Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah resmi membubarkan Front Pembela Islam (FPI) sebagai organsisasi masyarakat dan melarang mereka berkegiatan atau menggunakan simbol dan atribut FPI, pada Rabu, 30 Desember 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hal ini dipastikan setelah ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kepala Badan Iintelijen Negara, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, nomor 220-4780 tahun 2020 nomor M.HH-14.HH05.05 tahun 2020, nomor 690 tahun 2020, nomor 264 tahun 2020, nomor KB/3/XII 2020, nomor 320 tahun 2020, tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut serta pemberhentian kegiatan Front Pembela Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam pertimbangannya, setidaknya ada 7 alasan pemerintah membubarkan FPI. Pertama adalah tudingan bahwa isi anggaran dasar Front Pembela Islam bertentangan dengan perturan perundang-undangan yang mengatur soal Organisasi Masyarakat.
Selain itu, Surat keterangan terdaftar (SKT) FPI sebagai Ormas di Kemendagri, disebut masa berlakunya telah habis pada 20 Juni 2019 lalu. "Dan sampai saat ini FPI belum memenuhi persyaratan untuk memperpanjang SKT tersebut. Oleh sebab itu, secara de jure terhitung sejak tanggal 21 Juni 2019 FPI dianggap bubar," kata Wamenkumham Eddy Omar Sharif Hiariej, saat membacakan surat keputusan di Kantor Kemenko Polhukam, Rabu, 30 Desember 2020.
Alasan lain yang digunakan, adalah tudingan bahwa pengurus dan anggota FPI ataupun yang pernah bergabung dengan anggota FPI, kerap terlibat pidana bahkan aksi terorisme. Eddy mengatakan berdasarkan data, sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme, dan 29 orang diantaranya telah dijatuhi pidana.
"Di samping itu, sejumlah 206 orang terlibat tindak pidana umum lainnya dan 100 di antarnya telah dijatuhi pidana," kata Eddy.
Terakhir, Eddy mengatakan FPI kerap melakukan sweeping atau razia, jika menurut penilaian atau dugaannya sendiri terjadi pelanggaran ketentuan hukum. Padahal, ia mengatakan hal tersebut menjadi tugas dan wewenang aparat penegak hukum.