Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dkm dulu dan sekarang

Wawancara tempo dengan jenderal (purn.) a.h. nasution, mantan ksad, tentang dewan kehormatan militer. dewan kehormatan lahir setelah gerilya ke-2. tujuan dkm saat ini.

11 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK pertanyaan muncul ketika Dewan Kehormatan Militer (DKM) dibentuk untuk menangani kasus Dili. Salah satu tujuan DKM adalah meneliti kesalahan, mencari kebenaran, atau mengoreksi tubuh ABRI sendiri. Ini yang kemudian mengundang berbagai pertanyaan. Ternyata, dewan kehormatan semacam itu pernah ada sebelumnya. Untuk itu, TEMPO mewawancari Jenderal (Purn.) A.H. Nasution, mantan KSAD dan Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi di masa Bung Karno. Berikut ini adalah petikan jawaban Pak Nas: Embrio Dewan Kehormatan (DK) sebenarnya lahir di Yogyakarta, sehabis Gerilya ke-2, tetapi hanya bekerja sebentar. Pada 1952 Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX juga membentuk DK untuk menyelesaikan soal "surat Kolonel Bambang Supeno" yang dikirimkan ke Presiden, DPR, dan lain-lain. Surat itu berisi mosi tidak percaya kepada KSAD. DK ini pun hanya berjalan sebentar, karena persoalan Kolonel Bambang Supeno itu diambil-alih oleh DPR. Sebagai akibatnya, terjadilah peristiwa 17 Oktober 1952. Setelah itu, Presiden Soekarno dan Perdana Menteri meminta saya kembali menjabat sebagai KSAD. (Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa ketika sejumlah perwira senior meminta Bung Karno membubarkan parlemen dan mengarahkan moncong panser ke Istana. Inilah puncak ketegangan hubungan antara TNI dan politikus sipil. Di tubuh Angkatan Perang (AP) sendiri terjadi perbedaan pendapat. Mosi tidak percaya Kolonel Bambang Supeno itu mendorong Pengurus Pusat Ikatan Perwira Republik Indonesia (PPIPRI) mengusulkan agar pemerintah membentuk DK untuk mengusut kasus itu. -- Red.) Pergolakan PRRI pada 1957 juga sempat memunculkan DK sebagai hasil mufakat rapat para panglima yang ingin memurnikan "Perjuangan 45". Pemerintah pusat diminta melancarkan "politik kembali ke pangkuan RI dan UUD 1945" dengan memberikan amnesti/abolisi (pengampunan bagi para prajurit yang terlibat pemberontakan -- Red.). Jadi, secara historis pernah ada DK yang dibentuk oleh Panglima Tertinggi (Pangti), Menteri Hankam, dan para Kepala Staf Angakatan. Tujuan pembentukan DK pada masa itu? Menurut saya, sejak dulu DK dibentuk untuk menilai sikap mental/moral anggota TNI, apakah sesuai atau tidak dengan Saptamarga yang diresmikan pada 5 Oktober 1951. Penilaian itu terutama menyangkut perangai politik-ideologis, mentalspiritual, dan hal-hal yang berkaitan dengan sikap/tindak keprajuritan. Dalam keadaan tertentu, penilaian itu tak cukup dipercayakan kepada hierarki lazimnya. Dalam konteks kesimpulan Komisi Penyelidik Nasional (KPN) terhadap kasus Dili, pembentukan DK saat ini sedikit-banyak juga menyangkut perangai militer, seperti tindak yang "melebihi batas kepatutan" dan "tak sesuai dengan prosedur penanganan huru-hara secara optimal". Cara penanganan yang berlaku selama ini tentulah dipertanyakan. Namun, hasil suatu DK tidaklah menuntut proses lanjutan secara hukum (militer). Segala sesuatu bukanlah untuk mencari yang bersalah, apalagi "kambing hitam", tapi "demi bernegara dan bertentara yang baik". DKM yang sekarang ini kabarnya untuk pembinaan bagi perwira muda. Apakah pemahaman mereka terhadap doktrin militer belum sempurna? Tampilnya suatu DK pada tahaptahap tertentu tidaklah karena ada anggapan bahwa generasi baru kurang atau buruk pemahaman/penghayatannya terhadap doktrin-doktrin militer kita, tetapi karena dinamika pertumbuhan militer. Dalam konteks politik, saya berpendapat kita perlu pembaruan demi mempercepat normalisasi keadaan. Dalam keadaan yang membahayakan bagi eksistensi negara, berdasarkan undang-undang, untuk sementara hak-hak demokratis warga negara memang bisa dikurangi/ditiadakan. Kini, tak lagi perlu begitu. Apalagi pembangunan keadilan/kemakmuran memerlukan motivasi, prakarsa, dan kreativitas secara bebas. Kiranya kasus Dili bukanlah harus dilihat sebagai ketidakselarasan antara pemimpin politik dan militer. Sebagai seorang yang mengikuti Orde Baru sejak awal, dari dulu saya selalu mengingatkan perlunya secara bertahap diakhiri cara-cara dan keadaan transisi/darurat. Dan ini mestinya putusan tingkat politik, bukan tingkat militer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus