itu meluncur dari Manajer Senior International Development Program (IDP) di Jakarta, Bill Hamblin, di koran dan RCTI. Ia mengaku telah mendapat konfirmasi dari Penjabat Wakil Rektor UNSW, Anthoni J. Wicken, di Australia. Keempat wanita Indonesia penerima gelar full degree dari program pascasarjana Aesthetics and Visual Literacy UNSW itu adalah Gusti Kanjeng Ratu Hemas Hamengku Buwono X, bekas pemimpin perusahaan harian Merdeka Ny. Herawaty Diah, Pemimpin Redaksi Surabaya Post Ny. Toety Azis, dan istri wartawan senior Rosihan Anwar, Ny. Zuraida. Upacara pemberian gelar berlangsung 21 November 1992 dalam suatu upacara meriah di bangsal Sri Manganti, Keraton Yogya. Ratu Hemas tampil membacakan pidato ilmiah ''Perspektif dan Tantangan Wanita Indonesia'', mewakili ketiga rekannya. Dan Rektor Universitas Gadjah Mada Prof. Moh. Adnan pun memberikan sambutan. Prof. Dr. Lucy Hertz, yang juga disebut-sebut sebagai presiden pascasarjana Aesthetics and Visual Literacy dan Centre for South Pacific Studies (CSPS) dari UNSW, dalam kata sambutan pengukuhan gelar itu juga menyebut alasannya. Ratu Hemas, ibu lima anak, misalnya, mengembangkan profesionalisme kaum wanita Indonesia serta memperbaiki kesejahteraan rakyat dan fakir miskin. ''Penganugerahan gelar ini adalah yang pertama kali dilakukan di luar Australia,'' kata Hertz. Itu pula yang dipersoalkan UNSW. Sampai-sampai Dubes Australia di Indonesia, Allan Robert Taylor, pun lantas minta maaf. Setelah diteliti, katanya, UNSW tak tahu-menahu dengan pemberian gelar itu, dan nama Lucy Hertz tak dikenal. ''Ini sungguh memalukan,'' katanya. Prof. John Nieland, Rektor Muda UNSW, ketika ditemui TEMPO di Sydney, membenarkan bahwa Hertz, yang mengaku punya afiliasi dengan CSPS universitas itu, tak tercatat sebagai pengajar atau karyawan. ''Dewan universitas merasa tak pernah menyetujui pemberian gelar kepada empat wanita tadi.'' Tugas CSPS, katanya, adalah mengadakan riset dan seminar. Mungkin, Hertz pernah diundang menjadi salah satu pembicara. Direktur CSPS, John Lodewijks, ketika ditemui TEMPO di Sydney, mengaku bahwa lembaga itu cuma meliput Pasifik Selatan, tak termasuk Asia Tenggara. Karena bidangnya cuma riset, seminar, serta penerbitan buku dan newsletter, CSPS tak berhak memberikan gelar kesarjanaan. ''Ini bukan fakultas,'' kata Lodewijks. Untuk kegiatan itu, selain mendapat dana dari universitas, CSPS juga mencari sumbangan dari luar. Di sinilah Council of Aesthetics and Visual Literacy (CAVL) pimpinan Hertz ikut menyumbang. Kerja sama CAVL yang juga menyebut diri Friends of the Centre for South Pacific Studies itu kemudian berkembang. CAVL bisa meminjam ruang kuliah UNSW untuk berbagai kursus atau kuliah. Menurut Grant McCall, Direktur CSPS yang pernah menjalin kerja sama dengan Hertz, sejak Februari lalu CSPS memutuskan hubungannya dengan CAVL. Konon, ini lantaran Rektor John Nieland merasa risi dengah pemberian gelar oleh Hertz itu. Bagaimana tanda tangan bekas Direktur CSPS McCall yang dicopot Januari lalu itu sampai tertera pada diploma keempat wanita itu? Ia tak bersedia menjelaskan. Pendeknya, menurut pengakuannya kepada TEMPO, ia tak ikut campur dalam pemberian gelar itu. Hertz, wanita berusia 65 tahun dan pelukis yang dituduh memberi gelar tanpa sepengetahuan UNSW itu, kepada Kompas pekan lalu menyatakan, ''Saya mempunyai semua dokumen yang mendukung pemberian gelar empat wanita Indonesia itu dengan sepengetahuan CSPS yang berada di bawah naungan UNSW. Dokumen ini dapat membuktikan di pengadilan, siapa yang salah.'' Namun, ketika ditemui TEMPO di rumahnya di Sydney, Hertz mengaku persoalan yang dilontarkan UNSW itu juga mencoreng citranya. Soal ini telah diserahkan kepada pengacaranya. Ketika ditanyai mengenai tujuan pemberian gelar itu, Presiden CAVL ini mengaku, seluruh perjalanannya ke Indonesia ditanggung sendiri, tak diongkosi oleh siapa pun. Ditambahkannya bahwa ia sudah ''punya hubungan batin'' dengan Indonesia sejak masa revolusi. Rumahnya penuh hiasan ukiran dan kerajinan berbagai daerah Indonesia. Lukisannya sendiri bercorak Jawa dan Bali. Akan halnya Ratu Hemas dan tiga wanita penerima gelar itu setelah muncul berita bahwa gelar yang mereka terima dipergunjingkan pekan lalu membuat pernyataan bersama. Mereka menuntut UNSW memberikan penjelasan resmi. Keempatnya juga menilai pernyataan Bill Hamblin, Manajer Senior IDP, tak simpatik dan merendahkan martabat mereka. Jika UNSW tak mengakui atau bahkan mau mencabut gelar itu, mereka menganggapnya tak ada masalah. ''Kami tak pernah minta atau merekayasa untuk mendapatkan gelar akademik dari mana pun, termasuk Australia. Kami masih punya tingkah laku dan moral yang dapat kami banggakan,'' demikian pernyataan tiga folio keempat wanita itu. Agus Basri (Jakarta) dan Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini