Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tiga guru besar lintas kampus dan lembaga memberikan pendapat mengenai gagasan fikih peradaban yang digelontorkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. Para peneliti itu mempunya pendapat berbeda, namun sama-sama mendukung gagasan Fikih Peradaban tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dekan Fakultas Studi Islam Universitas Islam Internasional Indonesia Noorhaidi Hasan menilai gagasan tersebut perlu didukung. Dia berpendapat gagasan itu dapat menjadi kunci dari reformasi agama di Indonesia maupun global. “Indonesia bisa menjadi kiblat dunia pengkajian Islam dengan menawarkan pemikiran segar yang kontributif bagi dunia,” kata dia dalam Seminar Nasional bertema ‘Prospek dan Tantangan Fiqih Peradaban sebagai Solusi Krisis Tata Dunia Global’, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Senin, 27 Maret 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menilai gagasan itu sudah kuat secara epistemologi. Meski demikian, kata dia, gagasan itu perlu diperkuat dari sisi metodologi. Pemantapan pada sisi metodologi itu, kata dia, perlu agar gagasan ini bisa diterapkan secara internasional. “Kalau bisa penekanan lebih jauh secara metodologis menjadi satu model yang akan diperhitungkan di seluruh dunia internasional,” kata dia.
Fikih peradaban adalah gagasan yang berisi tentang rumusan pemikiran mengenai sah tidaknya Piagam PBB menurut syariat Islam, baik di negara yang dipimpin oleh presiden muslim maupun non-muslim. Berdasarkan kajian Gus Yahya di Fikih Peradaban, piagam itu dianggap sah sebab piagam tersebut punya tujuan untuk mewujudkan perdamaian. Piagam tersebut tetap sah walaupun diteken oleh pimpinan negara yang tidak beragama Islam. Fikih Peradaban ini sempat menjadi agenda utama dalam perhelatan Satu Abad Nahdlatul Ulama dalam Muktamar Internasional Fikih Peradaban I.
Guru Besar Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu menilai Fikih Peradaban menjadi upaya NU sebagai organisasi untuk berperan dalam hubungan internasional. Dia mendukung upaya NU untuk memperluas pengaruh pemahanan ini ke dunia internasional. “Kita perlu mendukung gagasan strategis ini,” kata dia.
Kendati demikian, Aleksius punya kritik terhadap gagasan ini. Dia berpendapat peran yang diambil NU dalam gagasan itu baru sebatas mengamankan kontrol negara atas agama. Ketika peran agama dianggap mengganggu, negara langsung melabeli negative atau mengancam stabilitas politik.
Setali tiga uang, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro mengapresiasi gagasan Gus Yahya. Menurut dia, gagasan itu sejalan dengan amanat konstitusi. Dia mengatakan Indonesia membutuhkan pemimpin teladan yang transparan dan tidak transaksional. “Perlu kesamaan langkah, semangat, soliditas, dan sinergi yang kuat,” kata dia.