Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bunga

Pejabat indonesia melarang aparatnya mengirimkan karangan bunga sebagai ucapan selamat. para importir as mengeluh. mereka tak bisa mendatangkan bunga anggrek dari indonesia. bunga belum siap diproduksi secara besar-besaran

8 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA baru saja pulang menengok ladang tulip di Lembah Skagit, dekat perbatasan Amerika Serikat dan Kanada. Musim semi memang tengah elok-eloknya menampilkan segala warna bebungaan. Justru ketika saya sedang menikmati anugerah bunda alam itulah terbaca sebuah kejutan dalam surat kabar: ''Pemerintah Indonesia mungkin akan mengeluarkan peraturan tentang praktek pengiriman bunga sebagai ucapan selamat''. Dalam koran berbahasa Inggris itu disebutkan bahwa Menteri Negara PAN T.B. Silalahi tak bisa masuk ke rumahnya karena rumah itu penuh karangan bunga. Kiriman karangan bunga bahkan sampai meluber ke garasi dan halaman. Tak lama setelah itu, bunga lagi-lagi menjadi referensi. Menteri Hankam Edi Sudradjat mengeluarkan press release untuk mengimbau masyarakat agar tidak mengirimkan karangan bunga kepada pejabat dan prajurit yang menerima kenaikan pangkat atau jabatan baru. Mudah-mudahan koran berbahasa Inggris itu salah menerjemahkan pernyataan Jenderal Edi Sudradjat dalam edaran yang menyatakan bahwa ''bunga tidak mempunyai nilai ekonomi''. Bunga tentu saja mempunyai nilai ekonomi. Tulip, yang hanya bisa bertahan empat hari itu, misalnya. Sekalipun di AS tulip diladangkan secara komersial, jumlahnya ternyata tak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Di hari-hari bulan April, pesawat yang datang dari Amsterdam di New York, Boston, Atlanta, Houston, Dallas, dan Chicago selalu memuntahkan ribuan kilo bunga tulip. Seorang importir anggrek di Dallas, Texas, mengeluh karena tidak bisa membeli anggrek dari Indonesia. Tiap hari, tiap pesawat yang mendarat di Dallas Fort-Worth dari Bangkok selalu membawa anggrek yang dipesannya. ''Anggrek Indonesia cuma cukup untuk memasok pasar Jepang,'' kata importir bunga itu. ''Kami tak kebagian.'' Ah, jangan-jangan Indonesia tidak bisa mengekspor anggrek karena terlalu banyak pejabat yang perlu dikirimi bunga. Tidak ingatkah kita ketika dengan manisnya para mahasiswa menyematkan bunga sambil memberikan minuman dingin kepada aparat keamanan yang bertugas di jalan-jalan protokol Ibu Kota? Mengapa ketika itu tidak ada imbauan yang melarang pemberian bunga dan minuman kepada para prajurit dan polisi? Saya yakin, Jenderal Edi Sudradjat dan Jenderal T.B. Silalahi sebenarnya tidak antibunga. Yang ingin mereka berantas adalah ekses berkelebihan. Tetapi, pada saat yang sama, berhakkah kita melarang orang yang ingin menunjukkan perhatiannya kepada kita dengan antaran bunga? Mengapa bunga dilarang tapi cek tidak? Kita sering melihat iklan dukacita di surat kabar yang dibubuhi catatan kaki semacam ini: ''Harap kiriman bunga diganti dengan santunan dana kepada Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia''. Itu bukan larangan, melainkan alternatif. Dengan sikap antisipatif, instansi-instansi Pemerintah dan ABRI bisa saja memasang iklan menjelang hari-hari besar yang diduga akan membanjirkan kiriman karangan bunga dan paket hadiah ke rumah para pejabatnya. Iklan itu memaklumatkan agar ucapan selamat diungkapkan dengan pengiriman cek ke salah satu organisasi sosial yang ditunjuk. Untuk setiap peristiwa, instansi yang berkepentingan bisa memilih organisasi sosial yang berbeda. Penerima dana dengan sendirinya berkewajiban melaporkan jumlah dan nama penyantun dana kepada instansi yang telah menunjuknya. Cara itu memang belum memecahkan persoalan secara tuntas. Perusahaan perangkai bunga yang notabene kebanyakan pengusaha lemah akan kehilangan sebagian peluang bisnisnya. Begitu juga para peladang bunga. Karena itu, izinkanlah teman-teman dekat mengirimkan karangan bunga pada peristiwa yang bersifat pribadi, misalnya ulang tahun, atau sebagai ucapan terima kasih atas perhatian Anda. Melarang penggunaan bunga sebagai ungkapan sukacita maupun belasungkawa bisa counter-productive dalam pembinaan bangsa. Bunga mempunyai arti penting dalam budaya bangsa kita. Bunga memperhalus budi manusia. Kalau kita menginginkan bunga menjadi komoditi ekspor yang andal, kita juga harus siap menerima limpahan industri itu. Soalnya, tidak semua bunga yang diproduksi akan memenuhi kualifikasi ekspor. Dan bagaimana kita akan menampilkan citra sebagai negeri penghasil bunga bila bunga tak tampil sebagai hal yang penting dalam kehidupan bangsa kita? Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus