MUHAMMADIYAH, akhirnya, adalah organisasi besar Islam, yang paling kemudian menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Tak mudah, memang, sebab melalui lobi yang panjang. Bahkan, Muhammadiyah sampai menunda muktamar, yang mestinya diselenggarakan Februari tahun Silam, baru dilaksanakan 7-11 Desember ini. Tanda-tanda menerima asas tunggal ini, secara terbuka, mulai tampak pada hari kedua muktamar, 8 Desember pekan lalu. Di pendopo Mangkunegaran, Solo, itu, dengan gaya kocak dan disambut penuh gelak tawa, Haji A.R. Fakhruddin. Ketua PP Muhammadiyah, menyebutkan bahwa asas Pancasila itu diterima, "dengan ikhtiar". Dengan ikhtiar, kata Fakhruddin, "Supaya yang dimaksudkan pemerintah itu berhasil, tapi tidak melanggar agama. Kami, para pimpinan, tetap bertekad menegakkan kalimah Allah di Indonesia ini. Tidak merusakkan peraturan-peraturan di Indonesia, tapi tidak menjual iman, tidak menjual agama." Dan keplok pun membahana. PP Muhammadiyah secara resmi mulai membahas asas Pancasila ini dalam sidang Tanwir akhir Mei 1983. Kesimpulan: Muhammadiyah lahir karena Islam, tanpa asas Islam tentu tidak Muhammadiyah lagi. Pancasila, bagi Muhammadiyah, bukan persoalan. Sebab, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Kahar Muzakir, dan Kasman Singodimejo, ikut merumuskan dan menerima Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945. Karena itu, Muhammadiyah dapat memasukkan Pancasila dalam Anggaran Dasar dengan tidak mengubah asas Islam yang menjadi asas Muhammadiyah. Sikap itu kemudian disampaikan kepada berbagai menteri. "PP Muhammadiyah sangat sering berhubungan dengan menteri-menteri yang langsung menggarap RUU Organisasi Kemasyarakatan," ujar Lukman Harun, anggota PP Muhammadiyah. Bahkan, untuk menyatukan pandangan antara sesama organisasi Islam, 21 Oktober 1983, diadakan pertemuan antara PP Muhammadiyah dan PB NU. Seminggu kemudian, ada pertemuan segitiga antara MUI, PP Muhammadiyah, dan PB NU. "Tapi pertemuan dengan PB NU hanya berlangsung satu kali, karena akhir Desember 1983 Munas NU di Situbondo telah menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas," kata Lukman. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, kata Prof. Dr. Ismail Suny, anggota Pimpinan Pusat, dengan sungguh-sungguh mengikuti perkembangan penyusunan RUU Organisasi Kemasyarakatan yang mengatur asas tunggal itu sampai diundangkannya 17 Juni lalu. "Kami aktif memberikan sumbangan pikiran untuk penyempurnaannya kepada pihak-pihak yang berwenang," kata Suny. A.R. Fakhruddin sendiri, pada 22 September 1983, telah bertemu dengan Presiden Soeharto. Dalam bahasa Jawa, Fakhruddin telah menjelaskan panjang lebar pendirian Muhammadiyah yang intinya dirumuskan dalam sidang Tanwir. Setelah itu, Fakhruddin meminta agar Pak Harto bersedia membuka muktamar Muhammadiyah. "Jawab Pak Harto, 'Yah, itu mudah, asal Muhammadiyah mau menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Saya jawab, 'Kan Pak Harto tak menghapuskan asas Islam'. Pak Harto diam saja. Saya diam, dan Pak Harto diam," ujar A.R. Fakhruddin. "Dan saya pamit," ujar Pak A.R. yang disambut derai tawa hadirin. Presiden akhirnya memang yang membuka muktamar ke-41 ini. Menyebut diri sebagai orang yang pernah mengecap pendidikan Muhammadiyah, dalam pidatonya Presiden kembali menegaskan bahwa: Pancasila bukanlah tandingan agama. Pancasila bukan pengganti agama. Penegasan ini pernah diusulkan oleh PP Muhammadiyah, supaya dicantumkan dalam batang tubuh UU Organisasi Kemasyarakatan itu. Meski, akhirnya, hanya dicantumkan dalam penjelasan saja. Seperti dikatakan Buya Malik Ahmad, Wakil Ketua PP Muhammadiyah, yang menjadi persoalan ialah jika Pancasila dijadikan lebih tinggi dari tauhid. "Itu yang saya tolak," katanya. "Tapi, kalau Pancasila yang dimaksud sesuai dengan pemahaman yang asli, dan Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Allah swt - mana ada yang lebih baik dari itu lagi?" tambahnya. Asas tunggal itu telah menjadi hukum positif. "Adalah kepribadian Muhammadiyah selalu mengindahkan segala hukum, undang-undang dan falsafah negara yang sah," kata Drs. M. Djazman, Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang juga Ketua Biro Organisasi dan Kader PP. Meminjam kata-kata A.R. Fakhruddin Muhammadiyah bagaikan pengendara sepeda motor yang melewati jalur wajib memahai helm. "Jangan mentang-mentang sudah membawa agama Allah lalu tak mau memakai helm," katanya. "Kami menerima asas Pancasila ini dengan pengertian," tambahnya. Maka, Anggaran Dasar Muhammadiyah pun diubah. Model yang dipakai adalah meniru rumusan Munas Majelis Ulama Indonesia (MUI). Yakni: berakidah Islam yang bersumber Quran dan Sunah Rasul dan berasas Pancasila, sebagai asas bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selebihnya, tak ada perubahan yang berarti. A.R. Fakhruddin, 69, terpilih kembali menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1985-1990. Ini berarti tak ada perubahan sejak ia menggantikan Kiai Haji Fakih Usman, yang meninggal pada tahun 1968. "Saya sendiri menginginkan regenerasi. Masa yang jadi ketua masih stock lama seperti saya," ujar Fakhruddin. "Tapi, nyatanya, yang muda belum mau." Fakhruddin memang mencalonkan H. Ahmad Azhar, M.A., dosen Fakultas Filsafat UGM. "Bahasa Arab dan Inggrisnya baik, dan masih ada hubungan keluarga dengan K.H.A. Dahlan, pendiri Muhammadiyah," kata Fakhruddin. Buya Malik pun menyebut Azhar, 56, "ilmunya cukup, dan pengalamannya lengkap." Tapi toh Azhar menolak menjadi ketua umum. "Sampai saya katakan pada orang-orang muda itu: Saudara mau membunuh Muhammadiyah kalau begitu . . . ," kata Fakhruddin. Juga tak berubah, sikap Muhammadiyah terhadap Pemilu, anggota tetap dibebaskan memilih sesuai dengan hak asasinya. "Tidak terlibat politik praktis telah menjadi sikap Muhammadiyah semenjak keluar dari Masyumi," ujar Dr. Amien Rais, dosen Fisipol UGM, salah seorang muda yang duduk di PP periode mendatang. Saur Hutabarat Laporan A. Luqman dan Biro Yogya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini