Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Berita Tempo Plus

MA Tidak Kebal Audit

Semua pungutan oleh lembaga negara terhadap rakyat harus masuk kas negara dan diaudit. MA tak terkecuali.

28 Agustus 2006 | 00.00 WIB

MA Tidak Kebal Audit
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution-: pemungutan biaya perkara perdata di Mahkamah Agung, yang tidak disetor ke kas negara, adalah praktek pungutan liar. Mahkamah Agung: pungutan itu lazim dan dipraktekkan banyak negara, sesuai de-ngan aturan hukum, BPK tak punya kewenangan mengaudit b-iaya perkara itu.

Kita tahu, pekan lalu ribut antara dua lembaga tinggi negara itu pun pecah, berkepanjangan, dan belum terdengar ada pemegang otoritas negara yang memberikan kata final.

Semestinya soal ini tidak rumit sekali, jika ego dan sikap partisan tidak ikut ditampilkan. Setiap pungutan oleh lembaga negara seharusnya masuk ke kas negara. Ini prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, hanya dengan kewenangan negaralah pungutan kepada masyarakat boleh dilakukan. Itu pun harus dijalankan dengan landasan hukum berupa undang-undang—yang merupakan manifestasi persetujuan rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat.

Selama ini, menurut BPK, yang disetor MA ke kas negara hanya Rp 1.000 untuk setiap perkara. Padahal, biaya perkara perdata di Mahkamah Agung besarnya bisa mencapai Rp 500 ribu sampai sekitar Rp 2,5 juta. Seluruh biaya perkara itu sesungguhnya termasuk pungutan yang harus masuk ke kas negara. Biaya perkara perdata jelas tergolong pendapat-an negara yang bisa dimasukkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain pajak, yang tergolong pendapatan negara adalah pendapatan negara bukan pajak dan lainnya. Biaya perkara perdata MA bisa masuk kategori penerimaan negara bukan pajak. Maka, sekali lagi, harus disetor ke kas negara.

Mahkamah Agung hanya boleh memakai dana yang sudah dialokasikan APBN untuknya. MA tidak boleh memungut sekaligus memakai dana biaya perkara perdata itu. Lembaga tertinggi hukum itu bukan perusahaan yang bisa melakukan pungutan terhadap pihak-pihak yang berhubungan ”bisnis” dengannya. MA juga bukan negara di dalam negara yang boleh punya aturan tersendiri dalam memungut dan memanfaatkan uang yang dipungutnya dari pihak yang berperkara. Selain rawan konflik kepentingan, MA juga patut memberikan teladan dalam menyelenggarakan aturan main yang benar di Republik ini.

Bisa dipahami jika anggaran MA sebesar Rp 2,3 triliun dalam APBN 2006 tidak cukup untuk menghidupi lebih dari 400 pengadilan negeri, lebih dari 30 pengadilan tinggi, dan membayar gaji lebih dari 6.000 hakim. Tapi tetap saja MA tidak boleh berlaku seperti badan layanan umum yang boleh mengelola dana yang dipungutnya dari masyarakat. Jika anggarannya tak cukup, MA harus mengajukan permintaan tambahan dana kepada negara. Tidak boleh ada pemasukan dana yang tidak dilaporkan di lembaga pengawal akhir hukum kita itu.

Artinya, seperti juga lembaga negara yang lain, MA harus tunduk kepada aturan untuk menjaga akuntabilitas keuangan negara, termasuk keharusan untuk diaudit. Badan Pemeriksa Keuangan jelas mempunyai kewenangan memeriksa semua dana APBN. Kewenangan itu bahkan di-berikan oleh konstitusi. Dalam kasus biaya perkara per-data, yang menurut kami jelas merupakan uang negara yang harus masuk APBN, kewenangan BPK juga tidak boleh dihalangi oleh para petinggi di MA.

Keharusan menjalani audit ini juga tetap wajib si-fatnya seandainya pun saran Mahkamah Konstitusi untuk meng-hapus biaya perkara perdata didengar oleh MA.

Pada zaman rakyat menuntut transparansi di semua lini seperti sekarang ini, Mahkamah Agung perlu menunjukkan bahwa garda terakhir hukum Indonesia itu juga terbuka untuk diperiksa pihak yang ditunjuk konstitusi. Dengan begitu, debat yang tak perlu bisa dibuang jauh-jauh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus