DARI 19 Kepala Perwakilan Rl se Asia Pasifik yang hadir dalam
rapat kerja di gedung pertemuan Deplu Caraka Loka, Senayan,
Jakarta Senin lalu, Letjen Leo Lopulisa -- Dubes RI di
Filipina--yang paling "laris" Para wartawan dan jurupotret
selalu membuntuti yang berpakaian necis itu. Ini, tentu saja,
berkat pernyataan Leo tentang Sabah yang menghebohkan itu. Pada
pers, Leo yang pagi itu mengenakan stelan safari warna krem,
seperti biasa berbicara blak-blakan.
Kisahnya: 7 Januari lalu wartawati Christy Puyat dari harian
Bulletin Today mewawancarai Dubes Leo. Esoknya beritanya muncul
di koran Manila yang berpengaruh itu.
Dubes Leo, menurut berita itu, mendesak agar Filipina dan
Malaysia berunding menyelesaikan perselisihan mengenai masalah
Sabah. Ia menyarankan pemerintah Filipina sebaiknya mengeluarkan
pernyataan resmi yang membantah tuntutan atas Sabah guna
melapangkan jalan bagi hubungan yang harmonis dengan pemerintah
Malaysia.
Tatkala menghadiri KTT ASEAN di Kualalumpur pada 1977, Presiden
Ferdinand Marcos secara dramatis mengumumkan bahwa Filipina
membatalkan tuntutannya atas Sabah yang dipersengketakan dengan
Malaysia sejak 1962. Namun dalam konstitusi Filipina, Sabah
masih dicantumkan dalam wilayah nasionalnya. Sejak 1977 itu,
juga tidak ada tindak lanjut dari pernyataan Marcos tersebut.
"Yang diperlukan sekarang ialah suatu resolusi formal yang
disahkan oleh badan pembuat hukum Filipina yakni Batasan
Pambansa (Majelis Nasional)," kata Leo dalam wawancara itu.
Menurue Dubes yang bekas Pangkowilhan 111 itu, pemerintah
Malaysia tampaknya belum yakin akan sikap Filipina.
Berita itu ternyata menggusarkan pemerintah Filipina. Menteri
Luar Negeri Carlos P. Romulo hari itu memanggil Dubes Leo yang
belum 3 bulan menduduki posnya. Menurut pernyataan yang
dikeluarkan Deplu Filipina, Leo dipanggil untuk menyatakan sikap
Filipina yang "sangat tidak senang" atas pernyataan Dubes RI
itu.
Romulo menilai ucapan Dubes RI itu "pernyataan yang tidak
sepantasnya" atas masalah yang terutama menyangkut pemerintah
Filipina dan suatu negara yang bersahabat. Dubes Leo dituduhnya
melakukan "campur tangan yang tidak wajar" dalam soal Sabah.
Menurut suatu sumber, Romulo -yang pekan lalu merayakan
ulang-tahunnya yang ke-83 -- dalam pertemuan dengan Leo itu
antara lain mengatakan, "Anda kira Anda siapa sampai bisa
mengatakan begitu? Nampaknya Anda lebih berpengalaman sebagai
militer dibanding sebagai diplomat. Karena ucapan itu Anda bisa
didemonstrasi dan bisa meninggalkan Filipina sebagai personanon
grata."
Romulo kemudian meminta Leo membuat semacam ralat atas berita
Bulletin Today. Hari itu juga penjelasan itu dikeluarkan: Leo
tidak bermaksud menggurui apa yang harus dilakukan Filipina.
"Sebab tugas saya adalah untuk membina hubungan persahabatan RI
dengan Filipina yang telah ada selama ini," katanya dalam
pernyataan itu.
Menyadari bahwa masalah ini bisa meretakkan hubungan
RI-Filipina, Departemen Luar Negeri RI 11 Januari lalu memanggil
Dubes Filipina di Jakarta. Deplu menyatakan, apa yang dikatakan
Leo Lopulisa tidaklah mencerminkan sikap pemerintah RI atas
masalah Sabah. Kepada pers, Menlu ad interim M. Panggabean dua
hari kemudian menyatakan persoalan ucapan Dubes Leo Lopulisa
"dianggap sudah selesai." Namun Leo dipanggil juga ke Jakarta
untuk diminta penjelasannya.
Reaksi keras Filipina atas ucapan Leo rupanya cukup mengagetkan
pemerintah. Soalnya selama ini hubungan kedua negara sesama
anggota ASEAN ini cukup erat. Memang banyak pejabat Indo nesia
yang tampaknya agak kesal dengan sikap Filipina yang cenderung
menundanunda mengambil langkah lanjut dari pembatalan tuntutan
atas Sabah. Namun secara resmi sikap itu tidak pernah terungkap.
Wajar bila pernyataan Leo menimbulkan kegegeran.
Pernyataan Leo mengenai Sabah itu sebetulnya bukan yang pertama.
Akhir September lalu, dalam pernyataannya sebelum menuju posnya
di Manila, ia juga menyinggung soal Sabah.
Seusai menemui Presiden Soeharto di Istana Merdeka akhir
September itu, Dubes Leo antara lain mengatakan "Sabah memang
tercantum dalam Konstitusi Filipina, tapi yang sebenarnya berada
di sana secara de facto adalah Malaysia. " Pernyataan yang
kurang begitu diekspos pers Indonesia ini kabarnya mengagetkan
pihak Filipina. "Tapi karena menganggap dia pejabat baru, dan
demi semangat ASEAN, kami diam saja," kata seorang diplomat
Filipina. Menurut sumber lain, Leo dianggap pihak Filipina "agak
berbeda" dibanding para diplomat Indonesia lain yang pernah
bertugas di Filipina.
Bagaimanapun, kasus ini mungkin bisa menjadi pelajaran. Leo
sendiri menyangkal berita yang mengatakan ia minta maaf pada
Menlu Romulo. "Saya tidak bersalah kok, buat apa minta maaf,"
ucapnya tegas. Dibantahnya juga pendapat beberapa kalangan--di
Indonesia dan Filipina--yang berpendapat kasus ini terjadi
karena ia duta besar nonkarir yang baru. "Itu namanya menghina
Pak Harto. Pak Harto kan menyodorkan saya sebagai orang dengan
prestasi baik dan layak untuk tugas itu. Presiden Marcos pun
sudah menerima saya," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini