Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Kerusuhan Rutin Akhir Tahun

Sejumlah nelayan tradisional dari Cilacap menyerbu 10 kapal pukat harimau yang beroperasi di Teluk Penyu. Awak kapal dipukuli dan mesinnya dirusak. (dh)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM itu, 24 Nopember, Bupati Cilacap H. Mukmin mengadakan upacara ngunduh penganten. Suasana meriah. Banyak undangan pejabat hadir. Kegembiraan tergetar juga di seluruh kota pantai Cilacap. Tetapi di laut terjadi lain pada saat yang sama. Di perairan yang dikenal dengan nama Teluk Penyu, beberapa orang nelayan tradisionil dari Desa Cilacap mengepung 10 pukat harimau. Nelayan yang berhasil naik ke pukat itu bagaikan harimau saja. Mengobrak-abrik isi pukat. Beberapa tokeng (komandan dan juragan pukat harimau) dan nakhoda pukat harimau dipukuli nelayan di tengah laut. Ada yang merusak jaring atau membacok mesin. Yang bernasib baik cuma pukat Lestari yang disuruh pulang setelah rambut nakhodanya dijambak. Pukat Setia Jaya dikandaskan di dukuh Tegal Kati Layu, tak jauh dari RS Pertamina. Putra Bhakti III, Putra Bhakti X, Sentausa Jaya, Sumber Rejeki I dan IV, Setia II, Sami Jaya dan Cilacap Maju, rata-rata dalam keadaan parah. Kamla (keamanan laut) yang melihat peristiwa itu, masih perlu melapor dan minta bantuan polisi sebelum bertindak menenangkan amukan para nelayan. Setelah persoalan reda, 9 nelayan yang dianggap biang kerusuhan dibawa ke kantor polisi. Mereka yang menginap di tangsi polisi ini: Karwi (25), Sumijo (19), Bingung (19), Paimin (19), Untung (19), Soehadi (19), Misban (22), Sarjono (16) dan Tambung (18). Ke-3 Kalinya Besok paginya, ke 9 nelayan ini belum pulang dari tangsi polisi. Siang harinya keluarga nelayan "membuat perhitungan". Mereka -- bahkan juga anak-anak dan kakek-kakek -- berbondong-bondong menuju kantor polisi. Berondongan nelayan ini menyebabkan toko-toko di Cilacap mendadak tutup. "Mereka minta supaya yang ditahan itu dilepas," kata sumber TEMPO di Kepolisian. Dan memang beberapa jam setelah itu mereka dilepas. "Tapi perkaranya sudah selesai diperiksa," kata sumber TEMPO itu. Kerusuhan rutin di tiap akhir tahun ini sudah terjadi 3 kali berturut-turut. Yaitu Oktober 1976, Oktober 1977 dan kini Nopember 1978. Sasaran tetap: pukat harimau. Bahkan pernah minta korban segala. Pada akhir tahun -- antara Oktober sampai Desember -- berhembus angin tenggara. Arus air karena angin ini menyebabkan ikan dan udang berkumpul di perairan Teluk Penyu, kurang 3 mil dari pantai. Nelayan panen. Menurut Suwartoyo, Administrator TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Pandanarang, pada bulan-bulan ini ikan yang terjual setiap hari berkisar Rp 500 sampai Rp 800 ribu. "Bahkan pernah Rp 1.108.755 sehari," kata Suwartoyo pada TEMPO. "Bulan Nopember ini penghasilan saya sehari minim Rp 18 ribu," tambah Djumingan Suparto, nelayan yang jadi Sekretaris DPC HNSI Cilacap. "Padahal yang jalan cuma satu perahu, tanpa mesin," tambahnya. Panen luar biasa Nopember ini rupanya diintip nelayan lain. Mula-mula di perairan itu nongol KM Nusa Temini 11 dari Jakarta. Di badannya tertulis angka 12, artinya hanya boleh beroperasi 12 mil dari darat. Tanggal 5 Nopember, begitu tutur Djumingan Suparto, bukan saja kapal ini melanggar daerah operasi, tapi juga merusak 15 jaring nelayan tradisionil, 9 nelayan Cilacap, 6 set jaring nelayan Loh Gading. "Nelayan jelas melihat hal itu. Ketika dikejar, kapal sudah jauh," kata Suparto. Hari-hari berikutnya, penyergapan kapal dari Jakarta ini dilakukan bersama tim dari Kamla. Atas Munandar, Ketua III HNSI, jadi kepala penyergapan. Tanggal 9, tim ini tidak menemukan Nusa Temini. Namun secara tak terduga memergoki 7 pukat harimau yang dijuluki "pencuri dari luar daerah". Kapal itu: Putra Bhakti III dan VIII, Sumber Rejeki IV, Tri Maju Jaya, Slamet Jaya, Pulau Sumatra dan Pisang Baru. Semuanya dari Sumatera dan 4 yang terakhir jelas berpangkalan di Bagan Siapiapi. Pukat harimau itu dinasehati dan diperingatkan. Tanggal 11 Nusa Temini yang dicari muncul langsung membuang sauh di Teluk Penyu. Ada tanda-tanda awaknya hendak turun ke darat. Atas Munandar dengan tim Kamla meluncur ke air. Di darat para nelayan bergerombol, siap membikin perhitungan. Rupanya awak Nusa Temini melihat gelagat buruk hingga kapal dibawa lari. "Dengan perahu tempel 40 PK kami mengejarnya. Tapi kami tak mampu, bahan bakar cuma 30 liter," keluh Munandar kepada TEMP0. Tak Mungkin Banyak nelayan menduga tim ini tak sungguh-sungguh mengejar. "Kapal yang sudah buang sauh, masa tak bisa dikejar," gemas seorang nelayan. "Juragan kapal besar seperti itu, kertasnya memang tebal. Pantas tak bisa dikejar," sahut nelayan tadi. Kertas maksudnya uang. Ketidak percayaan para nelayan kecil kepada tim ini semakin membuahkan dendam. Apalagi tiba-tiba setelah 20 Nopember, udang seperti habis di Teluk Penyu. "Bayangkan, tanggal 23 Nopember saya cuma dapat Rp 700," tutur Djumingan. "Kalau pun angin sudah berembus dari barat daya, tak mungkin udang begitu cepat habis, kalau tidak dicuri," tambahnya. Kalau Sekretaris HNSI sudah mengambil keputusan begini, apalagi nelayan lainnya yang buta huruf. Tanggal 24 Nopember itupun nelayan Desa Cilacap sepakat untuk tidak mencari udang, tapi menyergap pencuri udang. Bukan Nusa Temini yang dijumpai di laut, tapi 10 pukat harimau di Teluk Penyu. Tak pelak, ke 10 pukat ini jadi sasaran amarah. Dan terjadilah peristiwa perusakan dan pemukulan terhadap kapal dan awak pukat harimau. Tapi benarkah 10 pukat harimau itu melanggar batas 3 mil? Sumber TEMPO menyebutkan, juragan pukat harimau itu protes karena tak merasa bersalah. "Ini sasaran amarah dari kapal lain saja," begitu sumber TEMPO menirukan ucapan juragan pukat yang dirusak. "Para nelayan sudah membuat pelampung untuk batas 3 mil itu," ini ucapan seorang nelayan . Tapi, "memang tidak pernah pelampung itu disepakati secara resmi sebagai rambu lalu lintas, tapi nelayan menghitungnya juga dari perasaan," tambahnya. Celakanya, HNSI ataupun Kamla tak juga bisa menentukan bagaimana dan di mana batas 3 mil itu. "Itulah masalah kami, belum ada perhitungan batas yang matematis," kata Ketua HNSI Slamet Soeharto. Sekarang apa usaha Pemda mengatasi kericuhan rutin ini? "Ya, dengan pengurangan pukat harimau itu," kata Walujono, Humas Kabupaten Cilacap. Kericuhan tahun 1977, bersumber pada banyaknya pukat harimau -- di samping batas tidak jelas. Ketika itu ada 170 pukat harimau di perairan Cilacap. Juli 1978, sebanyak 83 kapal ditahan karena melanggar perairan. Izin kapal ini dicabut dan sampai kini nongkrong menunggu pengadilan. Sedang pukat yang beroperasi sekarang masih terus diteliti. "Kalau pemiliknya bukan orang Cilacap izinnya juga dicabut," begitu kata Humas. Usaha lain, lewat pemberian kredit melalui KUD Mino Saroyo, untuk melengkapi nelayan tradisionil ini dengan mesin tempel. Dengan perahu bidak dan compreng bermotor tempel, nelayan ini sudah mampu menangkap udang jrebung yang berkwalitas ekspor. Tapi bagi nelayan yang dihubungi TEMPO, kericuhan masa panen mudah saja ditanggulangi. "Petugas keamanan di laut agar bertindak wajar saja. Usir yang melanggar, jangan kucing-kucingan," kata seorang pemuda nelayan. Mungkin benar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus