MENYUSUL kempisnya tuntutan referendum yang sempat riuh, Aceh mungkin akan merebut kembali perhatian pekan-pekan ini. Sejumlah upaya penyelesaian politik tengah diluncurkan di kancah konflik bersenjata yang mengeras antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan aparat keamanan.
Di Banda-aceh berlangsung mulai pekan silam sebuah pertemuan awal untuk mempersiapkan Kongres Rakyat Aceh—pertama dari jenisnya—yang akan digelar pertengahan Februari depan. Kongres itu dimaksudkan sebagai ajang dialog sesama Aceh serta untuk merumuskan apa yang mereka kehendaki dalam hubungannya dengan Jakarta.
Kongres ini diprakarsai oleh dua organisasi yang dibentuk putra-putra Aceh di Medan dan Jakarta: Aceh Sepakat dan Forum Kepedulian untuk Aceh (Forka). Ismail Hasan Metareum, Ketua Forka yang berasal dari Aceh dan mantan politisi puncak Partai Persatuan Pembangunan, mengisyaratkan kongres itu akan cukup representatif karena mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk dari Dr. Hoseini dari Majelis Pemerintahan GAM dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Metareum juga mengaku memperoleh restu dari pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Sementara itu, di Langsa, pekan ini juga berlangsung Dialog Masa Depan Aceh yang Damai dan Sejahtera. Berbeda dari yang pertama, pertemuan kedua ini diprakarsai oleh tokoh bukan Aceh: Mochtar Pakpahan (pemimpin Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) dan Hartati Murdaya (anggota MPR dari kalangan Buddha). Tujuannya kira-kira sama: mempertemukan persepsi rakyat Aceh dan, menurut Mochtar, akan dihadiri pula oleh Panglima AGAM Abdullah Sjafii.
Belum diketahui bagaimana dua pertemuan yang tidak berhubungan itu bisa saling memperkuat momentum penyelesaian kemelut Aceh. Atau justru saling memporakporandakan.
Satu hal yang jelas, dua pertemuan itu ditanggapi secara curiga oleh mahasiswa, tokoh LSM, dan kalangan GAM. Menurut mereka, kongres—dan lebih-lebih dialog itu—tak lain merupakan upaya Jakarta untuk menghapus referendum sebagai alternatif solusi bagi Aceh. Muhammad Nazar dari Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) bahkan punya tudingan lebih jauh. Dua peristiwa itu, menurut dia, dibuat untuk memberi kesan bahwa persoalan Aceh adalah konflik di antara rakyat Aceh sendiri. "Padahal, konflik Aceh adalah antara rakyat Aceh dan (pemerintah) Jakarta," kata Nazar.
Jakarta memang punya kepentingan. Tapi, pandangan orang Aceh juga terbukti tidaklah tunggal—bahkan bertentangan. Meski sama-sama merasa dikecewakan oleh Jakarta, baik secara ekonomi maupun sosial, sikap mereka berbeda dalam menanggapi soal hubungan masa depannya dengan Indonesia selebihnya. Sebagian kelompok GAM memilih merdeka tanpa harus minta izin Jakarta, bahkan jika perlu dengan bedil. Sejumlah tokoh Aceh—terutama di Jakarta—lebih suka menuntut konsesi lebih besar dalam format otonomi khusus. Sedangkan SIRA, yang dimotori mahasiswa dan aktivis LSM, mempromosikan referendum yang pada intinya menyerahkan pilihan merdeka atau otonomi kepada rakyat melalui kotak suara secara demokratis.
Malang bagi Aceh, semua kelompok yang berbeda pandang itu justru sama-sama dalam posisi kalah. Konflik berdarah yang dipicu oleh perjuangan bersenjata terbukti membuat GAM kian tidak populer dan bahkan melunturkan simpati terhadap penderitaan Aceh yang sempat meluas di Indonesia selebihnya. Para pendukung referendum kian kehilangan ruang karena melupakan syarat penting referendum: dukungan internasional. Dan para promotor otonomi khusus kehilangan kredibilitas karena tak mampu menekan Jakarta untuk mengadili para perwira militer pelanggar hak asasi di sana.
Kesadaran akan itu pula tampaknya yang membuat SIRA belakangan bersikap lebih lunak. Mereka mau duduk dalam pertemuan persiapan kongres. Meski begitu, perdebatan alot masih membayanginya. Sampai akhir pekan silam, pertemuan itu baru bisa merumuskan pembentukan tim 15—terdiri dari 6 tokoh mahasiswa dan 9 tokoh masyarakat—yang tugasnya menyusun panitia pelaksana dan panitia pengarah, juga mematangkan agenda pembicaraan.
Sulit. Butuh kesabaran. Tapi, tak ada pilihan bagi Aceh untuk mengelak takdir menjadi Irlandia Utara yang lain kecuali duduk dan merumuskan satu pikiran terhadap apa yang akan dilakukan.
Arif Zulkifli, Iwan Setiawan, Setiyardi (Jakarta), J. Kamal Farza (Banda-aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini