PEJABAT tinggi Pos & Telekom Zimbabwe menilep US$ 7,5 juta. Di Korea Selatan, seorang presiden dan penasihat pertahanannya menerima suap dari perusahaan yang ingin mendapat kontrak pembelian senjata. Di Singapura, seorang petinggi Public Utility Board kena sogok oleh lima perusahaan raksasa multinasional. Si pejabat dihukum 14 tahun penjara. Lima perusahaan penyogok masuk daftar hitam.
Di Jerman, kontraktor yang ingin mendapat kontrak pembangunan Terminal 2 Bandara Frankfurt harus menyuap sampai 2,5 miliar DM. Akibatnya, biaya proyek itu membengkak 20-30 persen. Di Prancis, 50 juta franc, di Belgia US$1,9 juta; di Malawi, jutaan dolar AS dibelanjakan oleh Dana Pers Pemerintah untuk membeli kertas "siluman"; di Kenya, US$ 1,5 juta. Semua ceritanya sama belaka.
Setiap Pembelian
Setiap kali pemerintah membeli barang atau jasa, muncullah kesempatan "kakap" untuk mencuri. Biasanya, departemen pemerintah yang memutuskan membangun suatu "proyek" berlagak transparan dan menyelenggarakan tender. Tapi, untuk masuk dalam daftar rekanan mampu dan memperkecil jumlah pesaing, peserta harus bayar. Informasi dari "dalam" pun ada harganya.
Untuk mengatur supaya orang "dalam" menyusun struktur spesifikasi tender, mesti bayar. Untuk menjadi pemenang terpilih, mesti bayar?biasanya 20-30 persen dari harga proyek. Untuk "diizinkan" lolos inspeksi dengan mutu jauh di bawah yang diperjanjikan dalam dokumen kontrak, mesti bayar. Untuk menerima bayaran dari pemesan (pemerintah), harus menunggu berbulan-bulan, karena uang yang merupakan hak penjual barang atau jasa dimasukkan dulu ke rekening deposito instansi pemesan.
Bunga deposito dibagi-bagi di antara pejabat. Mau terima bayaran dengan lancar 5-8 bulan kemudian? Bayar dulu.
Setiap 'Privatisasi'
Setiap kali pemerintah menjual suatu aset milik negara, muncul peluang korupsi besar-besaran. Proses penjualan aset negara kepada swasta adalah persis sama dengan penyelenggaraan tender untuk pembangunan proyek. Setiap pelelangan, setiap perundingan harga, setiap kali pemerintah masuk ke lapangan transaksi bisnis, di situ terjadi korupsi berskala "kakap".
Itu bisa berbentuk pembatasan jumlah peserta "tender", pengistimewaan pengusaha yang berkoneksi dengan orang dalam, pembatasan informasi bagi para peserta tender, dan introduksi biaya tambahan transaksi.
Beban Siapa?
Pejabat yang korup biasanya dianggap seperti pencuri. Setiap hari, kita membaca di koran tentang rumah di Jakarta Barat yang dimasuki maling, mobil "mercy" yang dipecahkan kacanya agar telepon genggam atau dompet atau jam tangan Rolex di dalamnya bisa dijarah. Sampai bosan kita baca, tas yang berisi uang dan baru saja diambil dari bank dijambret pengendara sepeda motor Yamaha RX King.
Yang kemalingan adalah rumah di Pluit, bukan rumah kita. Yang dirampok adalah mobil "mercy", bukan Kijang kita. Yang dijambret adalah uang gaji karyawan PT Timsajaya Korupindo Lestari, bukan warung kita.
Begitu pula cara kita melihat korupsi seorang pejabat. Yang dicuri adalah uang pemerintah, bukan uang kita. Benarkah?
Menjual Aset Negara
Kita ambil satu contoh. Pemerintah memutuskan menjual sebuah BUMN kepada swasta karena kinerjanya dianggap tak efisien dan kurang profesional. Katakanlah nilai pasaran perusahaan itu sekitar US$1 miliar.
Para pejabat tinggi berbagai departemen berkumpul dan memutuskan menjual aset negara tadi seharga US$ 900 juta, asal pembeli bersedia menempatkan uang US$ 97,5 juta di suatu rekening di bank luar negeri atas nama perseroan yang berkedudukan di Bahama.
Kenyataannya, perusahaan yang membeli aset negara tersebut membayar lebih dari nilai pasar, karena lingkaran penagih suap kian lebar. Sedangkan pemerintah rugi karena menerima US$ 100 juta lebih rendah dari nilai pasar aset yang dijualnya.
Bagaimana pemerintah meraih kembali kerugian yang telah dideritanya? Gampang. Naikkan saja tarif pajak pendapatan, pajak bumi dan bangunan, pajak rekening deposito di bank, pajak kendaraan bermotor, dan pajak ini dan itu.
Bagaimana pula pengusaha swasta menutupi kerugiannya? Juga gampang. Naikkan saja tarif yang dikenakan kepada pengguna jasa di masyarakat. Jelaslah, akhirnya yang membiayai korupsi adalah Anda. Matematikanya pun sederhana, meski prosesnya cukup berliku.
(Dari Susan Rose-Ackerman, "Corruption and the Global Economy," makalah di Konferensi tentang Korupsi di Negara Berkembang, Paris 1997)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini