AKIBAT peristiwa GPK Aceh tahun 1989, Hotel Lido Graha bintang tiga, mempunyai 60 kamar serta fasilitas kolam renang di Lhokseumawe, Aceh Utara, praktis kehilangan tamu. Biaya operasi per bulan sebesar Rp 33 juta tak bisa ditutup. ''Jika terisi 50% saja sebenarnya cukup lumayan. Itu akan menghasilkan Rp 50 juta per bulan,'' kata Direktur Lido Graha, T. Ramli Didoh. Pertengahan April lalu hotel itu dilego dengan harga Rp 5,25 miliar. Pembelinya adalah BUMN Pemda Aceh Utara, lewat PD Bina Usaha. Mengingat anggaran yang dimiliki perusahaan ini (sesuai dengan APBD 1993/94) hanya Rp 3,5 miliar, kepemilikannya atas Lido cuma 66,7% bukan seluruhnya. Untunglah PT Griya Wisata & Tiara Hotel ternyata juga berminat dan membayar sisanya yang 33,3%. Barulah Pemda Aceh bisa tenang. Soalnya, PD Bina Usaha selama ini hanya bergerak sebagai developer dan pengusaha pertambangan, jadi tidak berpengalaman mengelola hotel. Griya Wisata-lah yang justru berpengalaman, sehingga kendali manajemen hotel diserahkan ke pihaknya. Mengapa harus perusahaan pemerintah daerah yang membeli Lido? ''Kami bukan mau melulu bisnis, tapi supaya pengelolaan hotel terhindar dari hal-hal yang merusak budaya,'' kata Direktur Utama Bina Usaha, H. Hanafiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini