HUBUNGAN diplomatik Indonesia dan Belanda nyaris memanas. Ini gara-gara sebuah wawancara khusus wartawan Step Vaessen dari TV NOS Belanda dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra. Wawancara itu dilakukan Senin pekan lalu di lantai tujuh Gedung Departemen Kehakiman di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Interview di siang itu semula berjalan lancar. Pertanyaannya seputar kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak lagi memberikan hak bebas visa kepada warga Belanda yang hendak berkunjung ke Indonesia. Yusril menjawab lancar. Namun suasana terasa tak enak ketika si wartawan menyebut kebijakan itu diskriminatif, karena negara tetangganya seperti Belgia mendapat fasilitas bebas visa.
Dianggap pilih kasih, Yusril tak terima. Menteri dari Partai Bulan Bintang itu menyebut aturan itu adalah hak negara berdaulat. Pemerintah Belanda melakukan hal yang sama kepada warga Indonesia untuk meminta visa ke Kedutaan Belanda, jika hendak pergi ke Belanda. Padahal Suriname, yang lebih pendek dijajah Belanda, diberi hak bebas visa. "Bahkan menteri pun harus menunggu 18 hari untuk mendapatkan visa. Jadi, respek apa yang diberikan pemerintah Anda?" tuding Yusril.
Suasana wawancara yang "panas" tak hanya sampai di situ. Ketika Vaessen mulai mencecar soal revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dianggapnya terlalu banyak campur tangan negara dalam persoalan pribadi, terutama soal hukuman bagi perzinaan dan homoseksual, Yusril pun langsung senewen. "Jangan samakan kami dengan Belanda, di mana samen leven bebas dan homoseksual direstui pernikahannya oleh pemerintah. Kumpul kebo akan menjadi masalah jika ada pengaduan dari masyarakat yang terganggu," ujar Yusril.
Yusril bertambah berang ketika disebut-sebut Indonesia masih banyak melanggar hak asasi. Yusril menjawab panjang lebar, soal pelanggaran hak asasi di Indonesia. Tetapi, katanya, Belanda jangan seperti pahlawan hak asasi. Mereka telah melakukan pembantaian dan pembunuhan di sini, bahkan ketika Indonesia sudah merdeka, Belanda masih melakukan genocide yang dilakukan Westerling tahun 1946 di Bandung. Peristiwa pembantaian 5.000 orang di Karawang-Bekasi, dan pembunuhan 40 ribu orang di Sulawesi Selatan. Ketika Westerling pulang ke Belanda, dia diberi bintang kehormatan oleh Ratu Belanda. "Apa dia (Westerling—Red.) dihormati karena melakukan genocide di sini?" kata Yusril kesal.
Selanjutnya Yusril mengatakan, kalau Belanda mau adil, seharusnya Belanda membuat investigasi selama penjajahan di Indonesia, termasuk apa yang dilakukan Westerling di sini. Karena masih ada anak buah Westerling yang kini hidup aman saja di Breda tanpa pernah dipermasalahkan. "Saya tidak suka dengan ketidakadilan, I hate them," katanya.
Wawancara itu ditayangkan pada hari Selasa di Belanda. Komentar Yusril menggemparkan Negeri Kincir Angin, terutama dikipasi koran-koran lokal yang menulis berita dengan mengutip sepenggal pernyataan Yusril, sehingga kehilangan konteks aslinya. "Menteri benci orang Belanda," tulis sebuah koran lokal. Akibatnya, beberapa anggota parlemen Belanda marah. Politikus Geert Wilders dari Volkspartij voor Vrijheid en Demo meminta Menlu Belanda memanggil duta besar Indonesia. Politikus yang lain, B. Kuenders, berharap pelanggaran hak asasi di Indonesia tidak dibebankan pada sejarah masa lalu.
Menghadapi desakan politikus dari partai besar di Belanda, pemerintah setempat memanggil duta besar Indonesia di Den Haag. Karena Dubes Muh Yusuf sedang di Jakarta, ia diwakili Nunik Turniyati Joko untuk bertemu dengan Direktur Asia Oceania Belanda, Robert Milders.
Namun pemerintah Belanda pun agaknya tak mau memperpanjang polemik. Duta Besar Belanda di Indonesia, Ruuj Treffers, mengatakan bahwa Yusril dalam wawancara dengan TV NOS tak mengatakan membenci rakyat Belanda. Kepada pers di Jakarta, Treffers mengatakan, "Masalah itu tak akan mengganggu hubungan diplomatik kedua negara yang selama ini telah terjalin dengan baik." Syukurlah tak ada apa-apa.
Edy Budiyarso, Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini