Tamansiswa menyatakan bebas rokok. Siswa atau guru bisa dipecat kalau ketahuan merokok. Tamu? Diharap rikuh mengisap rokok. PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional dipaskan dengan kelahiran Ki Hadjar Dewantara, pendiri Tamansiswa, 2 Mei. Namun, Tamansiswa, dalam peringatan pekan lalu, mengeluarkan amanat yang tak pernah disinggung pendirinya: "keluarga Tamansiswa dilarang merokok di lingkungan perguruan itu". Ketentuan no smoking itu diumumkan dalam surat pernyataan yang diteken Ki Suratman, Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa, dan disebarluaskan ke semua jajarannya. Dalam surat "bebas rokok" itu disebutkan setiap siswa dan mahasiswa, pamong (guru dan dosen), dan karyawan perguruan Tamansiswa selayaknya tak merokok. Alasannya, merokok mengganggu kesehatan, menghambat konsentrasi belajar, mengakibatkan pemborosan, dan mengunggulkan kenikmatan. Memang setelah pembacaan pengumuman tersebut, menurut Panitera Umum (Sekjen) Majelis Luhur Tamansiswa, Ki Moesman Wiryosentono, yang mengikuti upacara di pusat Tamansiswa Yogyakarta, para peserta upacara hanya senyum-senyum. Satu hingga dua hari, sejak larangan itu, di lingkungan kantor pusat Majelis Luhur Tamansiswa sudah tak kelihatan lagi asap mengepul dari mulut pamong, pegawai, atau siswa. Semula gerakan antirokok di lingkungan Perguruan Tamansiswa dilakukan bertahap. Pertama, pamong dilarang merokok kalau sedang berdiri di depan kelas. Setelah itu, kawasan bebas rokok semakin dilebarkan. Pamong juga tak boleh merokok di ruang guru. Namun, sekarang tak ada ampun lagi. "Pokoknya, peraturan sampai batas pagar setiap sekolah Tamansiswa," kata Ki Suratman, yang mengaku belum pernah merokok hingga berusia 68 tahun ini. Bagi yang melanggar, menurut Ki Suratman, sanksinya tak tanggung-tanggung. "Tinggal pilih, berat merokok atau berat Tamansiswanya. Kalau berat merokok, ya silakan cari sekolah lain," katanya. Sanksi akan diberlakukan bertingkat. Yakni berupa peringatan yang diumumkan sebulan sekali, setiap upacara tanggal 17. Kelihatannya memang ringan. Namun, kata Ki Suratman, kalau nama pelanggar larangan itu diumumkan dalam upacara, tertawaan teman-teman mereka saja sudah membuat yang bersangkutan menjadi malu. Jika perokok ini tetap membandel, katanya, mereka terpaksa akan diskors. Kalaupun masih tetap saja, ya silakan pilih merokok atau keluar. Diakui Ki Moesman, pelaksanaan gerakan antirokok ini memang berat. Padahal, katanya, tak sedikit pamong yang tak lancar menghadapi siswa jika tak merokok lebih dahulu. Maka, dalam jangka waktu enam bulan pelaksanaannya, tentu masih akan ada kekacauan. "Yang penting, Perguruan Tamansiswa harus konsisten dengan gerakan antirokok ini," katanya. "Istri saya sih senang-senang saja dengan larangan merokok itu, tapi saya menderita," keluh seorang pamong yang tak mau disebut namanya. Padahal, rokok, katanya, sudah merupakan kebutuhannya. "Kalau tak merokok, sulit bagi saya untuk berpikir," kata lelaki yang rata-rata sehari menghabiskan tiga bungkus rokok. Tampaknya, para pamong yang kecanduan rokok bisa mendapat kelonggaran. "Sebab, kalau memecat pamong, yang kebetulan tertangkap basah itu, misalnya guru fisika yang jumlahnya hanya satu, kan repot mencari gantinya," ujar Ki Suratman terus terang. Namun, katanya, pamong tentunya gampang diajak ngomong. "Jadi, mereka akan malu kalau tak memberikan teladan bagi para siswa," katanya. Bagaimana kalau ada tamu perokok yang masuk ke wilayah Tamansiswa? "Kami belum bisa menerapkan aturan antirokok ini pada para tamu. Hanya kami akan memperbanyak tulisan kawasan bebas merokok. Kami harapkan tamu akan rikuh kalau tahu melanggar," kata Ki Suratman. Artinya, yang wajib hanya anak buah para "Ki" Tamansiswa. Siapa menyusul? Gatot Triyanto (Jakarta) dan R. Fadjri (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini