JAMALUDDIN, 78 tahun, petani asal Riau, tahun ini akan menunaikan ibadah haji yang kelima kalinya. Walau tubuhnya renta, lelaki buyutan itu nekat melak-sanakan haji di waktu utama (prime time) musim haji, yaitu bulan Zulhijah. Pada waktu utama itu, jutaan orang bakal tumplek blek di sekitar Ka'bah, Kota Suci Mekah. Berdesak-desakan dan terinjak-injak orang adalah risiko yang bisa saja menimpanya. Toh, Jamaluddin bergeming. "Pengalaman yang paling saya nikmati justru perjuangan di saat harus berdesak-desakan," kata Jamaluddin.
Memang kecelakaan tidak datang setiap saat. Dan Jamaluddin bisa saja lolos dari musibah. Namun, peristiwa yang mengenaskan pernah terjadi pada 10 Juli 1990, yang bertepatan dengan 10 Zulhijah, sehari setelah wukuf di Arafah, puncak prosesi haji. Sekitar 1.600 orang jemaah haji?termasuk 560 orang Indonesia?tewas karena terinjak-injak ribuan orang di dalam terowongan sepanjang 600 meter bernama Almuasim.
Susana tak nyaman itu disaksikan pengacara Adnan Buyung Nasution saat berhaji. "Saya sedih. Justru di dekat Ka'bah, hak asasi orang diinjak-injak. Masa, untuk mencium Hajar Aswad saja, orang tega menginjak-injak wanita atau anak-anak? Kalau diatur, apa tidak bisa?" kata Buyung seperti dikutip cendekiawan Komaruddin Hidayat.
Buyung tak sendirian dalam memprihatinkan kenyamanan dan keselamatan berhaji. Menjelang musim haji tahun ini, cendekiawan Nahdlatul Ulama, Masdar F. Mas'udi, menawarkan sebuah ijtihad menyangkut waktu pelaksanaan haji. Gagasan yang tertuang dalam makalah pendek setebal tujuh halaman itu ia edarkan di kalangan terbatas. Tujuan ijtihad itu, antara lain, mengurangi dampak buruk (mafasid) akibat keterbatasan tempat pelaksanaan rukun Islam kelima tersebut.
Pusat proses (manasik) haji di sekitar Ka'bah, batu hitam yang terletak di Masjid Alharam Kota Mekah, memang hanya berdaya tampung sekitar 1,5 juta orang. Sedangkan jemaah haji dari seluruh dunia kini mencapai 3 juta. Jumlah itu bakalan menggelembung di tahun-tahun mendatang. Konsentrasi massa di luar batas daya tampung itu, menurut Masdar, telah menimbulkan masalah, bahkan penyimpangan, yang dapat mengganggu keabsahan ibadah haji.
Contohnya dalam pelaksanaan mabit (bermalam) di Muzdalifah. Karena antrean kendaraan, tak jarang jemaah terjebak dalam kemacetan yang parah sehingga banyak yang tiba di Muzdalifah sesudah matahari terbit?hal yang menyimpang dari kemestian bermalam. Dampak negatif lain adalah pemubaziran, misalnya pembuatan fasilitas bermalam di Kota Mina yang dilengkapi alat penyejuk udara, sarana jaringan air minum, dan telekomunikasi yang hanya dipakai 4 hari dalam setahun.
Selama ini, pemerintah Kerajaan Arab Saudi memang telah mencoba memecahkan persoalan dalam mengelola haji, misalnya dengan penerapan kuota (pembatasan) untuk setiap negara. Namun, alih-alih memecahkan masalah, kebijakan itu justru menimbulkan masalah baru. Tak sedikit orang yang kebelet berhaji menyogok petugas agar bisa berangkat ke Tanah Suci.
Konsentrasi massa pada satu tempat di satu waktu itu, menurut Masdar, bersumber pada kesalahan menyangkut konsep waktu pelaksanaan haji. Selama ini, kebanyakan muslim berpendapat bahwa pelaksanaan haji hanya sah dilakukan sekitar 6 hari pada bulan Zulhijah, yang puncaknya pada tanggal 9. Dasarnya adalah hadis yang menyatakan bahwa haji itu arafah. "Itu kesimpulan yang berlebihan," kata Masdar.
Karena itu, Masdar membongkar konsep konvensional tersebut. "Waktu haji tidak sesempit yang kita pahami selama ini," kata Masdar. Alasannya berderet. Menurut Masdar, Alquran jelas menyatakan bahwa waktu pelaksanaan haji adalah beberapa bulan yang sudah diketahui, seperti bunyi sebuah ayat: "Alhajju asyhurun maklumaat." Bulan yang dimaksud adalah Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah?seperti ditafsirkan para ulama. Menurut ulama mazhab Hambali, waktu haji yang dimaksud adalah keseluruhan hari selama tiga bulan tersebut. Pendapat ulama dari mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafiah tak jauh berbeda.
Alasan lain, waktu pelaksanaan haji longgar (muwassa'), tak seperti waktu puasa Ramadan, yang sudah ditentukan secara terbatas (mudhoyyaq). Karena batas waktunya longgar, haji mengenal waktu yang utama (prime time) dan waktu yang absah. "Maksudnya, pelaksanaan haji di luar prime time tetap sah, hanya keutamaannya yang berkurang," kata Masdar. Selain itu, ada alasan filosofis. Substansi haji adalah napak tilas atas jejak Nabi Adam dan Nabi Ibrahim dalam menemukan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai proses napak tilas, dimensi tempat menjadi penting untuk dijaga akurasinya dibandingkan dengan dimensi lain, termasuk dimensi waktu.
Lalu, bagaimana dengan hadis yang menyuruh agar umat Islam melakukan haji seperti manasik yang dilakukan Nabi Muhammad? Menurut penafsiran Masdar, hadis itu menyangkut manasik haji, baik syarat, rukun, kewajiban, kesunatan, maupun urutannya serta menyangkut waktu (siang atau malam). "Tapi bukan menyangkut tanggal atau hari-harinya," kata Masdar. Bila batas waktu haji yang longgar itu diberlakukan, diharapkan konsentrasi jemaah berkurang dan dampak buruknya otomatis terhindar. Selain itu, waktu longgar memudahkan wanita yang terganjal untuk berhaji karena haid. Mereka bisa memilih kalender yang aman.
Namun, gagasan Masdar itu masih bersifat ijtihad (pemikiran) pribadi. Bagaimana tanggapan Majelis Ulama Indonesia (MUI)? Lembaga yang menjadi rujukan fatwa sebagian umat Islam Indonesia itu belum bisa menanggapinya. "Untuk saat ini, MUI belum melakukan apa pun karena idenya baru berupa wacana," kata Dr. Din Syamsuddin, Sekretaris Umum MUI. Namun, yang jelas, MUI masih berpegang pada pendapat konvensional. Tanggapan senada datang dari sayap neomodernis. "Pemikiran Masdar itu masih asing sekali, tapi sebagai sebuah wacana, saya setuju saja," kata Komaruddin Hidayat dari Yayasan Paramadina Jakarta. Sebuah ijtihad memang membutuhkan waktu untuk diterima publik.
Kelik M. Nugroho, Arif A. Kuswardono, Hadriani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini