Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah pakar hukum ketatanegaraan Ismail Suny yang pertama kali menegaskan bahwa adanya kursi ABRI di DPR merupakan penyimpangan konstitusi. Karena, dalam UUD ‘45 jelas-jelas disebutkan bahwa anggota DPR adalah hasil pemilihan, bukan pengangkatan.
Persoalan ini mencuat kembali pada hari-hari menjelang Sidang Istimewa (SI) MPR, yang direncanakan berlangsung pada 10-13 November 1998. Dua belas rancangan ketetapan (rantap) hasil Badan Pekerja MPR ramai-ramai dihujat sebagai akal-akalan untuk melanggengkan status quo. Bahkan 12 rantap itu dianggap sebagai upaya yang terlalu kasar untuk meremukkan perjuangan reformasi. Rantap-rantap tersebut kalau disetujui hanya akan bermuara pada set back dalam politik, karena isinya dinilai bertujuan untuk mengembalikan format politik Orde Baru.
Anehnya, rantap yang menyuarakan aspirasi masyarakat banyak justru berguguran di tangan BP MPR, seperti rantap untuk mengusut dan memeriksa kekayaan Soeharto berikut keluarga dan kroninya. Tapi rantap yang punya tujuan khusus malah diloloskan. Contohnya, Rantap tentang Perubahan dan Tambahan atas Tap MPR No. III/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum. Terutama Pasal 6, yang berbunyi, "Anggota DPR RI dan DPRD terdiri atas anggota parpol hasil pemilu dan prajurit ABRI yang diangkat."
Rantap ini oleh berbagai kalangan dinilai tidak fair dan tidak memenuhi rasa kepantasan, karena akan mendikte dan menutup celah pembahasan RUU politik, yang direncanakan selesai Desember mendatang. Dengan kata lain, Pasal 6 dari rantap yang kontroversial itu tampaknya akan disahkan sebagai satu produk MPR sehingga RUU Pemilu dan Parpol yang sedang digodog isinya tentu harus mengacu kepada Tap MPR, sebagai produk yang tingkatnya lebih tinggi.
Skenario ini jauh-jauh hari itu sudah terbaca, sehingga suara protes juga semakin lama semakin lantang. Namun, dari kalangan penyusun rantap, tidak ada respons yang positif. Musyawarah mufakat, yang selama ini diprioritaskan sebagai cara terbaik, mungkin dalam SI MPR akan berganti dengan voting alias pemungutan suara. Akan terjadi adu kekuatan dan hasilnya sudah bisa ditebak. Soalnya, mayoritas kursi MPR dikuasai oleh kelompok status quo, terdiri atas Fraksi Karya Pembangunan, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia, Fraksi ABRI, dan Fraksi Utusan Daerah. Fraksi Persatuan Pembangunan, yang mencoba melawan, tak akan berhasil. Sebab, dalam pemungutan suara, Fraksi Bintang, yang ingin mencoret kalimat "prajurit ABRI yang diangkat", pasti akan kalah telak. Adu kuat suara tampaknya menjadi modus satu-satunya dalam SI MPR 10-13 November ini.
Lalu, akan dikemanakan cita-cita reformasi? Mahasiswa, yang semenjak Soeharto lengser 21 Mei lalu ramai-ramai kembali masuk kampus, belakangan ini ramai-ramai turun ke jalan. Terlepas dari perbedaan visi di antara mereka, tapi untuk mencongkel Pasal 6 tersebut--yang akan melanggengkan dwifungsi ABRI, setidaknya lima tahun lagi--para mahasiswa tampaknya siap melabrak ke Senayan.
Situasi yang memanas seharusnya sudah bisa diendus sejak pekan silam. Tapi, bagi para pakar yang duduk di BP MPR, suara mahasiswa bukanlah suara rakyat. "Kami menyetujui ABRI masih duduk di DPR, tinggal berapa jumlahnya," kata Wakil Ketua FKP MPR, Marwah Daud Ibrahim, kepada Andari Karina Anom dari TEMPO.
Din Syamsuddin, juga Wakil Ketua FKP, bersusah payah memberi penjelasan. Menurut dia, Golkar memutuskan hal ini setelah mempertimbangkan tiga alternatif. Pertama, ABRI mendirikan partai. Kedua, para prajuritnya bisa masuk ke parpol yang ada. Tapi, kedua alternatif itu dinilai riskan karena kalangan ini punya senjata dan urusannya bisa runyam kalau baku hantam gara-gara persaingan politik. Karena itu, Golkar memilih alternatif ketiga, yaitu memberi kompensasi untuk memiliki wakil di parlemen. Tapi, tetap saja argumen ini tidak mampu menjawab pertanyaan: kenapa harus di DPR? Kenapa tidak cukup ABRI masuk melalui golongan fungsional di MPR seperti disyaratkan UUD ‘45?
Sikap Fraksi Utusan Daerah juga sama dan sebangun. PDI tentu saja tidak ketinggalan menyetujui. "Sikap kami tetap, peran ABRI di DPR masih diperlukan," kata Ketua Fraksi PDI, Buttu Hutapea. Sementara itu Ketua F-ABRI DPR, Mayjen Achmad Roestandi, berkilah bahwa keberadaan ABRI di DPR merupakan kehendak rakyat, bukan kehendak ABRI. Dan, katanya, ada landasan konstitusi untuk itu. Berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 19 UUD ‘45, susunan dan kedudukan DPR diatur melalui undang undang, yang kemudian menetapkan adanya jatah ABRI di parlemen. Roestandi malah memperkuat sinyalemen bahwa rantap pemilu memang diskenariokan untuk memotong kompas pembahasan RUU politik. Ia menyatakan, karena lebih tinggi kedudukannya, jika rantap itu sudah diputus SI, RUU politik harus mengikuti induknya. Mengenai hal ini, Panglima ABRI Jenderal Wiranto tak bersedia berkomentar. "Itu substansi dalam SI, tidak akan saya jawab," katanya.
Kalau begitu, rantap ini sudah pasti lolos? Belum tentu. Di dalam gedung masih ada perlawanan gigih dari FPP. Menurut Ketua FPP MPR, Faisal Baasir, fraksi bintang akan tetap maju terus pantang mundur. Persoalan itu akan mereka angkat kembali pada pemandangan umum dan sidang komisi. "Akan kami mentahkan lagi," ujarnya.
Ia pun mengingatkan bahwa persoalannya bukan cuma jatah ABRI di DPR RI, tapi juga di DPRD. Menurut dia, selama ini orang sudah langsung terpukau mendengar kursi ABRI di DPR RI, yang semula 75 diciutkan menjadi 55. "Padahal di daerah jumlah kursi ABRI yang aktif di DPRD itu jumlahnya ribuan," tuturnya. Belum lagi ditambah para purnawirawan di FKP dan FUD. Menurut data FPP, kursi ABRI di DPR RI dan DPRD saat ini mencapai lebih dari 2.400 kursi.
Seorang narasumber yang terlibat dalam penggodokan RUU politik versi Departemen Dalam Negeri punya cerita di balik layar. Menurut dia, semula Panglima ABRI Jenderal Wiranto telah bersepakat bahwa kursi ABRI cuma ada di DPR RI. Tapi, urusan yang bakal menggusur "lahan" ribuan kursi ini kemudian mendatangkan gelombang protes dari para perwira menengah yang dikaryakan di DPRD. Sehingga akhirnya, draf RUU politik pun mengakomodasi keberadaan militer di DPRD.
Untuk memperjuangkan tekad menggusur ABRI dari lemabaga legislatif, berbagai upaya terobosan tengah dikutak-kutik oleh Fraksi Bintang. Salah satunya menyangkut tata tertib dan mekanisme persidangan. Mereka sudah mengusulkan kepada pimpinan MPR agar pemilihan suara dilakukan secara rahasia (lihat Apakah ia Masih Haram?).
Jurus pamungkas lain juga tengah dirancang. "Tak tertutup kemungkinan kami akan walk out," ujarnya tegas. Maksudnya, dengan walk out mereka dapat menyatakan tidak bertanggung jawab atas keputusan yang diambil. Strategi ini memang layak diperhitungkan, apalagi kalau mempertimbangkan gelombang tekanan yang sangat besar yang datang dari luar gedung. Sehari sebelum SI MPR dibuka, hampir seluruh kelompok mahasiswa meneriakkan tuntutan: cabut dwifungsi ABRI.
Tuntutan serupa pun datang dari berbagai parpol baru. Yang paling lantang adalah suara Partai Amanat Nasional. Kepada TEMPO, Ketua PAN Amien Rais menegaskan bahwa keberadaan ABRI di DPR adalah inkonstitusional dan cara Orde Baru ala Soeharto, jelas menabrak UUD ’45. Ia memperingatkan, "Kalau tidak berani mengkritik dwifungsi ABRI, bahkan cenderung mendukung, jelas itu cuma karena perhitungan politik praktis supaya ada panen yang bisa dipetik." Sikap yang sama juga diambil Partai Keadilan.
Sementara itu, PDI Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa memilih berhati-hati. Mereka berpendapat seharusnya angkatan bersenjata cukup di MPR, tidak lagi di DPR. Tapi prosesnya bertahap. "Untuk mencapai ke arah sana harus sedikit demi sedikit. Barangkali setelah dua tiga kali pemilu," kata K.H. Said Agil Siradj dari PKB kepada Dewi Rina Cahyani dari TEMPO. Sekjen PDI, Alexander Litaay, menyuarakan gagasan yang sama. "Harus bertahap, kalau ABRI memaksa kan bisa susah," katanya sembari mengimbau agar para petinggi militer mendengar keinginan rakyat.
Sementara itu ada suara lain dari Partai Beringin yang juga layak diperhitungkan. Apalagi kalau pemungutan suara dilakukan secara rahasia. Soalnya, menurut Sarwono Kusumaatmadja, mantan Sekjen Golkar yang baru di-recall, "Masih ada teman-teman di FKP yang akan memanfaatkan setiap celah dan kemungkinan yang ada." Sayangnya, ia tidak bersedia merinci lebih jauh siapa dan bagaimana skenario itu akan berjalan. Tapi, seorang sumber TEMPO di kalangan Golkar menjelaskan bahwa yang dimaksud "celah" itu adalah kemungkinan terjadinya friksi di kalangan elite politik. Hanya repotnya, menurut dia, yang jadi ganjalan sekarang ini justru ABRI yang kini tengah dipojokkan. Pakar politik Riswandha Imawan juga memperingatkan hal itu. Saat ini demonstrasi mahasiswa menuntut dua hal sekaligus. Ganti Habibie dan cabut dwifungsi ABRI. Akibatnya, menurut Riswanda, demonstrasi itu bukannya mengisolasi Habibie dari ABRI, malahan mengentalkan hubungan keduanya menjadi kekuatan yang padu.
Di luar perhitungan taktis itu, tentu ada persoalan prinsip. Sebagaimana yang diutarakan peneliti LIPI, A.S. Hikam, masalahnya ada di pertanyaan: apakah reformasi akan berlangsung menyeluruh atau tidak. Sebab, katanya, "Kalau diputuskan ABRI tetap menjadi anggota DPR tanpa dipilih, berapa pun jumlahnya, berarti ada satu prinsip demokrasi yang tidak terpenuhi."
Karaniya Dharmasaputra, Arief Kuswardono, Edy Budiarso, Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo