TERNYATA, tak cuma situasi di Filipina yang sampai Senin pekan ini tidak menentu. Hmgga awal pekan ini, sikap pemerintah Indonesia terhadap perkembangan di Filipina juga masih belum jelas. Tatkala dicegat belasan wartawan di kantornya di Pejambon, Senin pekan ini, Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja menolak memberikan komentar. " 'Kan sudah ada pernyataan bersama dari negara-negara ASEAN, termasuk kita," katanya. Mochtar juga tak mau memberikan jawaban serius ketika ditanya kemungkinan pengaruh perkembangan di Filipina pada situasi Indonesia. "Mudah-mudahan tak ada pengaruhnya. 'Kan masih ada laut," selorohnya. Menurut Mochtar, perkembangan yang menarik untuk diikuti adalah dibatalkannya acara pelantikan presiden pada Selasa 25 Februari ini, dan diganti menjadi upacara pengambilan sumpah jabatan. Menlu Mochtar tampaknya lega karena tidak diundangnya para duta besar dalam upacara pengambilan sumpah Jabatan Presiden Marcos, karena jelas hal itu telah menyelamatkan Indonesia dari kesulitan untuk mengambil sikap terhadap Marcos. Sejak semula, sikap Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya memang sangat berhati-hati. Ketika Marcos diumumkan parlemen sebagai pemenang dalam pemilihan presiden dua pekan lalu, tak satu negara ASEAN pun yang mengirimkan ucapan selamat. Hampir sepekan setelah itu, tatkala didesak wartawan, mengapa Indonesia tak juga memberikan ucapan selamat, Menlu Mochtar cuma menjanjikan, "Sebentar lagi. Itu hanya soal waktu, saya kira." Toh ucapan selamat itu tak juga kunjung dikirimkan. Akhir pekan lalu, Menlu Mochtar mulai lebih terbuka. Tertundanya pengiriman ucapan selamat itu karena "belum menentunya situasi di Filipina," katanya pada konperensi pers mingguannya Jumat siang. Indonesia, katanya, sedang mempelajari laporan. Laporan yang masuk mengenai keadaan di Filipina yang belum begitu jelas, dan memperhatikan sikap negara-negara lain terhadap Filipina, khususnya sikap negara-negara sahabat. Filipina adalah negara sahabat Indonesia. Karenanya, kata Mochtar, setiap pernyataan mengenai Filipina harus dibuat secara hati-hati agar tidak menimbulkan kesan bahwa Indonesia mencampuri urusan dalam negeri Filipina. "Keadaan di Filipina yang tidak biasa mengakibatkan kita juga tidak bersikap seperti biasa," ujar Mochtar. Sikap Indonesia dan ASEAN memang tidak biasa. Untuk pertama kalinya sejak terbentuknya, negara-negara ASEAN harus menghadapi situasi seperti itu: di salah satu negara anggotanya terjadi ketidakpastian tentang siapa yang akan berkuasa. Memberikan ucapan selamat pada Marcos bisa diartikan memihak padanya, yang bisa dianggap sikap bermusuhan oleh pihak Aquino yang mungkin bisa muncul sebagai pemenang. Sikap yang terbaik karenanya memang yang kemudian dilakukan: menunggu. Toh kemudian ASEAN mengeluarkan juga pernyataan bersama. Pernyataan yang bersama dikeluarkan di lima ibu kota Jakarta, Singapura, Bangkok, Kuala Lumpur, dan Bandar Sri Bagawan) Minggu lalu itu tampaknya hanya semacam basa-basi sembari menunggu pertarungan di Manila berakhir. Selain mengutarakan keprihatinan yang meningkat terhadap krisis yang bisa menjurus pertumpahan darah dan perang saudara di Filipina, kelima negara itu mengimbau semua pihak "untuk memulihkan kesatuan nasional dan solidaritas hingga ketahanan nasional dapat dipelihara". Diserukan juga "masih ada waktu untuk bertindak dengan mengekang diri dan menciptakan penyelesaian damai". Menilik perkembangan situasi terakhir di Filipina, tampaknya seruan ASEAN itu tidak digubris para pemimpin Filipina. Dan agaknya, para pemimpin ASEAN memang tidak terlalu mengharapkan itu, karena pernyataan itu memang lebih bersifat "seruan moral" saja. Namun, satu kesan jelas muncul setelah pergolakan di Filipina ini: negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, kaget dan tidak siap menghadapi kemungkinan tumbangnya Presiden Marcos yang berlangsung begitu cepat. Sikap itu, misalnya, tampak juga dari pemberitaan TVRI. Pada masa kampanye pemilu dan awal penghitungan hasil suara, pihak Marcos dan Cory disiarkan secara seimbang. Namun, tatkala Marcos mulai "menang", protes dan demonstrasi pihak Cory tidak muncul. Yang lebih banyak muncul hanya Marcos saja. Sampai-sampai sebuah koran Jakarta nyeletuk di pojoknya, menanyakan "keanehan" itu. Baru setelah Cory tampak dalam posisi unggul, mulai akhir pekan lalu, kegiatan pihak anti-Marcos dimunculkan lagi. Namun, Alex Leo, Direktur Televisi Deppen, membantah. "Kita sama sekali tidak berpihak. Sikap kita menunggu apa yang akan terjadi dan mudah-mudahan bisa selesai dengan baik. Polioy kita sesuai dengan apa yang dikatakan Pak Mochtar," katanya. Bahwa Indonesia tidak menduga Marcos bisa jatuh juga terlihat dari bantuan dua pesawat Casa CN-212, yang diserahkan langsung oleh Pangab Jenderal L.B. Moerdani kepada Kastaf Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Fabian C. Ver di Manila, 9 Januari lalu. Banyak yang menganggap, bantuan yang sebenarnya lebih merupakan promosi pesawat buatan IPTN Bandung itu sebagai tanda "dukungan" Indonesia terhadap Marcos. Waktu itu kecondongan yang ada memang begitu. "Kita memang lebih senang kalau Marcos yang menang karena kebijaksanaannya telah jelas buat kita," kata seorang pejabat tinggi Indonesia beberapa pekan sebelum pemilu Filipina. Tampaknya, pandangan itu kini harus cepat-cepat diubah. Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini