HEBOH soal penggusuran terjadi lagi di Simpruk, Jakarta Selatan. Kasus yang hampir menjadi biasa di Ibu Kota itu menjadi ramai karena Fraksi Karya Pembangunan sempat mengimbau agar penggusuran ditunda. Bahkan ketika Jumat pekan lalu para anggota DPR itu terjun sendiri ke lokasi, sudah tak satu pun bangunan yang tersisa. Hanya dalam waktu tiga hari, sekitar lima ribu jiwa yang mendiami tanah seluas hampir tiga hektar itu telah kehilangan tempat tinggal. Menurut H. Mochtar Zakaria, S.H., Wali KotaJakarta Selatan, pihaknya bukannya tidak mengindahkan imbauan dari para anggota DPR itu. "Saya mendapat teguran dari Gubernur DKI Jakarta, untuk melakukan pengosongan lokasi tersebut," tambahnya. Sebab, pengosongan itu seharusnya sudah dilaksanakan sejak 1982. Sebenarnya, persoalan ini sudah sejak 1974, ketika PT Tangkas Baru, yang bergerak dalam bidang real estate dan kontraktor, mendapat SK dari Gubernur, untuk membebaskan tanah itu. Akan tetapi, karena usahanya gagal, SK itu masih diperpanjang sampai 1982. Usaha yang kedua kalinya itu juga tak berhasil. Baru kali ini Tangkas Baru berhasil, karena dibantu oleh aparat pemerintah. Penduduk yang telah menempati daerah itu sejak 1957 memang tidak terkejut dengan rencana penggusuran Tangkas Baru itu. Namun, yang membuat mereka menolak - seperti biasa dalam kasus serupa - adalah ganti rugi, yang Rp 37.500 per m2 bagi bangunan permanen, Rp 30.000 semipermanen, dan Rp 21.000 bagi bangunan biasa. Di tengah sulitnya memperoleh perumahan di Jakarta ini, dengan lokasi yang bertetangga dengan gedung-gedung mewah itu harga ganti rugi tentu saja hampir tak berarti. "Mereka itu penghuni liar sama sekali. Zakaria menekankan, bahwa tanah itu benar-benar milik Susetya Mundisugih, Direktur Tangkas Baru, bahkan sertifikatnya berupa hak guna bangunan baru diperbarui tahun 1982. Seharusnya, kata Wali Kota lagi, warga Simpruk mau menerima ganti rugi yang telah ditetapkan, ditambah dengan sebidang tanah kapling di daerah Pondok Cabe, Ciputat. Tapi, apa pun alasan Wali Kota, niat warga Simpruk menuntut ganti rugi yang sepadan tampaknya akan terus diperjuangkan. "Kalau untuk kepentingan pemerintah, tak menjadi soal. Tapi ini 'kan untuk real estate," ucap Iwan, yang mengaku orangtuanya sudah tinggal di Simpruk sejak 1955. Berdasarkan alasan itulah, pekan lalu, setelah penggusuran berlangsung dua hari, sekitar 400 warga Simpruk ramai-ramai menghadap DPR yang diterima oleh Sekretariat FKP. Akhirnya, masalah ini sampai juga ke meja hijau. Melalui kuasa hukumnya, S. Nababan dari LBH Yayasan Yusticia Bela, warga Simpruk menuntut pembatalan pengosongan, pembatalan instruksi Wali Kota Jakarta Selatan, dengan Susetya Mundisugih, selaku tergugat I dan Mochtar Zakaria, selaku tergugat II. Kasus ini langsung disidangkan Jumat pekan lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Pokoknya, kami tidak akan pindah sebelum ada keputusan pengadilan," ujar Iwan, yang kehilangan tanah 30 m2 ini. Rencananya, di atasnya tanah seluas 2,86 ha ini, dibangun jalan, sekolah dasar, kantor lurah, di samping tentu perumahan. Perencanaan Pemda DKI lokasi ini akan dipergunakan untuk real estate. P. "Karena itu pula pembebasannya diserahkan kepada Pemda DKI," kata Sena Widjaja, Staf Marketing Tangkas Baru, anak kedua Mundisugih ini. Tapi betulkah lokasi yang jadi sengketa itu milik Tangkas Baru? Menurut Sawidago Wounde, anggota FKP, status tanah belum jelas. Ada yang bilang daerah itu merupakan tanah verponding. Tapi, menurut Sawidago lagi, Susetya Mundisugih, Direktur PT Tangkas Baru itu, memiliki sertifikat atas nama sendiri bernomor 93 yang dibuat tahun 1969. "Sertifikat itu selesai hanya 15 hari setelah pembelian tanah," ucap Sawidago. Namun, selain itu, ada juga yayasan yang mengaku tanah itu miliknya sebagai hibah dari Pakubuwono, Sunan Solo. Yayasan Paguyuban Hardjotanto Beloprogo itu, berkat wasiat lisan tahun 1938, kini memiliki sertifikat berupa fotokopi. "Dari ejaan dan lambang tak diragukan bahwa sertifikat itu asli. Hanya saja menerimanya dalam bentuk fotokopi. Jadi, memerlukan penyelidikan," kata Sawidago. Adapun Sri Sunan Pakubuwono XII sendiri, ketika dihubungi Kastoyo Ramelan dari TEMPO, di Solo, tak bisa memastikan apakah tanah Simpruk itu miliknya atau bukan. "Bukti autentik mengenai tanah yang dulu, sebagian besar telah terbakar," katanya. Segala arsip yang penting telah musnah ketika gedung kepatihan keraton terbakar waktu Revolusi 1945. "Kalau ada yang mampu menguruskan tanah-tanah yang dulu milik keraton, silakan saja," kata Pakubuwono XII lagi. Siapa pemilik tanah Simpruk itu, bagi Sawidago tampaknya tak menjadi soal. Yang penting, katanya, rakyat hendaknya tidak menjadi korban. Anggota DPR itu menuduh Wali Kota berpihak kepada PT Tangkas Baru. "Ini ada apa," katanya, "jangan-jangan ada laporan yang tak benar kepada Wali Kota." Rudi Novrianto Laporan Musthafa Helmy & Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini