Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Lontong Cap Tugu Pahlawan

Sentra perajin lontong di Banyu Urip, Surabaya, memasok kebutuhan lontong Surabaya hingga Gresik. Perajin butuh mesin agar efisien.

2 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penduduk Banyu Urip, Kupang Krajan, Sawahan, memulai hari lebih awal dibanding warga Surabaya lainnya. Bagi warga gang berlubang-lubang dan hanya bisa dilintasi satu sepeda motor itu, pukul 01.00-03.00 adalah waktu bangun tidur. Warga Kampung Lontong, begitu kampung penghasil lontong itu disebut, harus mengentas lontong dari dandang yang telah mereka tanak 10-12 jam sebelumnya. Dari dandang, lontong ditiriskan, lalu dikemas ke dalam plastik.

Lontong produksi Banyu Urip berukuran 6, 8, dan 10 sentimeter, dengan diameter 4 sentimeter. Satu plastik kemasan ukuran tanggung berisi 10 lontong. Setelah dikemas, lontong siap dijual ke pasar. Semua anggota keluarga bekerja. Anak-anak biasanya menggunting untuk merapikan ujung lontong. "Kalau tak ada anak atau kerabat, ada tetangga yang bisa membantu," ujar Ari Siswanto, 35 tahun, Ketua Paguyuban Pedagang Lontong Banyu Urip, Senin pekan lalu.

Mereka yang mengentas lontong sekitar pukul 01.00, seperti Ari, pergi berjualan ke pasar sekitar pukul 03.00. Umumnya perajin menjual sendiri lontong hasil produksinya. Sembari berjualan di pasar, perajin lontong mempersiapkan produksi selanjutnya. Mereka membuat selontongan atau pembungkus lontong. "Nyicil pekerjaan, daripada ngantuk di pasar," katanya.

Di rumah pun selontongan dipersiapkan oleh anggota keluarga atau tetangga yang membantu, hingga siap diisi beras yang sudah dibersihkan dan ditiriskan untuk produksi berikutnya. Dengan begitu, sekembali mereka ke rumah sekitar pukul 07.00, selontongan siap diisi kembali. Biasanya pengisian selontongan rampung menjelang sore.

Proses produksi lontong tak pernah berhenti di kampung itu. Ada 70 perajin yang menghasilkan sekitar 70 ton lontong per bulan dengan kebutuhan 2.335 kilogram beras per hari. Perajin menjual sendiri produknya ke pasar-pasar di Surabaya, seperti Pasar Tembok, Pakis, Banyu Urip, Wonokromo, Keputran, sampai ke Gresik. Hasil produksi Kampung Lontong itu selalu terserap pasar. Maklum, banyak makanan khas Surabaya dan sekitarnya yang membutuhkan lontong sebagai bagian dari hidangan. Rujak cingur, lontong kupang, lontong mi, lontong balap, sate, dan soto biasa disajikan dengan lontong.

Untuk membantu proses produksi, pemerintah kota mengupayakan beras dari Bulog dan bahan bakar gas yang disalurkan ke rumah-rumah perajin sejak Desember 2012. Ari mengatakan awalnya perajin diwajibkan membayar Rp 1,5 juta per bulan. Karena banyak yang keberatan, pemerintah kota mematok harga Rp 2.800 untuk tiap meter kubik gas yang disalurkan ke rumah.

Instalasi gas dipasang gratis. Sekitar 100 keluarga menikmati fasilitas ini. Mayoritas yang mendapatkannya adalah pedagang lontong yang berjumlah 70 orang. Mereka tersebar di RW 6, RW 7, dan RW 2 Banyu Urip. Selebihnya perajin tempe atau rumah tangga biasa.

Dengan pasokan gas itu, perajin menghemat biaya bahan bakar sekitar 40 persen. Ari, misalnya, harus membayar gas Rp 1,5 juta per bulan ketika masih menggunakan gas tabung untuk kapasitas produksi 1.500 lontong per hari. Dengan gas berlangganan, ia hanya membayar Rp 800-900 ribu per bulan. "Tanpa bantuan pemerintah kota, usaha ini tak bakal maju," kata Ari.

Untuk kebutuhan air, perajin menggunakan air PDAM. Di kampung itu sudah tidak ada lagi sumur yang airnya layak untuk membuat lontong.

Akan halnya beras, mereka memperolehnya dari banyak sumber. Selain dari Bulog, sebagaimana disediakan pemerintah, perajin membeli jatah beras untuk orang miskin (raskin) dan pedagang beras. Beras dari Bulog, yang harganya Rp 6.500 per kilogram, tak ditemukan perajin di pasar. Raskin dibeli dengan harga Rp 6.000 per kilogram. "Harganya lebih murah, teksturnya keras. Cocok untuk lontong," kata Ari.

Tekstur yang keras lebih menguntungkan. Beras lebih mengembang sehingga lebih hemat bahan baku. Satu kilogram beras keras dapat menghasilkan 30 lontong yang panjangnya 8 sentimeter dengan harga jual Rp 800 per batang untuk 10 batang. Untuk penjualan eceran, harganya Rp 1.000 per batang.

Namun tidak semua lontong menggunakan beras murah. Katering dan depot biasanya memesan lontong yang kualitasnya lebih baik. Harga bahan bakunya pun berbeda. Perajin seperti Siti Khatijah, 39 tahun, perajin terbesar, hanya menggunakan beras di pasar seharga Rp 7.500 per kilogram. "Ini beras timbunan dari Lamongan," kata Siti.

Bahan terbaik adalah beras yang telah ditimbun dua-tiga tahun tapi tak berkutu. Beras timbunan berkadar air rendah, sehingga lontong jadi keras tapi lebih pulen. Harga jualnya lebih mahal. Lontong ukuran 8 sentimeter dijual Siti Rp 1.250-1.500 per batang.

Siti berusaha mempertahankan mutu dengan beras yang baik. Dia tak memilih beras murah karena pernah dikritik mantan presiden Megawati. "Lontongnya keras," komentar Megawati ketika mengun­jungi Kampung Lontong pada Oktober 2012, seperti ditirukan Siti.

Akan halnya daun pisang batu untuk pembungkus selalu baru setiap hari. Kalau tak ingin repot seperti Siti, daun dibeli dua hari sekali sembari menjual lontong. Daun ratusan bal dipasok dari Malang, Bojonegoro, Jember, dan Sidoarjo.

Para perajin menjamin lontong produksi mereka sehat karena tanpa bahan kimia. Jika lontong mereka awet hingga sore, itu karena ditanak selama 10-12 jam. Selebihnya, lontong pasti berair. Toh, lontong Banyu Urip tetap ditunggu pembeli.

Saban hari Siti memproduksi 2.000 lontong dengan omzet Rp 1,5-2 juta. Artinya, sekitar Rp 45-60 juta per bulan. Sedangkan Ari memproduksi 1.000-1.500 lontong dengan pendapatan Rp 30 juta per bulan. Adapun pekerja bisa mengantongi Rp 20 ribu per hari. Upah mengisikan beras ke dalam selontongan Rp 2.000 per keranjang yang isinya 70 selontongan.

Ari mengatakan paguyuban kerap menggelar pertemuan untuk berbagi dengan anggota, pegiat lembaga swadaya masyarakat, dan media massa. Secara tidak langsung, pertemuan-pertemuan itu memperluas jaringan promosi. Ia berharap akan ada mesin pencetak lontong agar dapat membantu pekerjaan lebih efektif dan efisien. "Kata Presiden Megawati, ada mesin seperti pencetak lontong di luar negeri."

1 1 1

Kampung Lontong di Banyu Urip awalnya adalah kampung tempe. Lantaran banyak pesaing, warga beralih memproduksi lontong. Rumiya mengawalinya. "Dulu saya disuruh menjualkan lontong milik teman. Lha kok ternyata laku. Akhirnya saya bikin sendiri," kata Rumiya, Senin pekan lalu.

Lontong bikinan Rumiya berbeda dengan lontong di pasar. Tak seperti lontong pada umumnya yang dibungkus daun pisang dengan warna yang pekat untuk sisi luar, Rumiya justru membaliknya. Bagian dalam daun pisang digunakan sebagai permukaan luar lontong. Soal rasa, sama saja.

Namun, kata perempuan 75 tahun itu, lontong dengan daun "terbalik" ini merupakan ciri khasnya. "Kalau nemu lontong seperti ini, sudah bisa dipastikan lontong itu asli Banyu Urip," ujarnya.

Ibu tujuh anak ini mendapatkan formula dengan coba-coba. Ia juga belajar dari pengalaman teman-temannya yang gagal. Rumiya terus belajar untuk membuat lontong yang enak dan tahan lama. Biasanya lontong akan matang setelah dimasak tujuh jam. Namun dia menanaknya hingga 10 jam agar awet.

Rumiya menyebarkan hasil coba-coba dan pengalamannya kepada tetangganya, yang ketika itu perajin tempe, perajin aksesori, atau pengelem amplop. Tak ada rahasia yang disembunyikan untuk menghasilkan lontong yang enak dan tahan lama. Tetangga yang berpenghasilan sekitar Rp 10 ribu per minggu segera beralih ke usaha lontong. Membuat dan berdagang lontong lebih menguntungkan ketimbang membuat tempe, yang banyak pesaingnya. Pada 2005, sekitar 80 warga Banyu Urip menjadi perajin lontong. Hingga kini jumlah perajin berkurang 10 karena hengkang dari kampung itu.

Meski Rumiya orang pertama yang membuat lontong di kampung itu, produksinya bukan yang terbesar. Dalam sehari, ia memproduksi 240-260 lontong dengan 15-20 kilogram beras seharga Rp 7.500 per kilogram. Omzetnya sekitar Rp 9 juta per bulan, kalah jauh ketimbang Ari dan Siti.

Namun Rumiya tak keberatan atau menyesal telah mengajari kerabat dan tetangganya membuat lontong. Justru dia bersyukur karena menjadi inspirasi hingga tercipta Kampung Lontong. Menurut dia, rezeki orang sudah ada yang mengatur. "Asalkan saya bisa makan, bisa datang ke pengajian," katanya, "itu sudah cukup."

Endri Kurniawati, Dewi Suci Rahayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus