Dari pemikiran, mengapa program Marsipature Hutana Be (Martabe) dicanangkan pada awal periode jabatan Bapak Raja Inal sebagai Gubernur Sumatera Utara? Adalah kenyataan bahwa pedesaan di Sumatera Utara telah menjadi kantong-kantong kemiskinan yang sudah tersohor sampai ke Pusat. Dan macetnya usaha pembangunan desa untuk mengatasi kemiskinan tersebut. Di samping program Pemerintah Pusat seperti proyek Inpres-Bangdes, sudah pernah dicanangkan program Maduma, khususnya di daerah Tapanuli Utara, tapi hasilnya adalah suatu program yang tercecer di tengah jalan (Kompas: 28-2-93). Didorong oleh kenyataan yang mengenaskan dan kondisi para perantau dari Sum-Ut yang banyak menjadi elite perkotaan di pelosok Nusantara, wajarlah jika pada awal periode jabatannya, gubernur mencari suatu terobosan lain, di samping menjalankan formalitas birokrasi Pemerintah sebagai kepala daerah. Pemakaian istilah Martabe (dari bahasa salah satu sub-etnik di Tapanuli), sejak awal gagasan sudah dijelaskan oleh beliau. Itu lebih disebabkan oleh motivasi penggagas agar secara intens dalam menindaklanjutinya. Dan hal ini pun sudah biasa kita terima dan sah-sah saja dalam kebinekaan bangsa Indonesia. Janganlah dilihat dari patokan mayoritas-minoritas yang tak terbiasa dalam alam budaya kita (mungkin terbawa konteks pemikiran Amerika). Mengenai heterogenitas masyarakat Sum-Ut, tak ada masalah. Justru berdasarkan kenyataan inilah dapat ditarik relevansi penerapan program Martabe, supaya masing-masing dilibatkan untuk melihat dan bertindak membantu kampung asalnya, sehingga ciri khas yang kompetitif dan egonya bisa menjadi potensi. Program Martabe seharusnya tidaklah identik dengan derma materi (pemberian ikan), tapi dimaksudkan sebagai upaya pemberian atau pengenalan kail kepada masyarakat desa itu. Sebagaimana halnya kemajuan kehidupan masyarakat Sipirok, yang telah tumbuh menjadi masyarakat dinamis (pengail ikan). Masyarakatnya termotivasi untuk bergerak dari kehidupan yang selama ini statis di alam pertanian dan waktu luangnya disia- siakan dengan bersedekap kain sarung. Saya bukanlah orang dari Sipirok, tapi iri (positif) melihat perkembangannya, yang selain mempertahankan pertaniannya juga bergiat dengan home industry, yakni menggali dan mengembangkan hasil kerajinan berupa suvenir aneka ragam. Bahkan keluarga saya yang berasal dari Pulau Jawa pun turut terkesan akan kedinamisan dan kreativitas masyarakatnya (bukan karena trotoar atau bangunan monumentalnya). Komentar TEMPO, 20 Februari 1993 tentang Kecamatan Sipirok itu, bagi saya, bersifat tendensius, apalagi dengan mengkaitkannya dalam berita politis sehubungan pemilihan gubernur yang akan datang. Janganlah kemajuan masyarakat desa yang sama kita dambakan, diarahkan untuk sekadar bombastisasi suatu berita yang berbau politis. Mereka bukanlah pemimpi untuk menyamai Jakarta, tapi hanyalah sekadar berusaha menanggalkan kemiskinan yang melilit. Kemajuan masyarakat desa tidaklah mutlak ditentukan oleh pribadi seorang gubernur, tapi lebih didasarkan oleh kesadaran masyarakat itu sendiri sebagai subjek. Sebagai perbandingan, program Martabe di daerah saya yang tidak efektif adalah disebabkan oleh para Martabenya yang lebih bersifat elite balita, di mana masyarakat desanya dijadikan objek semata, sehingga banyak terjadi salah program. BASRI HARAHAP Jatiwaringin Asri: E 8/13 Pondok Gede 17413 Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini