MALAM itu, 24 Nopember, Bupati Cilacap H. Mukmin mengadakan
upacara ngunduh penganten. Suasana meriah. Banyak undangan
pejabat hadir. Kegembiraan tergetar juga di seluruh kota pantai
Cilacap.
Tetapi di laut terjadi lain pada saat yang sama. Di perairan
yang dikenal dengan nama Teluk Penyu, beberapa orang nelayan
tradisionil dari Desa Cilacap mengepung 10 pukat harimau.
Nelayan yang berhasil naik ke pukat itu bagaikan harimau saja.
Mengobrak-abrik isi pukat.
Beberapa tokeng (komandan dan juragan pukat harimau) dan nakhoda
pukat harimau dipukuli nelayan di tengah laut. Ada yang merusak
jaring atau membacok mesin. Yang bernasib baik cuma pukat
Lestari yang disuruh pulang setelah rambut nakhodanya dijambak.
Pukat Setia Jaya dikandaskan di dukuh Tegal Kati Layu, tak jauh
dari RS Pertamina. Putra Bhakti III, Putra Bhakti X, Sentausa
Jaya, Sumber Rejeki I dan IV, Setia II, Sami Jaya dan Cilacap
Maju, rata-rata dalam keadaan parah.
Kamla (keamanan laut) yang melihat peristiwa itu, masih perlu
melapor dan minta bantuan polisi sebelum bertindak menenangkan
amukan para nelayan. Setelah persoalan reda, 9 nelayan yang
dianggap biang kerusuhan dibawa ke kantor polisi. Mereka yang
menginap di tangsi polisi ini: Karwi (25), Sumijo (19), Bingung
(19), Paimin (19), Untung (19), Soehadi (19), Misban (22),
Sarjono (16) dan Tambung (18).
Ke-3 Kalinya
Besok paginya, ke 9 nelayan ini belum pulang dari tangsi polisi.
Siang harinya keluarga nelayan "membuat perhitungan". Mereka --
bahkan juga anak-anak dan kakek-kakek -- berbondong-bondong
menuju kantor polisi. Berondongan nelayan ini menyebabkan
toko-toko di Cilacap mendadak tutup. "Mereka minta supaya yang
ditahan itu dilepas," kata sumber TEMPO di Kepolisian. Dan
memang beberapa jam setelah itu mereka dilepas. "Tapi perkaranya
sudah selesai diperiksa," kata sumber TEMPO itu.
Kerusuhan rutin di tiap akhir tahun ini sudah terjadi 3 kali
berturut-turut. Yaitu Oktober 1976, Oktober 1977 dan kini
Nopember 1978. Sasaran tetap: pukat harimau. Bahkan pernah minta
korban segala.
Pada akhir tahun -- antara Oktober sampai Desember -- berhembus
angin tenggara. Arus air karena angin ini menyebabkan ikan dan
udang berkumpul di perairan Teluk Penyu, kurang 3 mil dari
pantai. Nelayan panen. Menurut Suwartoyo, Administrator TPI
(Tempat Pelelangan Ikan) Pandanarang, pada bulan-bulan ini ikan
yang terjual setiap hari berkisar Rp 500 sampai Rp 800 ribu.
"Bahkan pernah Rp 1.108.755 sehari," kata Suwartoyo pada TEMPO.
"Bulan Nopember ini penghasilan saya sehari minim Rp 18 ribu,"
tambah Djumingan Suparto, nelayan yang jadi Sekretaris DPC HNSI
Cilacap. "Padahal yang jalan cuma satu perahu, tanpa mesin,"
tambahnya.
Panen luar biasa Nopember ini rupanya diintip nelayan lain.
Mula-mula di perairan itu nongol KM Nusa Temini 11 dari Jakarta.
Di badannya tertulis angka 12, artinya hanya boleh beroperasi 12
mil dari darat. Tanggal 5 Nopember, begitu tutur Djumingan
Suparto, bukan saja kapal ini melanggar daerah operasi, tapi
juga merusak 15 jaring nelayan tradisionil, 9 nelayan Cilacap, 6
set jaring nelayan Loh Gading. "Nelayan jelas melihat hal itu.
Ketika dikejar, kapal sudah jauh," kata Suparto.
Hari-hari berikutnya, penyergapan kapal dari Jakarta ini
dilakukan bersama tim dari Kamla. Atas Munandar, Ketua III HNSI,
jadi kepala penyergapan. Tanggal 9, tim ini tidak menemukan Nusa
Temini. Namun secara tak terduga memergoki 7 pukat harimau yang
dijuluki "pencuri dari luar daerah". Kapal itu: Putra Bhakti III
dan VIII, Sumber Rejeki IV, Tri Maju Jaya, Slamet Jaya, Pulau
Sumatra dan Pisang Baru. Semuanya dari Sumatera dan 4 yang
terakhir jelas berpangkalan di Bagan Siapiapi. Pukat harimau itu
dinasehati dan diperingatkan.
Tanggal 11 Nusa Temini yang dicari muncul langsung membuang sauh
di Teluk Penyu. Ada tanda-tanda awaknya hendak turun ke darat.
Atas Munandar dengan tim Kamla meluncur ke air. Di darat para
nelayan bergerombol, siap membikin perhitungan. Rupanya awak
Nusa Temini melihat gelagat buruk hingga kapal dibawa lari.
"Dengan perahu tempel 40 PK kami mengejarnya. Tapi kami tak
mampu, bahan bakar cuma 30 liter," keluh Munandar kepada TEMP0.
Tak Mungkin
Banyak nelayan menduga tim ini tak sungguh-sungguh mengejar.
"Kapal yang sudah buang sauh, masa tak bisa dikejar," gemas
seorang nelayan. "Juragan kapal besar seperti itu, kertasnya
memang tebal. Pantas tak bisa dikejar," sahut nelayan tadi.
Kertas maksudnya uang.
Ketidak percayaan para nelayan kecil kepada tim ini semakin
membuahkan dendam. Apalagi tiba-tiba setelah 20 Nopember, udang
seperti habis di Teluk Penyu. "Bayangkan, tanggal 23 Nopember
saya cuma dapat Rp 700," tutur Djumingan. "Kalau pun angin sudah
berembus dari barat daya, tak mungkin udang begitu cepat habis,
kalau tidak dicuri," tambahnya. Kalau Sekretaris HNSI sudah
mengambil keputusan begini, apalagi nelayan lainnya yang buta
huruf.
Tanggal 24 Nopember itupun nelayan Desa Cilacap sepakat untuk
tidak mencari udang, tapi menyergap pencuri udang. Bukan Nusa
Temini yang dijumpai di laut, tapi 10 pukat harimau di Teluk
Penyu. Tak pelak, ke 10 pukat ini jadi sasaran amarah. Dan
terjadilah peristiwa perusakan dan pemukulan terhadap kapal dan
awak pukat harimau.
Tapi benarkah 10 pukat harimau itu melanggar batas 3 mil? Sumber
TEMPO menyebutkan, juragan pukat harimau itu protes karena tak
merasa bersalah. "Ini sasaran amarah dari kapal lain saja,"
begitu sumber TEMPO menirukan ucapan juragan pukat yang dirusak.
"Para nelayan sudah membuat pelampung untuk batas 3 mil itu,"
ini ucapan seorang nelayan . Tapi, "memang tidak pernah
pelampung itu disepakati secara resmi sebagai rambu lalu lintas,
tapi nelayan menghitungnya juga dari perasaan," tambahnya.
Celakanya, HNSI ataupun Kamla tak juga bisa menentukan bagaimana
dan di mana batas 3 mil itu. "Itulah masalah kami, belum ada
perhitungan batas yang matematis," kata Ketua HNSI Slamet
Soeharto.
Sekarang apa usaha Pemda mengatasi kericuhan rutin ini? "Ya,
dengan pengurangan pukat harimau itu," kata Walujono, Humas
Kabupaten Cilacap. Kericuhan tahun 1977, bersumber pada
banyaknya pukat harimau -- di samping batas tidak jelas. Ketika
itu ada 170 pukat harimau di perairan Cilacap. Juli 1978,
sebanyak 83 kapal ditahan karena melanggar perairan. Izin kapal
ini dicabut dan sampai kini nongkrong menunggu pengadilan.
Sedang pukat yang beroperasi sekarang masih terus diteliti.
"Kalau pemiliknya bukan orang Cilacap izinnya juga dicabut,"
begitu kata Humas.
Usaha lain, lewat pemberian kredit melalui KUD Mino Saroyo,
untuk melengkapi nelayan tradisionil ini dengan mesin tempel.
Dengan perahu bidak dan compreng bermotor tempel, nelayan ini
sudah mampu menangkap udang jrebung yang berkwalitas ekspor.
Tapi bagi nelayan yang dihubungi TEMPO, kericuhan masa panen
mudah saja ditanggulangi. "Petugas keamanan di laut agar
bertindak wajar saja. Usir yang melanggar, jangan
kucing-kucingan," kata seorang pemuda nelayan. Mungkin benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini