MAYOR Jenderal Herman B. Leopold Mantiri, 52 tahun, menurut rencana akan dilantik sebagai Pangdam Udayana Sabtu pekan ini. Alumnus AMN 1962 ini pernah bertugas di Tim-Tim (1986-1988) sebagai Panglima Divisi I Kostrad merangkap Panglima Komando Operasi Keamanan Tim-Tim, langsung di bawah Pangab. Sebelum menempati posnya yang baru menggantikan Mayjen. Sintong Panjaitan, Mantiri pekan lalu sempat menerima Susilawati Suryana dari TEMPO dalam suatu wawancara khusus di MBAD. Apa pendapat Anda mengenai keadaan Tim-Tim sekarang? Bagaimana dengan operasi yang dilakukan? Saya tak mengikuti langsung perkembangan Timor Timur sekarang, kecuali dari media massa. Situasi Timor Timur dalam setiap periode berbedabeda. Kami tak bisa membanding-bandingkan operasi mana yang lebih baik. Bedanya di mana? Ada empat model operasi di sana. Ada operasi teritorial, tempur, intelijen, dan keamanan. Penekanan setiap periode berbeda. Ketika saya dulu, penekanan pada operasi tempur. Pada periode Rudy (panggilannya untuk Brigjen Samuel Warouw) operasi teritorial yang dipentingkan. Setiap bentuk operasi yang diprioritaskan bergantung kepada hasil evaluasi dari para pejabat sesudah satu periode. Menurut penilaian Anda, apakah operasi yang dijalankan sekarang sudah berhasil? Bagus, ada banyak kemajuan. Kan masyarakat sendiri senang dengan militer. Mereka bersama-sama membangun Timor Timur. Uskup dan Gubernur sendiri mengacungkan jempol atas usaha Rudy. Tapi kan ada yang kecewa Artinya, mereka tak tahu berterima kasih. Makar. Kita berusaha membangun untuk mereka, masa mereka masih tak mau menerima? Kita menghargai mereka, mengapa menjadi problem? Dengan insiden 12 November, tugas baru sebagai pangdam di sana lebih berat? Tidak juga. Menurut saya, tak terlalu istimewa. Insiden itu hanya dibesar-besarkan. Secara fisik GPK itu tak ada arti. Kepada masyarakat, yang penting hanya pendekatannya. Buat saya, tugas menjadi pemuka gereja jauh lebih berat daripada pangdam. Memimpin 1.000 tentara jauh lebih mudah daripada menjadi pemuka gereja. Di Tim-Tim, masalahnya kan istimewa. Ada Pangkolakops, tak cukup dengan Danrem. Tak terlalu istimewa. Adanya Pangkolakops itu terutama karena Tim-Tim masih dinyatakan sebagai daerah operasi. Masih ada perusuh-perusuh. Rawan. Apa betul masih banyak orang yang mendukung GPK? Saya kira tak begitu. Mereka pelajar pelajar itu terhasut. Perusuh itu memang ada, tapi jumlahnya tak banyak. Apakah pendekatan dengan operasi teritorial sudah cukup? Tergantung. Kami memang harus berhasil merebut hati masyarakat dengan operasi cinta kasih. Tapi, smiling sih smiling.... Kalau ada di antara mereka yang membuat kerusuhan, memasang bendera lain di wilayah Indonesia, apa itu bukan pengacau? Kita harus bisa tegas terhadap mereka. Disiplin ABRI ya begitu. Saya sudah pernah bilang, orang-orang timur itu, bukan hanya orang Timor Timur, beda dengan orang Jawa. Mereka itu keras. Ada saat kita perlu lembut, dan ada waktunya kita tegas. Kalau begitu, tak hanya operasi teritorial yang akan dijalankan di sana? Ya, tidak. Terpadulah. Kita lihat kondisinya, mana yang lebih tepat. Menurut saya, security approach dan prosperity approach itu dua sisi dalam satu koin. Dalam insiden Dili, konon ada tentara yang tak menjalankan perintah, ada yang di luar garis komando. Siapa bilang? Harus dipastikan dulu. Dalam keadaan seperti sekarang, banyak isu yang beredar. Bagaimana dengan kemungkinan tugas dari Pangab untuk mencari kebenaran jumlah korban yang 50-an itu? Saya tak bisa menjawab ini karena saya belum tahu apa akan dapat tugas itu atau tidak. Lihat saja nanti. Saya harus mencari banyak input dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini