SEJARAH Islam, dari satu sisi, bisa dipandang sebagai pertentangan antara penekanan terhadap syariah dan batiniah. Ketika zaman lebih menekankan cara penghayatan dan pengamalan Islam yang lebih bersifat pada syariah, pada simbol-simbol fisik, biasanya lalu muncul para pembaru yang menawarkan penghayatan dan pengamalan yang lebih batiniah sifatnya. Demikian juga sebaliknya. Para cerdik-pandai sepakat, baru Imam al-Ghazali yang bisa memadukan ajaran yang menyeimbangkan syariah dan batiniah. Maka, boleh diduga, imbauan Nurcholish Madjid untuk beragama secara hanif, mencari kebenaran dengan hati lapang dan mempertebal toleransi, pada dasarnya merupakan reaksi atas cara beragama yang lebih menekankan pada simbol-simbol fisik cara berpakaian yang khas, asesori-asesori yang menunjukkan identitas Islam, dan sebagainya. Betapapun para pengkritik Nurcholish mengkhawatirkan penekanan pada hakikat beragama akan mengabaikan syariah dan pada saatnya mengabaikan agama itu sendiri, Nurcholish, dengan ceritanya tentang beduk, dengan pas mencoba membuktikan bahwa simbol- simbol sesungguhnya tidak rasional, dan berbahaya. Beduk, yang dipinjam dari budaya Hindu dan Budha, pada mulanya memang berfungsi sebagai pengabar datangnya waktu salat. Setelah mesjid dilengkapi dengan menara, apalagi ditambah dengan pengeras suara, sebenarnya fungsi beduk selesai sudah. Tapi, di Indonesia, rasanya kurang pas membangun mesjid besar tanpa memasang beduk di dalamnya. Beduk akhirnya kehilangan fungsi, dan hanya menjadi simbol. Gantilah beduk dengan apa saja yang sifatnya mendukung ibadah, atau hal-hal yang sebenarnya sekadar pengaruh budaya setempat atas umat Islam. Maka banyak hal dalam cara beragama kita memerlukan pemikiran kembali. Ramainya pro-kontra terhadap gagasan Nurcholish menjadi pilihan untuk mengangkatnya menjadi sebuah Laporan Utama. Adakah hanya gagasan Nurcholish yang memberikan tawaran beragama yang lebih damai? Bila ya, mengapa sebagian orang menolaknya? Tapi pilihan Laporan Utama ini tak lagi menampilkan kritik-kritik yang menyerang Nurcholish yang pernah ramai beberapa waktu lalu. Kritik dari majalah Media Dakwah, dari bekas anggota DPR Ridwan Saidi, dan dari dosen Universitas Nasional Jakarta, Daud Rasyid. Ada kritik terhadap Nurcholish yang lebih diam. Liputan beberapa wartawan TEMPO terhadap sejumlah harakah (gerakan) yang kebanyakan hidup di kampus-kampus menemukan, sesungguhnya masing- masing kelompok punya anggapan, diri merekalah yang lebih Islami, dan mereka tak bisa menerima gagasan Nurcholish. Peta harakah- harakah itulah serta posisinya terhadap ''pembaruan'' pemikiran Islam yang dicoba diungkapkan dalam tulisan ini. Adalah tergesa-gesa untuk memutuskan bahwa kebenaran berada di pihak Nurcholish dan harakah-harakah itu berada di posisi tanpa masa depan. Jika kita percaya pada proses, bisa saja harakah- harakah itu berkembang dan lebih menemukan jawaban bagaimana ber- agama yang ''benar'' pada zaman ketika orang mencari pegangan agama di tengah perubahan sosial maupun perubahan yang lebih bersifat personal. Bagian pertama Laporan Utama ini mencoba menunjukkan bahwa gema pembaruan tak hanya datang dari Nurcholish, yang sulit menyebar di kalangan kebanyakan umat itu. Harakah-harakah tumbuh dan hidup di umumnya kampus-kampus. Bagian ini dilengkapi sebuah boks, yang mencoba memprediksi, apa kira-kira yang diharapkan terjadi ketika program Departemen Agama mengirimkan mahasiswa IAIN belajar di Barat, yang antara lain menghasilkan Nurcholish itu, sudah berjalan cukup lama, dan sudah banyak peserta program yang pulang. Bagian dua adalah profil sejumlah harakah sejauh bisa ditembus oleh wartawan TEMPO. Tak mudah ternyata menemui mereka, apalagi yang sifatnya sangat tertutup. Bagian ini dilengkapi pula dengan sebuah boks, yang mencoba mengkaji hal neosufisme, yang juga menjadi alternatif cara beragama, yang sifatnya lebih individual daripada komunal. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini