Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah menteri dan mantan pejabat yang dekat dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi diduga merancang skenario mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus Partai Gerindra Arief Poyuono mengaku pernah diajak diskusi beberapa kali oleh pejabat Istana. Arief pun mengaku didorong oleh pejabat tersebut untuk menyuarakan gagasan tiga periode Jokowi. "Saya berdiskusi dengan orang lingkaran Jokowi," kata Arief dikutip dari Majalah Tempo edisi 19 Juni 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa waktu setelah pertemuan tersebut, sejak pertengahan Maret lalu Arief mulai menggaungkan Jokowi layak memimpin tiga periode. Menurut dia, banyak orang dekat Jokowi memuji pernyataan tersebut.
Arief juga menyebut ada seorang menteri yang mengirimkan tanda jempol melalui aplikasi WhatsApp. Berkomunikasi dengan sejumlah petinggi berbagai negara, Arief mengklaim mereka ikut mendukung wacana itu.
Sepanjang pekan lalu, tim Majalah Tempo menemui belasan petinggi partai politik, mayoritas dari partai pendukung pemerintah, dan lembaga survei yang mengetahui manuver Istana.
Menolak namanya disebut karena wacana ini terkait dengan “dapur Istana”, mereka membeberkan sejumlah menteri dan mantan pejabat yang dekat dengan Jokowi ikut merancang skenario tiga periode. Para politikus itu mengaku telah didekati oleh orang-orang dekat Jokowi tersebut maupun utusannya.
Mereka bercerita, ada dua skenario yang digulirkan. Pertama, membuka peluang periode ketiga selama lima tahun melalui pemilu. Sedangkan skenario kedua adalah memperpanjang masa jabatan presiden maksimal tiga tahun.
Perpanjangan itu juga disertai dengan penambahan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Namun, masa jabatan kepala daerah kemungkinan tidak akan terpengaruh. Jika skenario tersebut berjalan, pada 2024 hanya akan ada pemilihan kepala daerah.
Wakil Ketua MPR Sjarifuddin Hasan mengaku mendengar kabar perpanjangan masa jabatan presiden serta para legislator. “Saya dengar itu, tapi baru nonformal. Perpanjangannya bukan lima tahun, tapi dua atau beberapa tahun,” kata Sjarifuddin kepada Tempo, Selasa, 15 Juni lalu.
Skenario apa pun yang dipilih, tetap membutuhkan amandemen UUD 1945. Perubahan konstitusi harus diusulkan minimal oleh satu per tiga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat atau 237 dari 711 anggota DPR dan DPD.
Namun para politikus yang ditemui Tempo memperkirakan bukan perkara sulit membuka pintu amandemen. Iming-iming perpanjangan masa jabatan sangat mungkin membuat anggota DPR dan DPD mendukung amandemen agar bisa lebih lama berada di Senayan tanpa perlu mengeluarkan duit miliaran rupiah.
Dua orang yang mengetahui skenario tiga periode mengatakan nantinya ada dua pasal dalam konstitusi yang akan berubah. Yaitu menyelipkan ayat perpanjangan masa jabatan dalam keadaan darurat di pasal 7, serta menambahkan kewenangan MPR untuk menetapkan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden dalam kondisi darurat.
Ihwal kondisi darurat, kedua pejabat tersebut kompak menyebutkan pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 sebagai alasan utama, serta kelesuan ekonomi.
Seorang pejabat yang juga mengetahui skenario itu menyebutkan, ada kemungkinan kondisi genting itu akan dimunculkan pada sidang umum dan sidang istimewa MPR pada Agustus 2023 atau lebih cepat lagi.
Sidang istimewa untuk mengamandemen konstitusi itu akan mengembalikan kewenangan MPR menetapkan pokok-pokok haluan negara. Jika MPR gagal menggelar sidang istimewa, ujar pejabat itu, kemungkinan presiden akan mengeluarkan dekret untuk memperpanjang masa jabatan.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Jimly Asshiddiqie mengakui ada yang pernah berusaha melobi dan mengajaknya mendiskusikan wacana tiga periode. “Tapi malah saya omelin saja,” kata Senator dari daerah pemilihan DKI Jakarta ini.
Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, gagasan memperpanjang masa jabatan itu tak boleh dianggap enteng. Ia menjelaskan, manuver tiga periode terjadi secara global yang dikenal dengan istilah third-termism.
Ketua MPR Bambang Soesatyo membantah amandemen UUD 1945 akan menyentuh masa jabatan presiden. Politikus Partai Golkar ini mengatakan amandemen hanya menambahkan soal pokok-pokok haluan negara, dulunya bernama garis-garis besar haluan negara.
Bambang pun mengklaim tidak pernah diajak berdiskusi oleh Istana soal perpanjangan masa jabatan presiden. “Saya cuma menjalankan rekomendasi MPR periode sebelumnya untuk mengamendemen substansi yang terkait dengan haluan negara,” ujarnya.
Meski begitu, sejumlah pihak mengaku khawatir amandemen konstitusi melebar ke pelbagai agenda lainnya. Sjarifuddin Hasan misalnya, khawatir amandemen akan disusupi pasal selain soal PPHN.
"Siapa bisa menjamin amandemen tak akan menyentuh pasal lain? Misalnya masa jabatan presiden," kata mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah itu.
Ketua Fraksi Golkar MPR, Idris Laena, juga menilai proses amandemen konstitusi terlalu berisiko. Mencermati proses amandemen konstitusi sebelumnya, Idris menyebut MPR tak bisa mengubah pasal tertentu saja. Setiap anggota MPR, kata dia, memiliki hak konstitusi untuk melemparkan gagasan amandemen.
Belakangan, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti menginginkan amandemen memberi kesempatan lembaganya untuk bisa mengusung calon presiden. Menggaet aspirasi, La Nyalla melibatkan kampus untuk menggelar diskusi membahas hal ini.
Jokowi dalam beberapa pertemuan mengatakan menolak wacana presiden 3 periode. Sementara itu, juru bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan Jokowi tetap memegang teguh Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, soal masa jabatan presiden. "Mengingatkan kembali, Presiden Joko Widodo tegak lurus Konstitusi UUD 1945 dan setia terhadap Reformasi 1998," kata Fadjroel dalam keterangan tertulis, Sabtu, 19 Juni 2021.