Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktu, kata orang, menyembuhkan segalanya. Namun yang sering tak terucapkan adalah persoalan "berapa lama?" Sebab, setahun tampaknya belum cukup untuk membuat luka akibat tragedi bom Bali tersembuhkan. Kendati lubang raksasa yang menganga di bekas diskotek Sari memang telah tak lagi tampak, meskipun semua reruntuhan akibat bom laknat di Legian telah dibersihkan, kesedihan dan kemarahan yang muncul akibat kekejian aksi teror itu belum jua menguap habis.
Padahal telah banyak yang berubah dalam setahun. Selain pemulihan kerusakan fisik di lokasi populer para turis asing tersebut, roda hukum pun telah bergulir kencang. Hampir semua anggota komplotan jahat penyebab kekejaman ini telah tertangkap dan diganjar hukuman berat oleh pengadilan—sebagian besar di antaranya dengan vonis mati. Tapi darah memang tak pernah bisa dibayar lunas dengan darah lain. Apalagi hanya satu dari semua pelaku yang diadili menyatakan menyesal. Yang lain menerima keputusan hakim dengan tetap menampilkan perlawanan, bahkan seolah menepuk dada sebagai martir. Sejenak kita pun sempat terpana oleh keganjilan ini, dan bertanya-tanya adakah wajah yang tersenyum itu gambaran wajah iblis yang sedang menampakkan diri.
Waktu, kata orang, menyembuhkan segalanya. Tapi kita lupa bertanya: berapa lama?
Yang belum kita lupakan adalah fakta bahwa lebih dari 200 orang telah tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Bahwa bersama dengan melayangnya nyawa para korban, turut lenyap citra Bali sebagai pulau dewata para turis. Bahwa bagi penduduk setempat, bom teroris itu adalah bagai buah khuldi yang menyebabkan Nabi Adam tercampak dari surga.
Namun bukan berarti tak ada hikmah di balik tragedi kemanusiaan ini. Seperti kata pepatah Inggris, "Setiap gumpalan mega memiliki tepian peraknya," terbukti ledakan bom tak hanya menyebabkan jatuhnya korban dan robohnya bangunan, tapi juga memicu munculnya tindakan kepahlawanan Haji Agus Bambang Prianto, juga membangkitkan kesadaran umat Islam negeri ini—yang umumnya moderat—untuk merenggut kembali citra agamanya yang telah dibajak oleh kaum radikal.
Bangsa Indonesia juga belajar untuk bereaksi lebih rasional. Setidaknya sukses aparat kepolisian di bawah pimpinan Jenderal Made Pastika menunjukkan bahwa melalui penyidikan berbasis ilmiah, tanpa perlu menyiksa orang untuk mendapatkan keterangan, jaringan teroris berskala internasional dapat dibongkar dalam waktu yang cukup cepat. Prestasi yang mendapat pengakuan dunia dan membuat kita boleh turut merasa bangga. Suatu perasaan yang belakangan ini, terutama setelah krisis moneter terjadi, terasa begitu langka.
Waktu, kata orang, menyembuhkan segalanya. Tapi pengorbanan tak pernah boleh sia-sia.
Bom Bali, serangan teroris yang memakan korban paling besar di negeri ini, memang telah melesakkan rasa sedih dan marah yang luar biasa, tapi juga memicu kebangkitan rasa kemanusiaan kita. Di satu sisi kita dikejutkan oleh kenyataan adanya sekelompok manusia Indonesia yang begitu bengis dan sekaligus piawai dalam melakukan aksi teror, tapi di sisi yang lain kita belajar bahwa kelompok ini relatif sangat kecil jumlahnya dan bukan lawan yang terlalu sulit untuk ditaklukkan, terutama jika kebanyakan anak bangsa sepakat untuk melawan.
Kesepakatan itu, syukur alhamdulillah, kelihatannya semakin bergulir, sehingga kekhawatiran yang diungkapkan Sir Edmund Burke, pemikir tersohor Inggris yang mengatakan "persyaratan utama yang dibutuhkan oleh kekuatan jahat untuk berkuasa hanyalah bahwa orang-orang baik tak berbuat apa-apa," tak menjadi kenyataan. Sebaliknya, kita justru melihat bahwa para pemuka agama yang menyebarkan ajakan sejuk semakin populer dan yang menebarkan kemarahan dan syak wasangka semakin ditinggalkan.
Kendati demikian, kesiagaan tetap tak boleh dikendurkan. Edmund Burke, anggota parlemen Inggris pada abad ke-18 itu, juga sering mengatakan "lebih baik diolok-olok karena terlalu waspada ketimbang hancur akibat kelewat percaya diri." Pasalnya, kehadiran kelompok radikal, ibarat virus flu, tak dapat dilenyapkan sama sekali di dalam sebuah masyarakat yang demokratis dan terbuka. Yang dapat dilakukan hanyalah meminimalkan potensi kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh mereka, antara lain dengan terus-menerus meningkatkan kualitas demokrasi kita. Seperti badan yang sehat membuat virus penyakit tak mampu menjalankan aksi jahatnya, badan yang lemah mudah dihancurkan secara fatal bahkan oleh kegiatan virus flu sekalipun.
Waktu, kata orang, menyembuhkan segalanya. Tapi tak boleh dilupakan bahwa kesehatan (apa pun) adalah sesuatu yang harus terus-menerus dipelihara.
Jika peristiwa bom Bali semakin menyadarkan kita untuk terus-menerus meningkatkan kesehatan demokrasi negeri ini, luka hati sanak saudara para korban mungkin lebih mudah dan lebih cepat sembuh. Sebab, pengorbanan yang paling menyakitkan adalah yang sia-sia, yang tak menemukan makna.
Memang waktu, kata orang, menyembuhkan segalanya. Tapi satu tahun tidaklah cukup....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo