Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kado ulang tahun

Peringatan hut ABRI ke 41 berlangsung sederhana di lapangan parkir timur senayan, jakarta. seminar dan rapim abri menyumbangkan pemikiran guna penyusunan gbhn dan pembangunan nasional.

11 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABRI berusia 41, Minggu pekan lalu. Tak seperti tahun-tahun silam, inilah peringatan HUT yang paling sederhana. Lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta, tempat acara HUT berlangsung, hanya diisi dengan defile pasukan, pertunjukan kemahiran oleh kolone senapan Pasukan Pengawal Presiden, serta gerakan aerobatik enam pesawat. Toh acara berlangsung khidmat. Di kala ekonomi sulit, dan keprihatinan setelah devaluasi, kembali ABRI memperlihatkan kepeloporannya. Dan, dalam kepeloporannya itu, "ABRI sama sekali tidak mengharap pujian yang muluk-muluk," kata Presiden Soeharto. "ABRI memang bukan sekadar wujud hasrat keprajuritan bangsa Indonesia, namun ABRI adalah wujud hasrat keprajuritan pejuang, yaitu keprajuritan yang dilandasi oleh patriotisme, rasa tanggung jawab, keberanian menghadapi tantangan, dan ketabahan menghadapi kesulitan apa pun, serta kepercayaan diri sendiri untuk maju dan mewujudkan kemajuan," ujar Pangab Jenderal L.B. Moerdani. Dalam pidato yang padat, Pak Harto juga kembali menyebut hasil Rapat Pimpinan ABRI 1986, yang berlangsung akhir Agustus lalu. Inilah Rapim, menurut Presiden, yang telah mengesahkan dua sumbangan pikiran generasi penerus ABRI, sebagai bahan masukan penyusunan GBHN 1988. Kedua gagasan itu ialah ihwal disiplin nasional serta produktivitas nasional. Memang, Rapim ABRI yang berlangsung di Gedung Ardhya Loka Halim Perdanakusuma, Jakarta, itu, menurut Pangab Jenderal L.B. Moerdani, "mempunyai arti khusus." Bukan saja karena dilaksanakan menjelang pemilu mendatang. Tapi inilah pertama kali Rapim dihadiri sebagian besar perwira generasi baru. Seperti diketahui, Rapim diselenggarakan setelah reorganisasi berjalan lancar dan tak satu pun kepala staf angkatan dan kepolisian yang berasal dari Generasi 45. Dan, yang patut pula dicatat, Rapim berlangsung setelah sepekan sebelumnya diselenggarakan Seminar ABRI. Seminar itu berlangsung dua hari, 20-21 Agustus, di Seskoad Bandung. Dalam seminar inilah bahan-bahan untuk Rapim ABRI itu dibahas. Dibanding berbagai aparat pemerintah, ABRI jarang menyelenggarakan seminar. Tapi sejarah mencatat, selalu ada yang "mengejutkan" dari seminar itu. Misalnya, Seminar TNI-AD ke-2, yang berlangsung juga di Seskoad Bandung, juga bulan Agustus, 20 tahun silam (1966). Seminar semula hanya bermaksud melihat kembali doktrin Tri Ubaya Cakti, yang dihasilkan oleh Seminar TNI-AD ke-1. "Disadari, di sana masih ada pengaruh paham kiri. Karena itu, ada niat mengoreksi dalam Seminar TNI-AD ke-2," ujar Letjen Bambang Triantoro, Kepala Staf Sosial Politik ABRI. Tapi, melihat situasi dan kondisi kala itu, pimpinan TNI-AD, akhirnya, memutuskan agar Seminar TNI AD ke-2 itu tak hanya menilai kembali doktrin Tri Ubaya Cakti. "Dan seminar menghasilkan naskah yang cukup penting dalam kehidupan bernegara selanjutnya, yakni stabilisasi politik dan stabilisasi ekonomi." Lama setelah itu, tak ada seminar baik yang diselenggarakan Hankam maupun TNI-AD. Seminar baru diselenggarakan oleh TNI-AD, pada 1972. Inilah Seminar TNI-AD ke-3, yang berlangsung juga di Seskoad Bandung. "Pada tahun itu, terlihat adanya kesadaran pada yang tua bagaimana menampilkan yang muda. Supaya penampilannya tidak keliru, maka diadakanlah seminar itu," tutur Letjen Bambang. Seminar itu menghasilkan dokumen Dharma Pusaka. Inilah dokumen yang pada hakikatnya memberi pedoman bagaimana proses alih generasi: apa yang perlu diteruskan oleh yang muda. Seperti diketahui, inilah seminar yang dihadiri baik oleh yang tua maupun yang muda. Dan, empat belas tahun kemudian, sejarah mencatat, inilah generasi baru ABRI yang kini menduduki berbagai posisi teras. Misalnya, Try Sutrisno (KSAD) Edi Sudradjat (Wakasad), Soegiarto (Asisten Personalia Kasum ABRI), dan Syamsuddin (Danjen Pusat Infanteri). Mengapa setelah itu baru Agustus lalu ABRI menyelenggarakan seminar kembali? "Negara kini menghadapi masalah yang cukup rumit," ujar Bambang Triantoro, penanggung jawab Seminar ABRI 1986. "Setelah tiga Repelita, sekarang masa yang cukup berat. Tapi pembangunan harus tetap diteruskan. Lalu, bagaimana keluar dari kesulitan itu?" Untuk itu, diperlukan terobosan-terobosan. Kesadaran inilah, demikian Letjen Bambang, yang mendorong Seminar ABRI diselenggarakan. Seminar itu diikuti 176 peserta. Kebanyakan, yakni 80%, adalah generasi penerus, dengan Letjen Try Sutrisno, ketua seminar. Ada dua gubernur yang mewakili generasi penerus itu (Sumatera Barat dan Sulawesi Utara), serta dua gubernur pula dari Generasi 45 (Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Barat). Adapun Gencrasi 45 ini diwakilkan melalui mereka yang sudah dikaryakan, seperti yang berkedudukan sekjen, irjen, atau dirjen. "Salah satu yang diinginkan menjadi ciri dari seminar ini adalah pemikiran datang dari kelompok generasi penerus," ujar Bambang Triantoro. Penyiapan makalah awal dilakukan oleh kelompok perwira yang berkecimpung di lembaga pendidikan ABRI. Yakni, Lemhanas, Sesko ABRI, Sesko Angkatan, dan Seskopol. "Pangkat mereka rata-rata kolonel, paling tinggi brigjen," kata Letjen Bambang. Hasil garapan selama satu setengah bulan itu lantas masuk ke Panitia Pengarah Seminar, yaitu pejabat Mabes ABRI, yang diketuai Kassospol ABRI. Juga dilakukan konsukasi, antara lain, dengan karyawan ABRI (misalnya, Mensekab Moerdiono), dan dengan pihak luar, yakni para dosen dari berbagai pendidikan tinggi yang juga mengajar di lingkungan Sesko. "Setelah diskusi berhari-hari, baru dilemparkan ke seminar." Hasilnya adalah sumbangan pikiran, "Terobosan yang diharapkan memberikan konsentrasi di bidang yang menentukan, yang menjadi ujung tombak dalam menembus kesulitan." Yakni, disiplin nasional, dan produktivitas nasional. Apakah ini berarti ABRI melihat ada indikasi disiplin nasional menurun? "Sulit untuk mengatakan menurun atau meningkat," ujar Letjen Bambang. "Tapi kami melihat adanya luang-luang dalam orang mematuhi aturan-aturan dasar. Katakanlah, dalam pemerintahan kebocoran masih ada dan pelaksanaan tugas yang tidak tertib. Termasuk juga karyawan-karyawan ABRI yang di departemen-departemen." Menurut Letjen Bambang, hakikat disiplin nasional adalah loyalitas. Yakni kepatuhan kepada hal-hal yang sudah diputuskan dan disepakati, yang kemudian berwujud, antara lain, berbagai peraturan, seperti UU dan Keppres. "Dengan hasil seminar itu, kami mengajak supaya orang lebih patuh pada ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati." Seminar juga berkesimpulan, meski pembangunan telah berjalan 20 tahun, masih ada komponen dalam masyarakat yang belum benar-benar ikut serta, atau mendapat peran serta yang cukup menentukan dalam pembangunan nasional. Misalnya, "Kami meminta perhatian pengembangan sektor informal," kata Letjen Bambang. "Sektor informal itu golongan kere. Tapi mereka 'kan berpenghasilan. Meskipun cuma berlari-lari berjualan koran, setiap pulang mereka membawa uang. Dan, harga diri mereka sebagai manusia terjaga. Ini 'kan potensi juga." Dalam hal penghapusan becak, misalnya. "Penerapannya harus dengan kebijaksanaan dan keadilan," kata Letjen Bambang. "Pedagang kaki lima, umpamanya. Di Jalan Sudirman tidak boleh. Tapi, kalau di dekat rumah saya, banyak orang yang berterima kasih," kata Letjen Bambang. Pedagang kaki lima itu, "Orang yang tangguh dalam perjuangan. Mereka tidak memble, walau dikejar-kejar pctugas. Mengapa begitu? Karena harga diri manusia. Bagi kami, harga diri manusia lebih tinggi daripada peran mereka dalam penghasilan negara." Hasil seminar itu telah disampaikan kepada Presiden Soeharto. Ia menjadi sumbangan pikiran untuk penyusunan GBHN mendatang. "Seminar itu suatu manifestasi keterlibatan ABRI mengenai apa yang terjadi di sekitarnya," ujar Pangab Jenderal Moerdani kepada pers, seusai bersama peserta Rapim ABRI menghadap Presiden. "Itu juga manifestasi dwifungsi dalam bentuk yang cukup baik," tambahnya. Presiden Soeharto sendiri, dalam berbagai pidatonya, berkali-kali sudah menyebut hasil Seminar ABRI itu. Pertanda kuat, sumbangan pemikiran ABRI itu akan menjadi bagian penting dalam GBHN mendatang. Saur Hutabarat, Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus