Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jual-Beli Opini Bukan Mitos Lagi

Rochmadi dikenal dekat dengan politikus Senayan. Sudah lama diincar Komisi Pemberantasan Korupsi.

5 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA hari setelah dijenguk Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah di ruang tahanan Kepolisian Resor Jakarta Timur pada Senin pekan lalu, Rochmadi Saptogiri dipindahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ke penjara koruptor di Kuningan, Jakarta Selatan. Auditor Badan Pemeriksa Keuangan itu menerima Fahri tanpa setahu KPK.

Ditangkap pada Jumat dua pekan lalu dalam serangkaian operasi tangkap tangan dugaan suap pemberian opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Rochmadi dititipkan di penjara Kepolisian Resor Jakarta Timur. Satu auditor BPK dan dua pejabat Kementerian ditahan di penjara KPK.

Maka, setelah turne Fahri Hamzah itu pun, KPK memindahkannya ke penjara yang pengawasannya lebih ketat. "Untuk mengurangi persentuhan tersangka dengan pihak-pihak lain," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, Rabu pekan lalu.

Fahri menjenguk Rochmadi bersama anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu. Kunjungan dua politikus pengusung hak angket DPR untuk menyelidiki KPK itu mengungkap kedekatan Rochmadi dengan politikus Senayan. Di antara koleganya di BPK, lulusan Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN) ini dikenal akrab dengan para politikus Partai Keadilan Sejahtera seperti Fahri.

Berkat rekomendasi PKS pula ia bisa menduduki posisi auditor utama pada 2014. Rochmadi pun digadang-gadang bakal dipilih DPR untuk mengisi kursi anggota BPK seumpama ada anggota BPK yang pensiun.

Sebelum menjabat auditor utama keuangan negara III, yang salah satunya membawahkan tim pemeriksa Kementerian Desa, pria kelahiran 1969 itu menjabat Kepala Biro Teknologi Informasi. Sebelumnya lagi, ia mengepalai BPK Sulawesi Tenggara dan BPK Sulawesi Utara. Kariernya di BPK dirintis sejak lulus dari STAN pada 1991.

Fahri menyanggah PKS--partai yang belakangan memecatnya--memiliki hubungan khusus dengan Rochmadi. Ia mengaku kenal Rochmadi karena sering bertemu dalam rapat kerja antara DPR dan BPK. "Kenal sebagai pejabat negara," ujarnya.

Ihwal kunjungannya ke ruang tahanan Polres Jakarta Timur, Fahri menyebutkan ia dan Masinton tak hanya menemui Rochmadi. "Tahanan lain juga kami temui," ucapnya. "Ada tahanan narkoba, korupsi, perampokan." Selama di kantor polisi, kata Fahri, ia dan Masinton berdialog dengan para tahanan tersebut.

Kepada Fahri, Rochmadi menuturkan bahwa semua uang yang disita KPK, yakni Rp 1,145 miliar dan US$ 3.000 atau setara dengan Rp 39 juta dari ruang kerjanya, bukan suap dari Inspektur Jenderal Kementerian Desa Sugito dan anak buahnya, Jarot Budi. "Itu uang pribadinya yang ditumpuk sejak 2011. Di amplop tertulis 'gaji' dan 'tunjangan'," kata Fahri.

KPK masih menelusuri asal-usul bongkahan rupiah dan dolar dalam brankas di ruang kerja Rochmadi itu. Dalam investigasi awal suap jual-beli status wajar tanpa pengecualian (WTP) tersebut, dari Rp 240 juta besel untuk BPK, sebanyak Rp 200 juta adalah jatah Rochmadi. KPK belum memastikan apakah uang tersebut telah bercampur dengan Rp 1,145 miliar tadi.

Yang tak disampaikan KPK kepada publik, para penyidik mereka ternyata menyita hard disk dari komputer Rochmadi di lantai 4 di Gedung BPK. Ini yang membuat sebagian penghuni kantor BPK di seberang gedung DPR itu kebat-kebit. Menurut seorang auditor, mereka khawatir dalam cakram keras itu tersimpan catatan yang berhubungan dengan pemberian uang dan bukti adanya otak-atik laporan keuangan instansi lain, yang bisa menyeret auditor BPK lainnya.

Dalam catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Rochmadi, antara lain, pernah menjadi auditor Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Perkara Perdata dan Gugatan dan Tata Usaha Negara 2015 dan 2016. Ia juga pemeriksa Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Belanja Barang dan Belanja Bantuan Sosial Semester II 2015 dan 2016 di Kementerian Sosial. Status laporan keuangan Kementerian Sosial yang masih disclaimer pada 2015 langsung menyandang WTP setahun kemudian.

Bagi Fitra, terungkapnya suap dari pejabat Kementerian Desa terhadap Rochmadi membuktikan isu jual-beli opini BPK bukan kabar angin. Instansi yang ingin naik status memilih mengurusnya di bawah meja ketimbang membenahi laporan keuangannya yang amburadul. "Selama ini jual-beli predikat WTP itu mitos, ternyata benar ada," kata Deputi Sekretaris Jenderal Fitra, Apung Widadi.

Menurut auditor BPK itu, modus jual-beli opini BPK bukan cuma mengubah status laporan keuangan menjadi lebih baik--misalnya dari WDP menjadi WTP--tapi juga memperdaya instansi yang diperiksa. Ini terjadi karena lembaga yang diaudit tak begitu memahami cara menyusun laporan keuangan. "Padahal sebenarnya tak ada masalah, tapi dicari-cari kesalahannya," kata sumber tersebut.

Di situlah negosiasi terjadi. Tarif mendapat WTP bermacam-macam. Menurut sumber yang paham soal ini, untuk mendapat status tersebut, perlu disediakan Rp 3-5 miliar buat satu anggota, tergantung tingkat kesulitannya.

Di Kementerian Desa, menurut seorang pejabat di sana, tim Rochmadi seperti memberi sinyal bahwa temuan dalam laporan keuangan itu bisa dibereskan. Gayung bersambut karena Kementerian Desa sedang dikejar target memperoleh status WTP tahun ini dari sebelumnya WDP.

Karena itu, tak aneh bila Rochmadi sudah lama masuk radar KPK. Menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, Rochmadi hampir ditangkap KPK empat bulan lalu. Petugas KPK mengendusnya akan menerima duit suap dalam sebuah perkara lain. Mobil yang dikendarainya kemudian dikuntit. "Namun, saat mobil dihentikan dan diperiksa, tidak ditemukan uang di dalam mobil," ujar Laode.

Setelah diperiksa KPK pada Sabtu dua pekan lalu, Rochmadi mengunci mulut di depan wartawan. Adapun Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara menyanggah bahwa opini lembaganya atas laporan keuangan pemerintah bisa dijualbelikan seperti yang terjadi di Kementerian Desa. "Tidak bisa langsung digeneralisasi opini bisa didagangkan," katanya. BPK, menurut dia, sudah menciptakan cara untuk yang memperkecil celah terjadinya kejahatan tersebut.

Cara tersebut bernama sistem informasi aplikasi pemeriksaan laporan keuangan. "Saat melakukan audit, seluruh proses, dari pembuatan surat tugas, penyusunan program pemeriksaan, juga temuan pemeriksaan, masuk ke sistem informasi itu," kata Sekretaris Jenderal BPK Hendar Ristriawan.

Demikian pula untuk tindak lanjutnya. BPK menciptakan sistem informasi pemantauan tindak lanjut. "Jadi kecil kemungkinannya ada peluang bagi modus tersebut," ujar Hendar. Perihal kasus Rochmadi, Hendar menjawab, "Kami sedang meneliti kenapa hal ini bisa terjadi agar sistem yang ada bisa diperbaiki."

Perbaikan sistem bakal terjadi jika Rochmadi berterus terang kepada penyidik, lalu disampaikan di persidangan. Pada hari-hari pertama setelah ditangkap, Rochmadi kabarnya sempat berniat menjadi justice collaborator--pelaku yang bekerja sama membongkar kejahatan. Untuk sementara, niat itu diurungkan setelah ia mendapat kunjungan tanpa izin dua politikus Senayan di Polres Jakarta Timur.

Anton Septian, Gadi Makitan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus