Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA kali sudah Heri dijemput lalu diantar pulang para intel Detasemen Khusus 88 Antiteror Markas Besar Kepolisian RI dalam dua pekan terakhir. Warga Kampung Paledang, Kelurahan Suci Kaler, Garut, ini tak lain adik ipar Ahmad Sukri--pengebom halte bus Transjakarta Kampung Melayu, Jakarta Timur, dua pekan lalu.
Wajah Sukri menghiasi media massa seusai ledakan pada malam Kenaikan Isa Almasih dan pawai obor menyambut Ramadan itu. Kepalanya terlepas dari badannya akibat ledakan bom panci yang ia gendong di tasnya. "H diperiksa karena berkontak dengan Ahmad Sukri dan Ichwan Nur Salam sebelum pengeboman," ujar juru bicara Kepolisian Daerah Jawa Barat, Komisaris Besar Yusri Yunus, Jumat pekan lalu.
Atas dugaan tersebut, dua hari sebelumnya, seusai pemeriksaan ketiga, polisi menahan Heri di penjara Markas Polda Jawa Barat. Menurut Yusri, dalam dua pemeriksaan sejak Jumat dua pekan lalu, polisi tak menemukan bukti apa pun bahwa Heri berkaitan dengan pengeboman itu. Ia, yang digelandang bersama istri dan bayinya, kemudian dipulangkan.
Dalam pemeriksaan ketiga itulah para penyidik mengendus hubungannya dengan Sukri. Sebelum hari pengeboman, kata seorang polisi, Heri diminta Sukri membersihkan rumah kontrakannya, yang tak jauh dari rumahnya, di Garut. Dari petunjuk inilah polisi menyimpulkan Heri mengetahui apa yang akan dilakukan kakak iparnya di Jakarta.
Sehari setelah menahan Heri, polisi bergerak ke rumah kontrakan Sukri di Kampung Cempaka, Desa Lebak Jaya, Kecamatan Karangpawitan, Garut. Dari rumah sewa itu, polisi menemukan dus panci, tujuh ember plastik, baut penutup panci presto, dan stoples. "Dari bukti-bukti ini, dugaan sementara, Sukri merakit bom Kampung Melayu di rumah ini," ujar Yusri.
Sukri adalah warga Desa Sirnagalih di Bandung. Ia pindah ke Garut tiga bulan lalu untuk bekerja di sebuah perusahaan konfeksi. Sedangkan pelaku bom Kampung Melayu lainnya adalah Ichwan Nur Salam. Ia warga Bandung yang tewas lima menit setelah Sukri menarik picu bomnya. Bom Ichwan meledak tak terlalu besar, tapi melukai lima polisi dan enam penduduk sipil. Adapun bom Sukri membunuh tiga polisi yang sedang mengawal pawai obor Ramadan.
Heri adalah orang ketujuh yang ditangkap setelah ledakan itu. Sehari setelah ledakan, polisi menangkap Jajang Iqin Sodikin, yang dipercaya sebagai Kepala Jamaah Anshar ad-Daulah (bukan Ansharut Daulah seperti ditulis pekan lalu) Bandung Raya. Pada hari yang sama, polisi menangkap Waris Suyitno, yang menjadi bendahara Anshar ad-Daulah, dan anggota Jamaah, Asep Karpet.
Ketiganya ditahan karena polisi menduga mereka membantu Sukri membuat bom dengan mentransfer sejumlah uang untuk membeli bahan bakunya. Dari saku Sukri yang tak terbakar, polisi menemukan kuitansi pembelian panci dari Borma Supermarket di Padalarang senilai Rp 236 ribu pada 22 Mei 2017. Dari kamera pengawas sepanjang jalan Padalarang-Jakarta, Sukri dan Ichwan terpantau menuju Ibu Kota mengendarai sepeda motor Honda Revo hitam.
Jejak keduanya tak terlacak hingga polisi menemukan mereka kembali lewat rekaman CCTV di sebuah Alfamart di Curug, Tangerang. Dari sini, keduanya memacu sepeda motor ke Cipayung, Jakarta Timur. Berdasarkan pelacakan setelah bom meledak, polisi menemukan bahwa Sukri dan Ichwan mampir ke rumah Agus Suryana di Cipayung.
Dari pola perjalanan Sukri dan Ichwan, seorang anggota Detasemen Khusus menduga para pelaku teror ini punya semacam rumah aman di Jakarta yang tak terlacak oleh mata-mata Detasemen. Polisi baru mengetahui rumah Agus setelah melacak perjalanan Sukri dan Ichwan.
Sukri dan Ichwan baru terdeteksi lagi ketika mereka berbelanja di Alfamart Stasiun Gambir pada Rabu siang atau beberapa jam sebelum mereka meledakkan bom. Dari sini, polisi kehilangan jejak mereka. Menurut para saksi mata di dekat halte Transjakarta, Sukri dan Ichwan terlihat berada di sekitar lokasi ledakan pada Rabu sore. "Selama setengah hari sejak dari Gambir itu masih misterius," kata seorang penyidik.
Karena itulah bom Kampung Melayu tak bisa dicegah sejak awal. Tak seperti rencana pengeboman Istana Presiden pada Februari lalu yang pelakunya, seorang perempuan, diringkus di Bekasi. Anggota Detasemen Khusus meringkus Dian Yulia Novi setelah mencium pembelian paku oleh suaminya beberapa hari sebelumnya.
Menurut Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, jaringan Sukri memakai kurir untuk membicarakan rencana teror. Pengintaian intel Detasemen juga acap gagal karena mereka sudah paham sedang diawasi. "Sering kali, ketika dibuntuti, mereka menghilang karena berbelok secara mendadak," ujar Tito.
Di Cipayung, misalnya, Sukri dan Ichwan tak berhenti lama. Mereka hanya menitip sepeda motor kepada Agus Suryana. Agus pun menyerahkan sepeda motor itu kepada Rohim alias Bontot. Keduanya anggota jemaah pengajian Anshar ad-Daulah Cipayung. Rohim berasal dari Bogor. Ia menyerahkan sepeda motor Sukri dan Ichwan itu kepada Ilyas.
Rohim ditangkap di Cibubur bersama Ridwan Agustian alias Kibe pada Sabtu dua pekan lalu saat mengendarai Honda Vario F-2705-MS. Dari tangan Rohim, polisi menyita telepon seluler merek Advan dan uang Rp 1,8 juta. Dari Ridwan, polisi mengambil dompet, telepon, dan surat-surat sepeda motor.
Agus Suryana baru ditangkap dua hari kemudian di rumah kontrakannya di Jalan Bambu Kuning Utara, Cipayung. Ilyas ditangkap kemudian. "Rupanya, mereka bertemu dengan Sukri beberapa kali secara intensif," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul.
Jaringan Sukri-Ichwan tak terendus polisi karena mereka tak terlacak berkomunikasi dengan jaringan Jamaah Anshar ad-Daulah Bandung Raya selama empat bulan. Rupanya, menurut Kepala Detasemen Khusus Inspektur Jenderal Muhammad Syafi'i, itulah waktu ketika Sukri pindah ke Garut.
Nama Ahmad Sukri masuk daftar orang yang diawasi Detasemen Khusus karena terlacak berhubungan dengan pelaku bom Taman Pandawa di Bandung pada Februari lalu. Sejak pindah memboyong dua istrinya ke Garut itu, kata Syafi'i, Sukri tak terendus berhubungan dengan anggota Jamaah lain.
Di Garut, Sukri menyewa dua rumah yang berdekatan, tak jauh dari rumah adiknya, istri Heri, yang bekerja sebagai penjahit pakaian. Meski beda kelurahan, jarak rumah mereka sekitar dua kilometer. Satu rumah untuk istri tuanya berinisial HH di RT 3/6 Kelurahan Lebak Jaya, satu lagi untuk istri mudanya berinisial N di RT 1/6. Kontrakan mereka habis sehari sebelum bom meledak.
Sepekan sebelum pengeboman, menurut seorang polisi, Sukri mengungsikan istri pertamanya ke suatu tempat. Tim Detasemen Khusus melacak tempat itu, yakni sebuah rumah sewa di Desa Sukaluyu, Kecamatan Tamansari, Bogor. Tim Detasemen menjemput HH pekan lalu dari sana.
Adapun istri kedua Sukri, yang masih tinggal di Garut, menurut laporan intelijen, dijemput seseorang dari Pondok Pesantren Ibnu Mas'ud di Desa Sukajaya, Tamansari, Bogor. Menurut seorang penyidik, pesantren ini tercatat milik Aman Abdurrahman, sebelum ia dicokok polisi dan mendekam di penjara Nusakambangan sejak 2010.
Dalam struktur Jamaah Anshar ad-Daulah yang dimiliki Detasemen Khusus, Aman adalah pemimpin tertinggi. Ia membentuk jaringan Jamaah di tiap kota yang dipimpin seseorang yang disebut mudiriyah. Jajang Sodikin adalah mudiriyah Bandung Raya. Salah satu murid Aman adalah Bahrun Naim, yang didaulat pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Abu Bakar al-Baghdadi, sebagai komandan ISIS Asia Tenggara.
Pesantren Ibnu Mas'ud bukan nama asing bagi Detasemen Khusus. Pada Februari 2016, Kepolisian Singapura menangkap empat warga Indonesia di Bandar Udara Changi. Mereka adalah Untung Sugema Mardjuk, 49 tahun, Mukhlis Khoirur Rofiq (23), Risno (28), dan pemuda di bawah umur berinisial MM (15). Keempatnya pernah mondok di Ibnu Mas'ud.
Ketika Tempo mendatangi pondok itu pada Jumat pekan lalu, tak ada seorang pun yang bersedia memberi keterangan. Halaman pondok tampak lengang. Di masjid, beberapa pria berkumpul, sementara perempuan bercadar dan bergamis hitam berkerumun di halamannya. Tak ada satu pun yang bersedia berbicara. "Pengurus pondok sedang tidak ada," kata seorang lelaki di pos jaga.
Wayan Agus Purnomo, Arkhelaus Wisnu (Jakarta), Sidik Permana (Bogor), Iqbal T. Lazuardi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo