Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUMPUKAN dokumen menjulang di meja kerja Marsekal Muda Agus Barnas di lantai 3 gedung Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Dokumen itu berisi materi beragam bentuk lembaga cyber di sejumlah negara. Ada yang berupa badan, agensi, kantor, dan koordinator.
Ketua Desk Ketahanan dan Keamanan Informasi Cyber Nasional ini membuka satu per satu dokumen tentang lembaga cyber negara lain itu. "Ini Uni Eropa, Amerika, Rusia, Inggris, Australia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Jepang. Masih banyak lagi," kata Deputi VII Bidang Komunikasi dan Informasi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan itu, Selasa pekan lalu. "Banyak negara sudah punya, cuma kita yang belum."
Sejak pertengahan Agustus lalu, Agus sibuk menyiapkan draf peraturan presiden yang akan dijadikan landasan hukum untuk membentuk lembaga yang menangani ketahanan informasi dan keamanan cyber secara nasional. Sedangkan namanya Badan Cyber Nasional.
Segera setelah dilantik pada 12 Agustus lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan memerintahkan Agus segera menuntaskan usul rancangan perpres. Rencananya, jika sudah terbentuk, badan baru yang menangani dunia cyber itu akan diperkenalkan Presiden Joko Widodo dalam lawatan ke Amerika Serikat pada Oktober mendatang.
Rapat-rapat bersama sejumlah lembaga terkait digelar maraton dua kali sepekan pada Selasa dan Kamis sejak 24 Agustus. Sampai Kamis pekan lalu, sudah tujuh pertemuan diadakan. "Kurang tiga kali lagi," ujar Agus.
Materi rancangan menyentuh kelembagaan dan sumber daya manusia. Diusulkan Badan Cyber diisi sekitar 150 awak yang 10 persennya adalah birokrat dan sisanya profesional. Badan ini bisa dipimpin figur dari kalangan sipil atau militer. "Di beberapa negara dipimpin militer, ada juga yang dari angkatan udara," kata Agus. Hasil kerja timnya akan diserahkan kepada Presiden Jokowi paling lambat pada awal Oktober.
Lembaga baru itu dirancang guna mengintegrasikan semua unit ketahanan nasional untuk menangkis serangan peretas (hacker), baik lokal maupun asing. "Tak akan digunakan untuk memata-matai warga sendiri," ujar Luhut.
Menurut Agus, Badan Cyber akan mengkoordinasi semua kegiatan cyber nasional sebagai bagian dari sistem pertahanan dan pengamanan dalam segala aspek. Bisa dibayangkan semacam Badan Intelijen Negara, yang juga bertanggung jawab langsung kepada presiden. Kerja bidang cyber juga dilakukan antara lain oleh BIN, Kepolisian RI, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan RI, pemerintah, dan perbankan.
Badan Cyber akan memberikan peringatan kepada pihak atau lembaga tentang segala ancaman serangan. Maka lembaga ini harus punya kemampuan dan perangkat untuk mengetahui konten di jaringan cyber tanpa harus melakukan tindakan penegakan hukum.
Direktur Eksekutif Indonesia Online Advocacy Margiyono tak setuju jika Badan Cyber sampai mengurusi substansi pesan. Sebab, hal itu bisa mengarah ke pengekangan kebebasan dan pelanggaran privasi warga negara. "Kalau begitu, banyak orang akan menolak Badan Cyber," katanya. Dia mengusulkan Badan Cyber berfokus pada keamanan jaringan dan data dari serangan peretas.
Margiyono menerangkan, pembentukan badan keamanan cyber di dunia bermula dari serangan cyber dengan DDOS Attack terhadap Estonia pada 2007, yang melumpuhkan aktivitas negara dan bisnis negeri yang terletak di Eropa Utara itu. Lalu Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) merintis konsep badan keamanan cyber. Kajian-kajian di Indonesia mengenai hal itu muncul lima tahun lalu dengan nama berbeda-beda.
Di Indonesia, serangan dan kejahatan di dunia maya membidik banyak kalangan dan lembaga, dari pemilik kartu kredit, bank, pengguna telepon seluler, pemerintah, hingga Komisi Pemilihan Umum. Hubungan dengan Australia pun menghangat pada akhir 2013 gara-gara soal cyber. Ketika itu, terungkap penyadapan pembicaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono; istrinya, Ani Yudhoyono; dan sejumlah menteri di Istana Negara pada Agustus 2009.
Namun belum ada lembaga yang khusus menjaga kepentingan nasional dari terpaan serangan via jaringan cyber. Aturan hukum pun belum cukup untuk itu. Apalagi sekarang pengguna gadget di seluruh dunia sudah mencapai 1,5 miliar orang. "Semuanya berpotensi menjadi penyerang," ujar Agus.
Dewan Ketahanan Nasional merekomendasikan penyiapan payung hukum serta pembentukan Desk Keamanan Cyber pada 30 Oktober 2013. Usul disampaikan kepada Presiden Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Ketahanan lewat surat enam halaman yang diteken Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Letnan Jenderal Waris.
Baru sekitar enam bulan kemudian Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menerbitkan surat keputusan pembentukan Desk Cyber, yang dipimpin Deputi VII Agus Barnas. Nama Badan Cyber Nasional muncul pertama kali dari usul Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Budi Susilo Soepandji kepada Presiden Yudhoyono pada 19 Agustus 2014. Lemhannas sekaligus meyakinkan ihwal perlunya penegakan hukum bidang cyber. "Sempat vakum karena transisi pergantian pemerintahan," kata Agus.
Gayung bersambut di masa Presiden Jokowi. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Laksamana Purnawirawan Tedjo Edhy Purdijatno mengajukan draf Rancangan Peraturan Presiden tentang Badan Cyber Nasional pada Desember tahun lalu. Hasil kajian tim Agus itu dipaparkan kepada sejumlah menteri, antara lain Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, serta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof A. Chaniago. Lalu, pada awal Januari 2015, Presiden Jokowi memimpin rapat tentang rencana pembentukan Badan Cyber.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional merespons dengan menyetujui penambahan anggaran negara Rp 3 miliar untuk persiapan pembentukan Badan Cyber pada awal 2016. Tapi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tak setuju terhadap pembentukan badan baru dan menyokong pelimpahan fungsi ketahanan cyber kepada lembaga yang sudah ada.
Sejak pembahasan rancangan Perpres Badan Cyber Nasional pada 24 Agustus lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mempertanyakan pembentukan lembaga ini. Apalagi, pada saat bersamaan, dia sedang getol mengevaluasi 144 lembaga negara yang tak jelas arah dan tujuannya, terutama yang dibentuk melalui perpres. "Badan Cyber Nasional belum dibahas, masih wacana," ujarnya Senin pekan lalu.
Agus menyebutkan pembahasan terakhir pada Kamis pekan lalu mengerucut pada dua opsi: membentuk lembaga baru atau menggabungkannya dengan Lembaga Sandi Negara dengan nama baru. Persandian digolongkan sebagai salah satu bagian dari cyber. Sebelumnya, sempat muncul opsi bergabung dengan Kementerian Komunikasi, tapi kementerian itu tak sanggup.
Kepala Lembaga Sandi Negara Mayor Jenderal Djoko Setiadi membenarkan adanya dua opsi itu. Tapi, menurut dia, dalam waktu singkat, hingga akhir Oktober, sulit membentuk lembaga yang sama sekali baru. Dia tak mau memastikan Lembaga Sandi Negara bakal ketiban sampur mengurusi cyber. "Sebentar lagi akan ada hasilnya," katanya.
Jobpie Sugiharto, Tika Primandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo