Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Menuntut ilmu mengatrol pangkat

Perumtel menerima pendaftaran mahasiswa baru untuk sekolah tinggi teknologi telekomunikasi (stt telkom). diharapkan bisa memenuhi kebutuhan di perum- tel.beberapa departemen memiliki perguruan tinggi.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa sekolah departemen dibubarkan. Lebih enak merekrut sarjana dari luar. Tapi Perumtel membuat sekolah sendiri. Bisa menghasilkan tenaga terampil, tapi juga sekadar mengatrol pangkat. LEMBAGA dan instansi pemerintah masih saja suka membuat perguruan tinggi, walau di luar universitas sudah menjamur. Tenaga sarjana yang antre berebut pekerjaan dianggap belum memadai untuk tugas-tugas khas di lembaga pemerintah dengan tingkat penghasilan yang rata-rata di bawah swasta. Untuk mencukupi kebutuhan itu, Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel) Rabu pekan lalu mulai sibuk menerima pendaftaran mahasiswa baru untuk sekolah yang baru didirikan, Sekolah Tinggi Teknologi Telekomunikasi (STT Telkom). Sekolah yang disiapkan tahun lalu untuk karyawan di lingkungan Perumtel itu mulai tahun ini menerima mahasiswa umum dengan iming-iming yang menggiurkan, yakni ikatan dinas bagi mahasiswa "terbaik". STT Telkom, kata Dirut Perumtel Cacuk Sudarijanto, memang lain sama sekali dengan Akademi Postel yang dibubarkan 1972. Kecuali mencetak sarjana, sekolah tersebut juga akan menghasilkan tenaga ahli telekomunikasi dan manajemen di bidang itu. Menurut Cacuk, lewat sekolah itu, Perumtel punya target pengembangan sumber daya manusia menjelang tahun 2000. Ia mulai berhitung. Nantinya, dengan tenaga yang terampil, akan dicapai tingkat efisiensi 12 orang untuk mengurus 1.000 sst (satuan sambungan telepon). Dalam catatannya, tiga tahun lalu rata-rata 1.000 sst ditangani 40 pegawai, dan tahun ini 27 orang. Kalau target tahun 2000 tercapai tujuh juta sst, menurut dia, Perumtel perlu 4.400 tenaga ahli teknik dan sarjana. Jumlah itu, katanya, tak mungkin ditutup sarjana dari luar. "Apalagi, berdasarkan pengalaman, lulusan yang memenuhi persyaratan masih jauh dari yang diharapkan," ujarnya. "Dan lagi, saya panik, kebutuhan tak terkejar kalau hanya mengandalkan dari lulusan perguruan tinggi." Untuk itulah, Perumtel mendirikan sekolah itu dengan target tahun ini bisa menjaring 900 mahasiswa dari luar dan 100 orang karyawan Perumtel sendiri. Mulai tahun lalu, sekolah di bawah Yayasan Pendidikan dan Latihan Manajemen Teknologi Telekomunikasi ini telah mendidik 217 karyawan di lingkungan Perumtel untuk program D-3. Begitu iklan dipasang Selasa pekan lalu, sudah tercatat ada 1.500 calon mendaftar dan masih terus bertambah. "Nantinya 90 persen lulusan terbaik akan langsung ditampung Perumtel," kata Direktur Personalia Perumtel, Dadad Kustiwa, pada Riza Sofyat dari TEMPO. Sekolah dengan dua jurusan ini -- teknik telekomunikasi dan teknik-manajemen industri -- tak beda dengan perguruan tinggi lain. Untuk menjadi sarjana, seorang mahasiswa harus menyelesaikan 160 SKS selama empat tahun. Perumtel memang baru punya sekolah baru, sementara departemen lain sudah lama memelihara perguruan tinggi khas di bawah sayapnya. Departemen Kesehatan, misalnya, punya Akademi Gizi di Jakarta yang sudah berusia 40 tahun. Sudah seribu lebih ahli gizi yang diluluskannya. Kini, menurut Direktur Akademi Gizi Jakarta, Ny. S.W. Soekirman, tamatannya tak mesti terpaku bekerja di Departemen Kesehatan. "Asal sudah menyelesaikan wajib kerja selama tiga tahun," tuturnya. Departemen Kesehatan paling tidak punya 20 jenis lembaga pendidikan tingkat SMTA atau akademi dan meluluskan sekitar 70 ribu orang. Sekarang ini, kata Dr. Noegroho Iman Santoso, Kepala Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes, sudah seimbang antara jumlah lulusan dan permintaannya. "Tak ada kekhawatiran akan kelebihan lulusan," katanya. Di Departemen Keuangan, urusan sekolah dikelola Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan (BPLK). Menurut Kepala BPLK Prof. Sukanto Reksohadiprodjo, mahasiswa digembleng dalam bidang akuntansi, bea cukai, anggaran, pajak, dan pegadaian. Untuk lulus dari sekolahnya dan kemudian bekerja di tempat "basah" itu memang tak gampang. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), misalnya, menerapkan sistem SKS murni secara ketat. Jika mahasiswa tak lulus, kontan dikeluarkan. Lulusan STAN dikenai ikatan dinas 18 tahun untuk ajun akuntan (D-3), dan akuntan (D-4) selama 24 tahun. Sukanto kurang sepaham kalau departemennya bisa merekrut sarjana dari luar dan langsung siap pakai. "Biaya menyelenggarakan pendidikan akuntan lewat BPLK ini lebih murah dibanding mengambil tenaga sarjana luar dan harus menyekolahkan lagi," katanya. Dan lagi, mutunya pun belum tentu bisa diandalkan. Memang lulusan STAN termasuk laris. Banyak yang diincar pihak swasta. Beberapa akuntan dibajak bank atau perusahaan swasta. Ada yang berani memberi ganti rugi Rp 10 juta untuk lulusan D-3 atau Rp 30 juta untuk lulusan D-4. Lain lagi dengan mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) di bawah naungan Lembaga Administrasi Negara (LAN). Mereka adalah para pegawai negeri yang disekolahkan untuk administrasi dan manajemen. Diakui Ketua STIA Achmad Husaeni, motivasi mahasiswa terutama untuk mengatrol pangkatnya. "Kalau sudah diwisuda, biasanya bertumpuk permohonan legalisasi peninjauan kepangkatan," katanya. Karena itu, produksi sarjana dan sarjana muda pun besar sekali, sekitar 11.175 orang. Hampir setiap departemen punya lembaga pendidikan khas. Mereka memproduksi sarjana, untuk menambah keahlian maupun mengatrol pangkat. Namun, lulusannya sebagian besar diserap, tidak serta-merta memperpanjang antrean sarjana yang mencari pekerjaan. Gatot Triyanto, Linda Djalil, dan Idrawan (Jakarta).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus