Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Berita Tempo Plus

Sikat, Jenderal!

28 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Sikat, Jenderal!
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK lama setelah Jenderal Sutanto dilantik sebagai Kepala Kepolisian RI setahun silam, situs Tempo Interaktif mengadakan jajak pendapat. Hasilnya tak terlalu menggembirakan. Hanya 27,33 persen responden yang percaya bahwa -lulusan terbaik Akademi Kepolisian ang-kat-an 1973 ini akan mampu memberantas mafia narkoba dan perjudian. Mayo-ri-tas peserta pengumpulan suara, 64,15 p-er-sen, menyatakan tidak yakin hal ini dapat -di-capai.

Kini, setahun kemudian, keyakinan pub-lik atas kemampuan Jenderal Sutanto kelihatannya jauh membaik. Kegiatan judi yang sebelumnya marak di berbagai kota besar sekarang lenyap. Banyak bandar besar yang diwawancarai majalah ini meng-aku telah beralih usaha. Demikian pula sebuah pabrik ekstasi besar digulung. Sejumlah nama besar sindikat narkoba yang sebelumnya disangka tak ter-sentuh hukum telah masuk bui, bahkan tewas tertembak. Kegiatan jual-beli narkoba jelas masih ada, tapi tak lagi secara terbuka seperti sebelumnya.

Perbaikan kinerja polisi ini tak sebatas dalam hal narkoba dan judi. Penindakan terhadap pelaku pembobolan Bank BNI yang semula terbatas pada para pelaku dikembangkan hingga membawa tiga perwira polisi, termasuk yang memiliki tiga bintang di pundaknya, ditahan dan masuk pengadilan. Sekitar 500 orang ditangkap ka-rena ter-libat pembalakan liar, termasuk tiga cukong yang sebe-lumnya bereputasi kebal hukum. Bahkan para beking -kegiatan jahanam ini pun ikut ditangkap dan disidik kendati berpangkat perwira tinggi.

Sebagai orang nomor satu di kepolisian, Jenderal Sutanto juga aktif membenahi institusinya. Ia tak ragu mencopot Kepala Kepolisian Daerah yang berbuat tak patut seperti melecehkan wanita atau membiarkan tersangka pemba-lak liar buron, kendati para petinggi itu belum lama memegang jabatan dan satu angkatan dengannya. Rupanya rekan -seangkatan Presiden Yudhoyono di Akabri ini punya cita-cita yang sama dengan Jenderal Hoegeng, pen-dahulunya yang mengidam-idamkan polisi Indonesia menjadi pene-gak -hukum yang prima, yang bermartabat dan disegani masyarakat.

Melihat kondisi polisi saat ini, cita-cita mulia ini jelas tak mungkin digapai dalam jangka pendek. Berbagai kasus penting seperti terbunuhnya Munir, pelacakan 15 polisi yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang, dan kasus senjata gelap Brigadir Jenderal Kusmayadi terkesan belum dapat dituntaskan. Ini menunjukkan upaya reformasi polisi masih mengalami hambatan dari dalam.

Hambatan ini tak boleh dianggap e-n-teng. Bahkan Jenderal Kunarto pernah menyatakan, perlu tiga puluh tahun untuk mereformasi lembaga yang dipimpinnya agar menjadi profesional. Kepala Polri periode 1991-1993 ini tentu bukan asal bunyi. Pengalaman negara-negara maju juga menunjukkan bahwa upaya memprofe-sionalkan polisi tak hanya butuh komandan yang hebat tapi juga pengawasan pihak luar.

Di Amerika Serikat, misalnya, polisi sudah ada sebelum negara itu merdeka pada 1776, tapi baru dapat dikatakan profesio-nal setelah terbentuk International Association of Chiefs of Police (IACP) pada 1902. Richard Sylvester, kepala kepolisian Washington DC yang menjadi presiden pertama IACP, diakui sebagai "Bapak Polisi Profesional AS" karena keberhasilannya menerap-kan Undang-Undang Pendleton, yang mengharamkan "dana kemitraan masyarakat" untuk kegiatan operasional polisi AS, yang sebelumnya dianggap hal biasa.

Jenderal Sutanto, mudah-mudahan, dapat mengikuti jejak Richard Sylvester. Kendati usulnya untuk membuat gaji polisi terendah di atas Rp 8 juta kemungkinan besar belum dapat dikabulkan, para wakil rakyat di DPR ter-lihat -cu-kup bersemangat mendukung upaya meningkatkan ke-sejah-teraan para penegak hukum. Setidaknya anggaran polisi belakangan ini naik hampir dua kali lipat. Ini tentu dengan harapan bila anggaran membaik, kinerja polisi akan tambah kinclong.

Harapan itu bukan mimpi di siang bolong. Sejarah me-nunjukkan, sampai akhir 1950-an reputasi polisi Indonesia di masyarakat cukup baik karena bertindak independen dan tak banyak digerogoti kanker korupsi. Pada kurun itu gaji polisi memang masih memadai untuk hidup ber-sahaja tapi bermartabat, dan sistem politik demokratis sedang berlangsung di Indonesia. Berlangsungnya pemerintahan otoriter dan inflasi gila-gilaan kemudian membuat polisi berubah menjadi alat kekuasaan yang amat korup.

Kini keadaan telah berubah. Indonesia hidup dalam sistem demokratis. Independensi polisi telah ditegakkan kembali melalui pemisahannya dari ABRI dan pemberlakuan Undang-Undang Kepolisian RI. Anggaran polisi telah dinaikkan drastis dan kemungkinan besar akan terus berlangsung pada tahun-tahun mendatang. Maka tak ada alasan untuk pesimistis bahwa polisi tak dapat dibe-nahi. Yang diperlukan adalah menjaga Jenderal Sutanto agar tetap berada dalam rel yang sekarang, dan untuk itu memang dibutuhkan pengawasan serta dukungan dari luar, dari kita semua. Sikat terus, Jenderal!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus