TANPA banyak diberitakan, empat tokoh PKI telah dieksekusi 26 September silam. Menurut suatu sumber, di antaranya, adalah Syam Kamaruzzaman, Pono, dan Bono alias Waluyo. Ketiganya, terutama Syam, memang tokoh penting yang menggerakkan peristiwa berdarah Gerakan 30 September (G-30-S/PKI), 21 tahun silam. Kamaruzzaman, yang kemudian lebih dikenal dengan panggilan Syam, adalah Ketua Biro Khusus Sentral PKI. Ia termasuk salah satu otak gerakan. Seperti diungkapkan Kopkamtib melalui Buku Putih, adalah Syam yang menduduki jabatan Pimpinan Pelaksanaan Gerakan, dengan Pono, sebagai wakil. Adapun Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC PKI itu, merupakan Pimpinan Tertinggi Gerakan. Syam adalah tokoh yang "menggarap" kalangan militer. Ia mengakui, Biro Khusus yang menggerakkan "perwira-perwira progresif". Ia pula yang menjelaskan instruksi D.N. Aidit, tentang perlunya mengadakan gerakan yang mendahului "kup Dewan Jenderal". Penjelasan itu disampaikan dalam rapat 6 September 1965, yang dihadiri Pono, Letkol Untung, Mayor A. Sigit, dan Kapten Wahyudi. Syam tergolong tokoh yang misterius. Bertubuh tinggi besar, ia sering menemui D.N. Aidit dengan berpakaian montir. Ia, seperti juga orang-orang Biro Khusus, memang, begitu mudahnya bertemu dengan orang nomor satu PKI itu. Hal ini, kabarnya, sering membuat pengurus partai lainnya menjadi iri, atau takut. Ia, kabarnya, lahir di Tuban, Jawa Timur, diperkirakan pada tahun 1922. Pada masa revolusi fisik, ia konon aktif di Batalyon X di Yogya. Ia mengenal Aidit sejak 1947, ketika aktif di BTI. Syam kemudian muncul lewat organisasi buruh komunis SOBSI. Ia menjadi redaksi majalah Buruh, dan Sekretaris SOBSI cabang Jakarta, serta pengurus serikat buruh pelabuhan. Dengan nama Kamaruzzaman, ia termasuk seorang dari 29 anggota pilihan yang mengikuti latihan kepartaian PSI. Tak jelas mengapa ia kemudian hengkang dari PSI ke PKI. Adalah Syam yang memeriksa kesiapan Biro Khusus di daerah. Ia yang menginstruksikan kepada para kepala biro, agar memperhatikan siaran RRI. Ia pula yang mengatakan bahwa satu batalyon masing-masing dari Brawijaya dan Diponegoro telah bersedia diajak serta dalam gerakan. Dan, Syamlah yang mengemukakan bahwa gerakan ini akan melahirkan Dewan Revolusi, dengan mendemisionerkan Kabinet Dwikora. Ia pula yang menetapkan Letkol Untung selaku Ketua Dewan Revolusi. Dengan demikian, ini berarti gerakan merebut kekuasaan. Dan gerakan merebut kekuasaan itu, seperti diketahui, akhirnya meledak pada 30 September 1965. Inilah gerakan yang dipersiapkan jauh sebelumnya, dengan memperalat unsur ABRI untuk merebut kekuasaan secara fisik. Ia, seperti hasil analisa Kopkamtib, masih merupakan "lanjutan" pemberontakan Madiun yang gagal. Setelah pemberontakan yang gagal itu, PKI memang lantas dipimpin oleh tokoh muda. Ia adalah Aidit, yang memegang pimpinan pada usia 26. Tokoh ini lantas membentuk Sentral Komite baru, dengan lima anggota: Aidit, M.H. Lukman, Nyoto, Sudisman, dan Alimin. Pimpinan baru PKI ini mengambil kesimpulan: Bahwa strategi yang disusun harus bersifat jangka panjang. Bahwa PKI harus meluaskan massanya dengan membentuk organisasi-organisasi massa. Bahwa PKI perlu menunjukkan toleransi dan kerja sama sebanyak mungkin dengan kekuatan-kekuatan politik yang tidak antikomunis. Dan, bahwa PKI, harus dibangun menjadi partai yang berdisiplin dan terindoktrinasi. Dalam tempo relatif pendek, setelah kehancuran akibat Peristiwa Madiun (1948) PKI memang tampil menjadi partai yang kuat. Pada Pemilu 1955, misalnya, tampil sebagai partai papan atas. PKI berhasil merebut 16,45% suara, yang berarti berada pada urutan keempat, setelah PNI, Masyumi, dan NU. PKI tambah kuat, terutama, karena "dipelihara" oleh Bung Karno. Inilah strategi mengatur kekuasaan, dengan bermain-main di antara dua kekuatan, TNI dan PKI. PKI memang, lantas seperti tumbuh besar, dengan anggota konon mencapai 20 juta. Ia menjadi partai yang lebih banyak didengarkan oleh Bung Karno, dan lebih banyak diikuti kemauannya. Sebagai partai yang secara politis mempengaruhi keputusan, mengapa PKI akhirnya perlu merebut kekuasaan dengan kudeta? Ada banyak teori yang sudah dikembangkan. Di antaranya, Aidit khawatir dengan kesehatan Bung Karno kala itu. Bung Karno memang menjadi cantolan penting, karena tanpa Bung Karno, PKI memang akan segera berhadapan langsung dengan TNI. Maka terjadilah gerakan mendahului kematian Bung Karno -- sang penyangga keseimbangan TNI dan PKI. Mengapa PKI gagal? Juga ada banyak jawaban. Di antaranya ialah bahwa G-30-S itu, sesungguhnya, lebih merupakan keputusan elite. Dalam otokritiknya pada 1966, Sudisman mengecam Aidit, karena melakukan langkah petualangan. Ia menilai gerakan Aidit itu sebagai gerakan yang tidak didasarkan pada keyakinan tinggi massa. Aidit lebih yakin pada Biro Khusus yang dipimpin Syam Kamaruzzaman. Berkaitan dengan Biro Khusus ini, terdapat perselisihan di antara tokoh-tokoh PKI. G-30-S/PKI akhirnya ditumpas habis. Ia banyak memakan korban. Inilah kudeta yang remuk, dan memberi banyak pelajaran. Sampai 1978, Mahkamah Militer Luar Biasa telah memutuskan 38 perkara, Mahkamah Militer Tinggi 291 perkara, dan Pcngadilan Negeri 466 perkara oknum yang terlibat G-30-S/PKI. PKI tetaplah bahaya laten. Kewaspadaan akan hal ini senantiasa dicanangkan. Bahkan, pemerintah hingga kini terus-menerus menggalakkan apa yang disebut "bersih lingkungan". Yakni upaya membersihkan aparat negara dari oknum-oknum yang terlibat PKI, bahkan sampai ke tingkat kerabat (ayah, ibu, mertua, dan lain-lain). Baru-baru ini, misalnya, 3.200 pegawai di lingkungan Kanwil P & K Jawa Tengah dinyatakan terlibat PKI Golongan C-2 dan C-3 Mereka terdiri dari 1.200 orang guru, penjaga sekolah, serta tenaga administrasi pada SMP dan SMA. Dan selebihnya, 2.000 orang, adalah tenaga administrasi di berbagai sekolah dasar. Keterlibatan mereka itu diketahui dari hasil pemeriksaan Laksusda. Pemeriksaan itu dilakukan sejak awal tahun ini. Maka, menurut suatu sumber, yang telah mendekati pensiun (berumur 45 ke atas) akan segera dipensiunkan. Yang lebih muda ditunggu sampai usianya menjelang pensiun. "Teknis pelaksanaan mempercepat pensiun itu tidak akan dilakukan serentak. Dan, agar tak menimbulkan keresahan, pelaksanaannya dimulai setelah Pemilu 1987," kata sumber TEMPO. Pembersihan serupa juga sebelumnya terjadi di lingkungan Kanwil Kehakiman Jawa Tengah. Pada April silam, 432 pegawai, teruama yang bekerja di lembaga pemasyarakatan, juga pensiunnya dipercepat. "Mereka terlibat G-30-S/PKI dengan klasifikasi C-2 dan C-3," kata Kakanwil Kehakiman Ja-Teng Dimyati Hartono. Pemerintah rupanya akan menyapu bersih mereka yang dikategorikan golongan C-2 dan C-3 ini. "Terutama tidak boleh menduduki pekerjaan yang strategis," kata sumber TEMPO. Yang digolongkan strategis ini, misalnya, guru, bagian penerangan, dan tentu lembaga pemasyarakatan. "Sebelum dipensiunkan, mereka harus lebih dulu dipindahkan ke tempat lain yang tidak strategis." Dalam pengumpulan pendapat TEMPO, enam tahun lalu, mayoritas responden (63,69%) menganggap komunisme merupakan ancaman dari luar negeri yang utama. Ancaman dalam negeri? Kala itu lebih banyak melihat korupsi (43,8%) sebagai ancaman ketimbang kembalinya PKI (21,6%). Tak jelas benar berapa banyak sudah tokoh PKI yang divonis mati, dan sudah dieksekusi. Pernah duta besar Australia Bill Morison mengimbau pemerintah RI agar tak mengeksekusi beberapa tokoh PKI itu. Ini terjadi awal Juni tahun silam. Permintaan grasi tiga tokoh PKI, Djoko Untung, Gatot Lestario, dan Rustomo, tak dikabulkan Presiden. Dan, setelah itu beredar kabar bahwa ketiganya akan segera dieksekusi. MORISON, kala itu, secara lisan menyampaikan harapan pemerintahnya pada Menlu Mochtar Kusumaatmadja. Yakni agar pemerintah Indonesia mcnaruh belas kasihan kepada tiga tokoh PKI itu yang waktu itu dikabarkan akan dieksekusi. Pemerintah RI, seperti diungkapkan Menlu Mochtar, memandang apa yang telah dilakukan PKI pada 1965 pengkhianatan bagi rakyat Indonesia. "Karena itu, suatu pengampunan tentu akan mempunyai dampak yang besar di dalam negeri. Jadi, harus ditimbang-timbang mana yang lebih berat," katanya. Imbauan seperti yang diajukan pemerintah Australia itu bukan hal baru. Itu sering diajukan berbagai organisasi, terutama Amnesti International. Tapi pemerintah RI menganggap hal itu "campur tangan pada urusan dalam negeri". Syam Kamaruzzaman ditangkap pada 1967. Ia diadili, dan dijatuhi hukuman mati. Mengapa baru kini dieksekusi? Munir, bekas Sekjen SOBSI, misalnya, kabarnya, baru dieksekusi Mei tahun silam. Pemerintah rupanya, memandang perlu menguras habis-habisan informasi dari mereka, sebelum eksekusi dilaksanakan. Saur Hutabarat, Laporan Biro Jakarta & Yoogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini