Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Ina Agustina Isturini menyebut potensi penularan tuberkulosis (TBC) tidak terbatas pada profesi tertentu saja, artinya siapapun memiliki risiko tertular. Namun, beberapa profesi dengan lingkungan kerja tertentu memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terpapar penyakit yang disebabkan bakteri bakteri Mycobacterium tuberculosis tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Berdasarkan penelitian, bahwa pekerja yang paling berisiko ya, yang pertama adalah tentu dia adalah yang lingkungannya memang berisiko bertemu dengan penyandang TB ya,” ujarnya dalam temu media bertema tentang TBC yang diadakan daring pada Selasa, 21 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ina menyebut tenaga kesehatan atau tenaga lab yang bekerja di satuan-satuan kesehatan menjadi profesi dengan risiko terpapar TBC paling tinggi. Profesi ini memiliki kemungkinan besar bertemu atau berinteraksi langsung dengan pasien TBC.
Kemudian, ia menyebut buruh pabrik juga profesi dengan kemungkinan terkena TBC yang tinggi karena bekerja di lokasi yang padat pekerja. Kemungkinan ini meningkat apabila ventilasi di ruangan tempat buruh-buruh bekerja tersebut tidak memadai dari segi jumlah maupun kualitas.
“Kemudian adalah untuk pekerja tambang, terutama yang terpapar debu silika, itu memang ada penelitian juga, dia termasuk yang berisiko tinggi,” kata Ina melanjutkan.
Dia mengatakan risiko dari paparan debu silika terhadap pekerja tambang dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan penyakit paru-paru yang disebut silikosis.
Melihat hal ini, Ina menyarankan perusahaan-perusahaan dengan risiko paparan TBC yang tinggi untuk tidak langsung memecat pekerjanya yang positif TBC. Perusahaan disarankan untuk menelusuri kontak erat dengan pasien positif untuk mencegah terjadinya penyebarluasan.
“Seperti kalau Kemenaker, setahu saya, kalau ada yang positif, dia diberi waktu cuti dua minggu ya, nah setelah dua minggu dia bisa datang ke kantor pakai masker. Nah setelah dua bulan pengobatan, kalau pengobatannya benar, sebenarnya sudah enggak menularkan, gitu,” ujarnya memberi contoh.
Perusahaan juga diarahkan untuk melakukan skrining massal yang diadakan setiap tahun sekali. Dalam hal ini, deteksi kasus dengan cepat menjadi kunci untuk memberantas TBC di lingkungan manapun, termasuk lingkungan kerja.
Selain itu, sebagai langkah preventif, setiap orang juga diharapkan memiliki kesadaran dengan menerapkan dan menyebarluaskan standar kebersihan yang telah dilakukan semasa COVID-19.
“Sebenarnya waktu jaman COVID-19 itu sudah bagus loh, bagaimana kita benar-benar ketat ya untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, untuk selalu cuci tangan, kemudian kalau sakit pakai masker, menghindari kerumunan, kalaupun ada di kerumunan kita menggunakan masker gitu ya,” katanya.
Menurut Ina, membiasakan hal-hal itu dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya demi menghindari TBC, tetapi juga dari banyak penyakit lain yang medium penularannya berupa udara yang lebih mudah ditemukan dalam kerumunan.
Pilihan Editor: Megawati Titip Minyak Urut untuk Prabowo Lewat Muzani