Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Guru menghukum, guru terhukum

Achmadi, guru sdn rek-kerek i, pamengkasan, dipindahkan ke sdn palengaan daya iv karena menghukum 15 muridnya merokok klobot. edi, guru smea di bogor dapat peringatan krn menempeleng muridnya.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang guru "diasingkan" ke tempat terpencil gara-gara menghukum muridnya dengan menyuruh mengisap rokok klobot. Orangtua pun protes. GURU diharapkan sempurna. Biarpun gaji terlambat dan disunat, kenaikan pangkat terhambat, ia tetap dituntut untuk menjadi manusia super. Manusia yang perbuatannya diteladani dan kata-katanya selalu dipercaya. Maka, guru tak bisa lepas kendali. Sekali emosi meledak, sorotan dari segala penjuru bakal datang bertubi-tubi. Itulah yang terjadi atas diri Achmadi, guru SD Negeri RekKerek I, Kecamatan Palengaan, Pamekasan, jauh di Pulau Madura sana. Suatu hari, 30 September lalu, kepalanya mendidih melihat segerombolan murid yang masih bau kencur merokok di belakang sekolah. Saat itu pukul 9 pagi, kebetulan jam istirahat sekolah. Tertangkap basah seperti itu tak membuat murid-murid itu keder. Dengan tenang mereka mengaku, memang sedang merokok. Tak kurang dari 15 anak yang membuat pengakuan dosa, yang akhirnya digiring Achmadi ke kantor sekolah. Mulai dari murid kelas II sampai kelas VI ada di antara kelima belas "pesakitan" itu. Kesalahan sudah jelas dan diakui. Achmadi pun menjatuhkan hukuman. Mereka diminta menyapu lantai dan halaman sekolah. Namun, kelima belas terhukum ini ternyata tak beranjak. Makin panaslah kepala Achmadi. Guru kelas III ini dikenal sebagai guru galak. Disiplin yang dituntut dari murid-muridnya sangat tinggi. "Kalau begitu, kalian yang mesti merokok," katanya, tiba-tiba. Ia lantas lari ke luar, membeli tiga bungkus rokok klobot merek "Oepet". Ini tergolong rokok kretek ekstra berat, berbentuk meruncing dan bungkusnya dari daun jagung yang diberi pemanis. Setiap anak mendapat jatah satu batang. Maka, asap berkepulan di ruang guru yang berukuran 4 X 6 meter itu, bak suasana perlombaan merokok. Bau rokok klobot yang cukup keras berhamburan. Beberapa menit kemudian, enam orang anak yang berusia antara 9 dan 13 tahun akhirnya tumbang. "Soalnya, asapnya tak boleh dikeluarkan, harus ditelan," salah seorang murid yang ikut menjadi terhukum menuturkan. Suasana segera berubah panik. Beberapa guru segera dipanggil untuk memberi pertolongan. Anak-anak yang teler itu lalu digotong ke Puskesmas Palengaan, lima kilometer dari sekolah. Setelah diberi minum kopi dan sedikit obat, mereka sadar. Beberapa saksi sempat menuturkan bahwa dari hidung mereka keluar darah. Tapi ini dibantah kepala sekolah, Abdul Roshid. "Itu tak benar. Mereka cuma mabuk karena tak tahan asap," tuturnya kepada TEMPO. Setelah itu, mereka juga langsung pulang. Peristiwa tumbangnya enam murid ini segera menyulut protes orangtua. Mereka menilai hukuman itu keterlaluan. "Kalau guru seperti itu masih mengajar di sini, saya akan membuat perhitungan," kata Hudori, seorang petani di sana, yang anaknya ikut teler. Hudori secara tak resmi menjadi wakil bagi orangtua lain dalam kasus ini. Sementara itu, ia mengaku anaknya baik-baik saja di rumah. "Saya tak pernah melihatnya merokok," Hudori menambahkan. Malang bagi Achmadi, peristiwa ini kemudian tercium oleh wartawan dan mendapat jatah liputan yang cukup gencar. Hukuman pun jatuh. Ia dipindahkan dari Rek-Kerek ke pelosok, di SDN Palengaan Daya IV. Achmadi pun terpaksa memboyong keluarganya yang selama ini tinggal di Kota Pamekasan. Menurut atasannya Kepala Ranting Departemen P & K Kecamatan Palengaan, Madlikah, hukuman itu tak mendidik. "Mestinya diperingati dulu, terlebih lagi menghukum dengan menyuruh merokok itu kan berbahaya," kata Madlikah. Achmadi juga sudah mengaku, "Waktu itu, saya emosi," demikian alasannya kepada Madlikah. Padahal, merokok bukanlah hal yang baru bagi anak-anak kecil di Madura. "Itu semacam tradisi," kata seorang guru. Dalam hajatan, misalnya, undangan yang datang selalu mendapat suguhan rokok. Itu sebabnya sembilan anak yang lain menikmati hukuman itu. Emosi yang meledak juga membuat Edi, guru olahraga di SMEA Yayasan Kejuruan Teknologi Baru, Bogor, menjadi bahan gunjingan pers. Ceritanya terjadi Kamis dua pekan lalu. Pagi itu, ia memergoki Ibrohim, salah seorang muridnya, datang terlambat ke lapangan Cilendek untuk berolahraga. Masih ada dosa lain, Ibrohim tak berseragam dan langsung ngobrol dengan teman-temannya. Edi yang panas segera memanggil Ibrohim. Belum lagi penjelasan disampaikan, tangannya sudah melayang. Sampai di sini, ada dua versi cerita. Menurut pengakuan Edi, yang disampaikannya kepada Kepala Sekolahnya, Drs. Endang Efendi, ia hanya dua kali menempeleng. Ia mengaku panas karena Ibrohim terkesan melawan. Versi ini juga menyebutkan bahwa Ibrohim tak langsung pingsan. Sedangkan menurut seorang teman Ibrohim yang menyaksikan peristiwa itu, sang guru sempat lima kali menempeleng Ibrohim. Anak yang tinggal di panti asuhan itu juga langsung pingsan. Kesaksian ini dibenarkan oleh yang bersangkutan. "Baru dua kali kena, saya sudah berkunang-kunang dan tak ingat apa-apa lagi," kata Ibrohim yang bertubuh kecil itu kepada TEMPO. Tahu-tahu, ia sudah berada di rumah sakit Karya Bhakti. Dari sinilah lantas tersiar kabar bahwa Ibrohim cacat dan gendang telinganya pecah. Namun, peristiwa ini tak berkepanjangan. Telinga kiri Ibrohim memang masih sedikit mendenging tapi, menurut dokter, tak ada kerusakan serius. Guru dan murid ini juga sudah berdamai. "Saya memang tak berdisiplin kok," kata Ibrohim. Untungnya, nasib Edi tak sejelek Achmadi. Ia hanya mendapat teguran dari sekolahnya. Zed Abidien (Pamekasan), Ida Farida (Bogor), YH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus