Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Cengkeh dan rokok

Komoditi cengkeh berasal dari perkebunan rakyat. konsumennya, 90% pabrik rokok. kebijaksanaan pemerintah yang berhasil untuk cengkeh dan rokok ada- lah cukai tembakau dan rokok.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cengkeh dan Rokok SJAHRIR BERBEDA dengan karet atau teh, cengkeh adalah komoditi yang produksinya nyaris seluruhnya berasal dari perkebunan rakyat. Peran perusahaan besar atau perkebunan swasta yang berskala besar amatlah kecil. Setidak-tidaknya 95% dari produksi cengkeh adalah hasil dari petani cengkeh. Produksi cengkeh terutama dihitung berdasarkan kilogram produksi per hektare tanaman. Berbeda dengan intensifikasi produksi beras, ternyata tidak mudah meningkatkan produktivitas per hektare dari cengkeh. Karena itu, range produktivitas berfluktuasi naik dan turun, pernah mencapai lebih dari 400 kilogram/hektare, tetapi juga pernah merosot hanya mencapai 150 kilogram/hektare beberapa tahun kemudian. Ini kemudian tampaknya berkorespondensi dengan fluktuasi luas areal tanaman yang bisa berubah-ubah pula. Hanya, tampaknya luas tanaman yang ditanami cengkeh cenderung meningkat terus. Siklus produksi yang dikenal adalah empat tahun dengan satu tahun panen raya dan tiga tahun panen biasa cengkeh terutama di wilayah-wilayah Sulawesi Utara, Aceh, dan Jawa Timur. Bila produksi cengkeh menggambarkan data tersebut, siapakah konsumen atau faktor demand dalam komoditi cengkeh? Ternyata, pabrik rokok kretek mengonsumsi lebih dari 90% dari total konsumsi. Pabrik rokok yang menggunakan cengkeh adalah produsen rokok kretek yang terdiri dari sigaret kretek tangan (SKT), sigaret kretek mesin (SKM), dan klobot yang berpembungkus daun jagung kering. Share terbesar dari penggunaan cengkeh adalah sigaret kretek mesin (SKM) dan peran empat produsen rokok kretek yang paling menonjol mendominasi konsumsi cengkeh. Keempat pabrik rokok pengguna SKM adalah Gudang Garam (Kediri), Djarum (Kudus), Bentoel (Malang), dan Dji Sam Soe (Surabaya). Praktis yang memacu produksi cengkeh adalah peningkatan fantastis dari produksi SKM yang dalam kurun hampir dua dekade, rata-rata mencapai peningkatan 50% per tahun. Di luar rokok kretek, bunga cengkeh dikonsumsi secara langsung sebagai bumbu dan bahan penyedap makanan. Namun, baik penggunaan itu maupun cengkeh sebagai bahan industri farmasi serta sebagai bahan untuk wangi-wangian, kesemuanya kecil nilainya dalam perbandingan dengan penggunaan cengkeh sebagai bahan industri rokok kretek. Dari sudut ekonomi, dikenal konsep elastisitas permintaan terhadap harga. Artinya, yang ditinjau adalah bagaimana reaksi permintaan terhadap kenaikan harga. Cengkeh ternyata merupakan komoditi yang elastisitas permintaannya inelastis. Artinya, gejolak perubahan harga tidak mempengaruhi permintaan terhadap cengkeh dari pabrik rokok kretek. Kekurangan cengkeh bagi pabrik rokok tidak dapat hingga kini disubstitusi, karena itu impor cengkeh berlangsung. Di pihak lain, bila terjadi kelebihan persediaan, pabrik rokok kretek tidak akan mampu menyerap karena kebutuhannya tetap terbatas. Bila harga dinilai menarik bagi petani, seperti harga yang ditetapkan SK Menteri Perdagangan sekarang, peningkatan produksi akan berlangsung secara amat cepat. Mengingat produksi cengkeh jumlahnya banyak sekali di kalangan petani dan konsentrasi permintaan (katakan empat besar pabrik rokok kretek) yang lebih terorganisasi, peran intervensi Pemerintah tampak menonjol. Dari berbagai peran, yang paling menonjol dan mempunyai dampak makro ekonomi terbesar adalah cukai tembakau. Diperkirakan penerimaan Pemerintah dalam APBN dari cukai tembakau mencapai sekitar Rp 2 trilyun. Bila dihitung penerimaan Pemerintah dari PPN dan Pajak Penghasilan, penerimaan Pemerintah bisa mencapai di sekitar Rp 2,5 trilyun yang berarti sekitar 4% hingga 5% dari total penerimaan APBN. Ini menyebabkan penerimaan dari rokok kretek menjadi penerimaan Pemerintah yang terbesar dari suatu komoditi setelah minyak dan gas alam. Namun, keberhasilan di sektor fiskal ini berbeda dengan tata niaga. Sebelum SK Menteri Perdagangan pada awal tahun ini, berbagai keppres (keputusan presiden) pernah dibentuk. Ada Keppres 50/76, Keppres 58/77, dan Keppres 8/80. Sejak Keppres 8/1980, peran KUD (koperasi unit desa) hendak dilibatkan. Bank Indonesia dan BRI juga memberikan fasilitas kredit melalui Puskud (pusat koperasi unit desa). Dalam pelaksanaannya lebih besar pembelian cengkeh yang dilaksanakan oleh para pedagang. Menghadapi fluktuasi harga, peran KUD tidak berarti dalam menyerap produksi. Di luar cukai tembakau yang masuk APBN ternyata juga dikenal berbagai pungutan. Pungutan yang dikenal adalah dana SRC (Sumbangan Rehabilitasi Cengkeh) yang "jatuh" ke Pemda dan apa yang disebut Dana Penalti yang dipungut Pemerintah Pusat. Yang tampak dari berbagai pungutan itu adalah tidak jelasnya penggunaan penarikan dana di luar cukai tembakau/rokok yang ada pada APBN. Namun, yang jelas adalah besarnya peran Pemerintah dalam tata niaga dan kebijaksanaan fiskal sehubungan dengan produksi cengkeh dan pabrik rokok kretek yang mengonsumsinya. Prosedur pemberian kredit kepada pengadaan cengkeh melibatkan KUD-Kandep Koperasi, Kantor Cabang/Kantor Wilayah BRI, dan Bank Indonesia sendiri. Kini dengan BPPC yang berdasarkan SK Menteri Perdagangan, tata niaga jauh lebih terkonsentrasi dan peranan PT Kerta Niaga sebagai "stabilisator" harga diambil alih sepenuhnya oleh BPPC. Juga pemberian kredit yang diperoleh BPPC ketika badan itu memperoleh Rp 400 milyar (sebelumnya telah menerima Rp 356 milyar) memungkinkan badan itu membeli langsung kepada petani. Ini berbeda dengan SK Menteri Perdagangan dan Keppres No. 8/1980 yang eksplisit menetapkan peran KUD dalam pengadaan cengkeh. Yang juga jelas adalah bahwa peran harga internasional dan perbedaannya dengan harga domestik selalu menjadi obyek manipulasi. Bila seperti saat ini harga domestik jauh lebih tinggi dari harga internasional, dampaknya adalah (berdasarkan yang terjadi tahun-tahun sebelumnya) peningkatan produksi yang amat pesat. Excess supply yang tidak tertampung pabrik-pabrik rokok kretek (karena inelastisnya permintaan terhadap cengkeh) akan merupakan masalah amat besar dalam enam bulan hingga 18 bulan mendatang. Sementara itu, bila supply pabrik rokok kretek memungkinkan mereka menunda pembelian cengkeh, masalah penyediaan (storage) cengkeh akan menjadi persoalan amat berat yang harus dihadapi oleh BPPC. Sebenarnya, satu-satunya instrumen kebijaksanaan yang paling berhasil yang menyangkut cengkeh dan rokok adalah cukai tembakau dan rokok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus