Onze Tjip SEORANG pembangkang lahir di tahun 1886 di Ambarawa. Ketika ia berumur 23, dengan tenang ia mengendarai delmannya masuk ke alun-alun Keraton Surakarta. Tempat itu sebenarnya dikhususkan buat kereta Sunan dan para pangeran. Tapi ia tak peduli. Maka, para pejabat keraton pun, dan konon Sunan sendiri, marah. Tapi apa mau dikata? Tak banyak yang bisa dilakukan terhadap orang ini: ia seorang dokter bumiputra yang dalam usia muda itu sudah cukup dikenal. Ia Tjipto Mangoenkoesoemo. Tjipto -- yang biografinya pernah ditulis dengan menarik oleh Sastrawan M. Balfas di tahun 1952, tapi tak pernah dicetak lagi -- adalah tokoh yang kini tak sering melintas dalam pikiran kita. Juga di Hari Kebangkitan Nasional. Kini kita tampaknya cenderung membayangkan bahwa pada tanggal 20 Mei 1908 itu, yang bergerak hanyalah sejumlah orang Jawa yang -- seraya memikirkan "kemajuan" di kepala yang terbungkus mondholan -- bersikap lemah lembut dan berdiri ngapu rancang. Tjipto tidak lemah lembut. Nasibnya juga tidak. Tulisannya dibredel berkali-kali oleh pemerintah, dan ia dibuang dan ia dirongrong. Tapi ia sudah memilih jalan. Ia punya kritik kepada sikap orang Jawa yang, dalam kata-katanya yang tertulis di sebuah surat bertanggal 19 Januari 1916, "selalu mengatakan ya dan amin". Dalam sebuah buku kecil yang terbit di tahun 1913, (dan dikutip oleh Takashi Shiraishi dalam bukunya yang menarik sekali tentang radikalisme kerakyatan di Jawa antara 1912 dan 1926, An Age in Motion), Tjipto bahkan berbicara tentang "kemerosotan moral orang Jawa". Orang Jawa telah kehilangan "sikap mandiri dan teguh". Hal ini, menurut Tjipto, adalah akibat sifat otoriter dan pengisapan kapitalis dari pemerintahan kolonial Belanda. Tetapi juga ada sebab lain. Dalam suratnya dalam bahasa Belanda yang sudah disinggung di atas, Tjipto punya teori: "Kebudayaan Jawa tak mengizinkan kritik terhadap kebijakan pemegang kekuasaan -- malah sebaliknya, kebudayaan ini menghendaki agar kita menghambakan diri tanpa syarat kepada pandangan atasan kita. Sri Susuhunan, misalnya, boleh mengklaim keturunan Adam dan Arjuna ... agar menjaga kita tetap dalam kontrolnya, dan agar kita merasa bahwa kita, makhluk sederhana ini, keturunan Kromo dan Suto, tak akan pernah dapat berharap berhasil dalam pemberontakan yang mana pun." Tjipto memang pembangkang tulen -- sejak dari caranya berpakaian. Bila tokoh pergerakan lain, misalnya Mas Marco, mengenakan pakaian sinyo, Tjipto muncul dengan rambut yang keluar dari songkoknya, dengan baju lurik dan berkain sarung, dan bersandal dan mengisap rokok kretek bagaikan keturunan Kromo dan Suto benar-benar. Ia memang bukan anak bangsawan. Ia anak guru, yang berhasil masuk sekolah dokter bumiputra, STOVIA dan lulus di tahun 1905. Mungkin itu sebabnya ia tahu bagaimana menyatukan diri dengan rakyat di saat-saat menderita: ketika wabah berjangkit di Malang di tahun 1910, Tjipto jadi sukarelawan untuk melawannya. Pembangkang ini pun tak urung dapat bintang jasa yang sangat terhormat, Ridderkruis, dari pemerintah. Ia sendiri rasanya lebih bangga dengan anak pungutnya yang ia beri nama Pesyati, seorang bocah yatim piatu akibat wabah di Malang itu. Sederhana, jujur. Seorang penasihat ahli pemerintah, G.A.J. Hazeu, bahkan menulis kepada gubernur jenderal tentang tokoh pelawan ini: Tjipto adalah seorang pemimpin yang tegak dengan ukuran moral "yang sangat lebih tinggi ketimbang kebanyakan mereka yang ada di garis depan pergerakan abad ini". Bagi Tjipto, wasiat yang harus diwarisi orang Jawa adalah tindakan Pangeran Diponegoro di tahun 1825: perlawanan dengan kegigihan dan penuh energi. Kata Tjipto dalam lets over de Javaan, biarpun gagal berperang, Diponegoro telah membuktikan bahwa orang Jawa sebetulnya punya "dasar etis yang sehat". Namun, Tjipto bukanlah seorang yang cuma sibuk untuk jadi Jawa. Dalam An Age in Motion Shiraishi menyebutkan bahwa, dalam pandangan Tjipto, Hindia Belanda (yang kemudian jadi Indonesia) adalah satu-satunya wujud politik yang relevan jika hendak berbicara tentang kesejahteraan rakyat. Sebab, Jawa sendiri sudah lama kehilangan kedaulatan. Yang menarik lagi ialah bahwa bagi Tjipto, seperti dinyatakannya di sepucuk surat terbuka yang ia terbitkan di tahun 1912, "pertentangan mendasar bukannya terletak antara Timur dan Barat, atau antara Hindia dan non-Hindia, melainkan dalam penjajahan dan penaklukan dalam segala bentuknya." Dan kepada temannya ia juga pernah menulis, "saya juga akan menjalankan oposisi yang sama seandainya orang Jawa yang berkuasa". Tjipto, yang dipanggil oleh teman-temannya sebagai "Onze Tjip", atau "Tjip Kita", memang sebuah mutiara kita. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini