Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Derita Panjang Korban Gagal Ginjal Akut Tanpa Kompensasi

Keluarga korban gagal ginjal akut menanti pemerintah memberikan santunan. Buntut panjang koordinasi buruk lembaga pemerintah.

17 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK awal tahun ini, slang nasogastric tube tak pernah lepas dari dalam lubang hidung Nasifa. Plester medis pun selalu menempel di pipi dan batang hidung anak tiga tahun korban gagal ginjal akut itu untuk menjaga slang tak bergeser. “Slangnya menempel setiap hari,” ujar ibu Nasifa, Eva Nurmala, Jumat, 15 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Slang itu menjadi alat bantu agar Nasifa bisa bertahan hidup. Lewat slang itu, Eva memasukkan susu cair yang menjadi satu-satunya sumber nutrisi untuk putrinya. Setiap pekan, Eva dan suaminya, Lamhari, yang bekerja sebagai petugas sekuriti, rutin ke rumah sakit untuk mengganti slang anak kesayangannya itu.

Nasifa satu-satunya anak yang selamat dalam kasus gagal ginjal akut di Batam, Kepulauan Riau. Enam anak lain yang menderita gagal ginjal akut di Batam tak bisa bertahan hidup. Seperti korban lain, Nasifa sempat mengalami demam, batuk, dan pilek pada pertengahan September 2022.

Petaka muncul setelah Nasifa meminum obat batuk sirop. Sehari kemudian badannya membengkak dan ia tak bisa kencing. Nasifa lantas dirawat di Rumah Sakit Badan Pengusahaan Batam. Di sana ia sempat menggunakan ventilator untuk bernapas. Dia dirawat lebih dari tiga bulan lamanya.

Awal tahun ini Nasifa pulang ke rumah. Namun kondisinya tak kunjung membaik. “Masih sama dan ada infeksi lambung,” kata Eva. Nasifa kini tak bisa menggerakkan tubuhnya. Ia tak merespons suara, penglihatan, ataupun sentuhan dari siapa pun. Selain itu, batang tenggorokan Nasifa dibedah untuk dibuat lubang bantuan bernapas.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga awal Februari lalu, 326 anak terserang gagal ginjal akut setelah mengkonsumsi obat sirop yang mengandung etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG) melebihi ambang batas aman. Dari jumlah itu, 204 di antaranya meninggal dan 122 anak lainnya hidup dengan keadaan tidak sehat.

Yang bertahan pun tak pernah pulih. “Mereka mengalami cacat,” ujar anggota Tim Advokasi untuk Kemanusiaan Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut, Tegar Putuhena, Jumat, 15 September lalu. Sebagian mengalami kerusakan saraf.

Baca: Kenapa BPOM Menunda Rilis Obat Sirop Penyebab Gagal Ginjal Akut? 

Anggota Tim Advokasi untuk Kemanusiaan Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut, Siti Habiba, bercerita, ada anak yang badannya sama sekali tak bisa bergerak dan merespons sentuhan. Seorang anak di Tangerang, Banten, yang didampingi oleh Habiba juga tak bisa melihat atau mendengar. “Orang tuanya bolak-balik membawa dia ke rumah sakit,” katanya. 

Memang, korban gagal ginjal akut mendapat pelayanan gratis menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan. Namun banyak orang tua yang miskin kesulitan memenuhi kebutuhan anaknya yang terkena gagal ginjal akut.

Eva Nurmala, yang menjadi ibu rumah tangga, misalnya, harus pontang-panting membeli susu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi Nasifa. Tanpa susu itu, tak ada asupan gizi yang masuk ke tubuh putrinya. Satu kaleng susu seberat 850 gram yang dikonsumsi Nasifa dijual sekitar Rp 350 ribu. 

Sebanyak 25 keluarga korban gagal ginjal akut telah mengajukan gugatan kelompok atau class action ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada Selasa, 12 September lalu, mereka menyiapkan berbagai bukti, seperti resep dokter yang menuliskan obat sirop yang mengandung etilena glikol dan dietilena glikol, rekam medis, serta akta kematian. Namun sidang hari itu ditunda. 

“Tergugat masih mengajukan penolakan persidangan,” ujar Siti Habiba, yang menjadi kuasa hukum keluarga korban. Keluarga korban terbagi menjadi tiga kelompok. Sedangkan pihak tergugat dalam perkara ini adalah produsen obat, distributor bahan baku, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Kementerian Keuangan.

Kuasa hukum keluarga korban lainnya, Julius Ibrani, mengatakan, sejak kasus ini bergulir, sejumlah keluarga korban gagal ginjal akut mengalami intimidasi. Ada yang diperintahkan tak berbicara ke publik. Ada juga yang anaknya diusir secara tak langsung dari rumah sakit. “Alat untuk dua anak dicabut dengan alasan mau dipakai untuk pasien lain,” kata Julius.

Dalam proses persidangan, Habiba menuturkan, majelis hakim mengupayakan mediasi. Ada keluarga korban yang menerima kesepakatan damai dengan enam produsen obat dan distributor bahan baku. Pihak tergugat memberikan kompensasi kepada keluarga korban. Perusahaan obat dan distributor bahan baku yang memberikan kompensasi itu pun keluar dari daftar tergugat.

Menurut Habiba, keluarga korban yang anaknya meninggal menuntut kompensasi Rp 3 miliar. Sedangkan yang bertahan hidup menuntut Rp 2 miliar untuk biaya pengobatan. Hitungan itu didasari upah minimum dan usia produktif, yang mengacu pada data Badan Pusat Statistik. “Jika ada santunan dari pemerintah, tidak menganulir kompensasi melalui jalur perdata,” ujar Habiba.

Rencana pemberian santunan kepada keluarga korban gagal ginjal akut dilontarkan pertama kali oleh pemerintah pada Februari lalu. Yang bertindak sebagai koordinator adalah Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Muhadjir tak merespons pertanyaan yang dikirim Tempo ke nomor telepon selulernya. Pada Juli lalu, Muhadjir mengatakan sudah ada jalan keluar untuk pemberian dana santunan ini. “Masih perlu mendapat arahan Presiden,” katanya.

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional atau BPKN, Rizal Edy Halim, menyayangkan kelambanan pemerintah itu. Pada Desember tahun lalu, tim pencari fakta yang dibentuk BPKN telah merekomendasikan pemerintah memberikan santunan dan kompensasi. “Ada kelalaian pemerintah, lembaga pengawas, dan perusahaan farmasi,” kata Rizal, Kamis, 14 September lalu.

Rizal menilai dana santunan yang terlambat cair merupakan dampak panjang buruknya koordinasi lembaga pemerintah. Ia mencontohkan, sempat terjadi perselisihan antara Kementerian Kesehatan dan BPOM. Kementerian Kesehatan menyatakan penyebab gagal ginjal akut adalah senyawa EG dan DEG. Namun BPOM berdalih perlu melakukan pemeriksaan lanjutan.

Baca wawancara Ketua BPKN Rizal Halim: Sistem Perlindungan Konsumen Sangat Buruk

Janji pemerintah memberikan kompensasi dan santunan tetap ditunggu oleh keluarga korban gagal ginjal akut. Namun duit dari pemerintah pun tak akan menghapus duka yang dialami keluarga korban. Hingga kini, Mariani, ibu Dzuhairi Rizky Nuryanto, bayi 11 bulan yang meninggal karena gagal ginjal akut, tetap berziarah ke makam putranya sebulan sekali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mariani berziarah ke makam Dzuhairi Rizky Nuryanto, bayi 11 bulan, pasien gagal ginjal yang meninggal setelah minum sirop parasetamol. Dok. Mariani

Bersama suaminya, Mariani naik sepeda motor sekitar satu jam dari rumah mereka di Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ke kuburan Rizky yang berbebatuan kapur di Desa Wonosari, Karangmojo, Gunungkidul. “Sedang kami siapkan batu nisan,” ucapnya. Pedagang bakso itu berharap pemerintah tak lagi kecolongan hingga membuat banyak orang tua kehilangan anaknya.

Begitu pun Desi, ibunda Nayla Putri Andini yang meninggal karena gagal ginjal akut, rutin datang ke pusara putrinya setiap pekan. Ia sering menangis sesenggukan di depan makam anaknya. Di rumah, pakaian dan barang-barang Nayla tersimpan rapi. “Kalau kangen Nayla, saya peluk bajunya sambil membacakan doa,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Yogi Eka Sahputra dari Batam dan Shinta Maharani dari Yogyakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Santunan tanpa Kejelasan"

Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus