ITB membuka program studi teknik penerbangan. Peminat sedikit sekali, belum mengenalnya. Lapangan kerja terbuka. ITB membuka jurusan baru yang berkaitan dengan penerbangan. Tapi tak berarti institut itu bakal mendidik calon pilot. Sebab, yang akan diluluskan, lewat program studi teknik penerbangan, adalah sarjana yang ahli pesawat terbang. Dengan lahirnya jurusan baru itu, pada awal tahun kuliah mendatang, lulusan SMA bisa langsung mendaftarkan diri. Beda dengan sebelumnya. Pendidikan teknik penerbangan -- salah satu dari lima kelompok bidang keahlian (KBK) -- selama ini dicantolkan pada Jurusan Teknik Mesin. Artinya, para mahasiswa baru boleh masuk ke KBK Teknik Penerbangan setelah setahun kuliah di lingkungan Jurusan Teknik Mesin. Pendidikan teknik penerbangan sebenarnya sudah dirintis oleh Prof. Oetarjo Diran dan Lim Keng Ki sejak 1963. Lulusannya ditarik Departemen Perhubungan, TNI-AU, dan Garuda Indonesia. Namun, ketika Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) berdiri tahun 1976, kebutuhan akan ahli penerbangan meningkat pesat. Sampai akhir dekade ini, IPTN (yang kini bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara) paling tidak membutuhkan 900-1.500 ahli penerbangan berpendidikan tinggi. Belum lagi Lapan, yang paling tidak perlu tambahan 100 sarjana. Padahal peminat masuk KBK Teknik Penerbangan selama ini tiap tahun hanya sekitar 15 mahasiswa. Setelah "naik status", kata Dr. Arifin Wardiman, Pembantu Rektor I ITB, mahasiswa yang masuk paling tidak mencapai 30 orang. Dalam lima tahun mendatang, jurusan itu paling tidak bisa meluluskan 200 sampai 250 sarjana penerbangan, dengan daya tampung 40-50 mahasiswa saban tahunnya. Berdasarkan kalkulasi di atas kertas, kebutuhan IPTN dan beberapa lembaga itu belum bisa ditutup. "Di sinilah baru ketahuan bahwa kami terlambat. Kebutuhan IPTN sudah mendesak dan kami belum siap," kata Dr. Ir. Sulaeman Kamil, yang menjabat ketua proyek program studi teknik penerbangan itu. Karena itu, IPTN terpaksa mengirim sekitar 200 mahasiswa teknik penerbangan ke Prancis, Jerman, Belanda, maupun Amerika. Sistem pendidikan program studi itu, menurut Sulaeman, tak beda jauh dengan yang di luar negeri. "Perbedaannya, di luar negeri lebih banyak latihan laboratorium," kata dosen yang juga menjabat Direktur Teknologi IPTN ini. Pendidikan teknik penerbangan, menurut dia, ditekankan pada penguasaan teknologi perancangan, pengembangan, dan pembuatan pesawat terbang. Hanya saja, di luar negeri sudah berkembang sampai pada cabang ilmu astronautical engineering, yang berhubungan dengan peralatan ruang angkasa, sementara di ITB masih terbatas pada bidang penerbangan atau aeronautical engineering. Aeronautical -- dipelopori oleh Oliver dan Wilbur Wright, yang berhasil menerbangkan pesawat pada 1903 -- merupakan ilmu tentang pengoperasian peralatan yang bergerak di atas permukaan tanah. Ilmu ini didasarkan pada aerodinamika, struktur propulsi, serta stabilitas dan pengendalian. Maka, para mahasiswa jurusan itu setiap hari harus bergelut dengan mata pelajaran mekanika terbang, konstruksi pesawat, aerodinamika, serta perancangan pesawat. Namun, kata Sulaeman, mahasiswa yang belajar teknik penerbangan semacam itu nantinya tak harus mengutak-atik mesin dan berbagai bagian pesawat. Ia menunjuk ahli penerbangan dari perguruan tinggi di Prancis, Jerman, dan Belanda. Di sana hanya 50% yang terjun di bidang penerbangan, baik di pabrik pesawat maupun perusahaan angkutan udara. "Lulusan teknik penerbangan tak akan sulit mencari pekerjaan. Karena itu, kami berani membuka jurusan itu," kata Sulaeman. Kuliah diberikan berdasarkan kurikulum pendidikan teknik penerbangan 1987. Untuk menjadi sarjana penerbangan, seorang mahasiswa paling sedikit harus menyelesaikan 160 SKS. Dalam tahun pertama, mahasiswa jurusan ini masih wajib mengikuti kuliah tahap persiapan bersama (TPB) bersama mahasiswa lain di lingkungan Fakultas Teknik Mesin. Dengan demikian, porsi mata kuliah yang diberikan paling besar adalah bidang keahlian (aeronautical engineering) sebesar 30%. Dasar khusus (basic engineering sciences) 25% dan dasar umum teknologi (basic sciences) 20%. Sisanya, penunjang atau pelengkap 11% dan bidang humaniora-sosial 10%. Perubahan status itu diharapkan bisa mengatrol jumlah mahasiswa yang masuk. Yang penting lagi, dari mula si calon mahasiswa sudah tahu persis bakal jadi ahli pesawat terbang. "Saya kira teknik penerbangan menjadi lebih dikenal, karena selama ini tak banyak yang tahu bahwa ada jurusan itu di ITB," kata Ir. Gunawan, dosen lulusan 1987. Apalagi lapangan pekerjaan terbuka lebar di pabrik pesawat terbang IPTN dan lembaga lain. Kenaikan status memang baru langkah awal. Menurut Pembantu Rektor I, Dr. Arifin Wardiman, Jurusan Teknik Penerbangan nantinya akan berdiri sendiri sebagai fakultas sekitar 1996. Kecuali meluluskan sarjana S-1, katanya, Jurusan Teknik Penerbangan juga berniat mencetak sarjana S-2 dan S-3. Untuk mempersiapkan ahli penerbangan, ITB memerlukan dana Rp 6 sampai Rp 10 milyar, untuk gedung, laboratorium, dan fasilitas lainnya. Sementara itu, untuk biaya operasional paling tidak dibutuhkan Rp 2 sampai Rp 5 milyar setahun. Sedang tenaga pengajar ada 17 orang. Sepuluh orang dari ITB sendiri dan sisanya didatangkan dari luar, termasuk IPTN. Memang, untuk mengembangkan industri pesawat terbang diperlukan tenaga ahli yang memadai. Sedangkan Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie, dalam wawancara dengan TEMPO, pernah mengatakan bahwa industri pesawat terbang merupakan indikator kemampuan suatu bangsa. "Kalau punya industri pesawat terbang, bangsa tersebut dianggap mampu mengembangkan teknologi lainnya," kata Habibie (TEMPO, 28 Juni 1986). Bahkan ia optimistis, tahun 2016 nanti industri teknologi akan menghasilkan devisa, 60% dari seluruh ekspor. Liston P. Siregar (Jakarta) dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini