Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Istana Kepresidenan di Jakarta sedang merombak besar-besaran infrastruktur listrik yang selama ini menerangi gedung-gedung di dalamnya, termasuk untuk ruangan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Ini adalah perombakan besar pertama sejak Indonesia merdeka pada 1945.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sejak merdeka, kondisi infrastruktir kelistrikan kita, baru tahun ini diperbarui, mudah-mudahan tahun ini bisa selesai," kata Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono di Kompleks Istana, Selasa, 6 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada sejumlah infrastruktur yang diperbaiki, dari pembangkit, aliran, kabel, Uninterruptible Power Source (UPS), hingga genset. Berbagai infrastruktur ini akan diganti secara bertahap.
Pengerjaan proyek listrik Istana ini digarap langsung oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. "Itu semuanya baru. Sehingga 50 tahun, mungkin 100 tahun ke depan, lifetime-nya lebih lama," kata Heru.
Instalasi Listrik Bawah Tanah
Tempo menyaksikan pengerjan utama proyek listrik ini yang sedang berlangsung tepatnya di samping Gedung Sekretariat Negara dan air mancur Istana. Posisi dari proyek yang dinamai Underground Powehouse Istana tersebut berlokasi persis di Jalan Majapahit, yang menghadap ke gedung PT Berdikasi (Persero) di seberang Istana.
Selanjutnya: 4 unit genset ditanam...
Dinamakan underground karena instalasi listrik yang sedang dibangun memang ditanam di bawah tanah, tidak seperti kondisi saat ini yang masih di atas permukaan tanah. Dilindungi oleh seng pembatas proyek, Tempo menyaksikan bentangan lubang galian sedalam 10 meter dengan luas penampang sekitar 1.300 meter persegi.
Sebanyak 4 unit genset akan ditanam di bawah tanah di lokasi ini. Nantinya setelah proyek selesai, permukaan tanah yang semula datar akan lebih tinggi 1,2 meter. Tapi permukaan atasnya tidak akan dipakai untuk parkiran kendaraan, melainkan hanya akan ditanami rumput saja.
Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN Darmawan Prasodjo mengatakan proyek ini serupa dengan yang sudah dikerjakan di Amerika Serikat. Ia mencontohkan Gedung Putih yang menjadi kantor Presiden AS, di mana instalasi listrik dibangun di bawah tanah.
Darmo, sapaan Darmawan, pun menyebut infrastruktur listrik yang sedang dibangun di Istana ini akan menghasilkan konstruksi yang lebih kokoh. "Bisa 50 tahun mendatang masih aman," kata dia.
Sejalan dengan perombakan besar-besaran infrastruktur listrik, sebanyak enam Istana Kepresidenan yang tersebar di sejumlah daerah juga hari ini resmi memperoleh Renewable Energy Certificte alias Sertifikat Energi Terbarukan dari PLN. Penyerahan ini menandakan listrik yang mengalir ke Istana sudah 100 persen bersumber dari pembangkit berbasis energi baru terbarukan atau EBT alias energi hijau. "Sudah 100 persen," kata Heru.
Keenam Istana tersebut yaitu Istana Negara dan Istana Merdeka di Jakarta, Istana Bogor dan Istana Cipanas di Jawa Barat, Istana Yogyakarta, dan Istana Tampaksiring di Bali. Darmo menyerahkan langsung sertifikat ke masing-masing perwakilan pengelola Istana.
Tak hanya menyerahkan Sertifikat Energi Terbarukan, PLN juga menyerahkan 35 motor listrik yang akan digunakan di lingkungan Istana Kepresidenan. Ke depan, Heru membuka peluang untuk pembuatan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum atau SPKLU di lingkungan Istana.
Darmo senang karena Istana Kepresidenan ikut menjadi garda dalam memerangi perubahan iklim dengan beralih ke energi hijau. Sehingga hari ini, kata dia, listrik yang mengalir ke Istana dijamin sama sekali tidak menghasilkan emisi karbon alias 0 persen.
"Contoh dari Istana ini (Istana Negara dan Istana Merdeka) menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dari Kamojang," kata Darmo. PLTP Kamojang ini berlokasi di Kamojang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Darmo pertama menerima informasi kalau Istana mau membeli Sertifikat Energi Terbarukan dari Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril. Ia sempat tak percaya dengan informasi yang disampaikan Bob. "Waduh futuristik amat," kata Darmo terkekeh.
Tapi peralihan setrum di Istana menuju energi hijau ini bukan berarti tampa tambahan biaya. Istana harus merogoh biaya tambahan mencapai Rp35 per Kilowatt-hour (kWh). Akan tetapi, Darmo menyebut tambahan biaya ini sebenarnya jauh lebih murah dibandingkan harga sertifikat di pasar internasional yang mencapai Rp70 sampai 80 per kWh.
"Kami hanya sekitar Rp35 per kWh, karena kami tak mengambil untung," kata Darmo. Ini hanya tambahan dari daya awal yang sekitar Rp900 per kWh untuk tegangan tinggi dan Rp1.547 untuk rumah tangga.