Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sofyan Dawood hanya satu dari belasan bekas Panglima Wilayah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang muncul di panggung kampanye Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar pada 6 Desember lalu. Tapi hanya dia yang berani mengucapkan janji di depan seribu lebih orang yang memadati lapangan Blang Padang di pusat kota Banda Aceh pada Minggu petang itu.
Bang Yan—begitu Sofyan biasa di-panggil—dengan tegas menunjuk ke arah Irwandi, lalu berkata: “Saya pilihkan kandidat yang paling pantas memimpin Aceh. Bila dia menyimpang, berikan ke saya. Biar saya yang menghukum dia.”
Massa bersorak menyambut ucapan juru bicara Komite Peralihan Aceh itu. Komite tersebut adalah wadah sayap militer GAM sejak nota Kesepakatan Helsinki ditandatangani pada Agustus 2005.
Ramalan Sofyan agaknya terbukti. Hingga laporan ini diturunkan pada Jumat pekan lalu, Irwandi dan Nazar unggul di posisi pertama. Pasangan Humam-Hasbi yang disokong pemimpin GAM di Swedia menempati urutan kedua. Mayoritas rakyat Aceh tampaknya berkenan menyerahkan suara kepada GAM. Maka, usailah sudah suasana panas yang sempat melanda lingkaran elite Gerakan Aceh Merdeka sebelum pilkada. Kepada Tempo yang menghubunginya melalui telepon, Sofyan berkata, “Ini kemenangan rakyat Aceh.”
Sofyan, bekas Panglima Wilayah Pase dan para elite GAM lainnya, mafhum bahwa kiblat perjuangan sudah berubah arah. Naik-turun gunung menyandang AK-47 telah menjadi masa lalu. Tahap berikutnya adalah mengubah diri menjadi organisasi legal. Lalu, menuntaskan janji perbaikan kesejahteraan bagi provinsi kedua termiskin se-Indonesia itu.
Tak ada kata yang menyebut GAM mesti bubar dalam nota Helsinki. Yang ada adalah paling lambat Februari 2007 pemerintah wajib mengakomodasi aturan partai politik lokal. “Enam bulan setelah aturan disahkan, GAM mesti mengubah diri menjadi partai,” kata Peter Feith, kepala Aceh Monitoring Mission.
Malik Mahmud, Perdana Menteri GAM di Swedia yang hampir sebulan berada di Aceh, enggan menyebut target waktu karena sejumlah perbedaan masih mengemuka, bahkan untuk sekadar urusan nama. Umpamanya, pemerintah menginginkan GAM beralih nama menjadi Gerakan Aceh Membangun.
Hal-hal ini harus dibereskan pemimpin Aceh yang baru nanti bila Gerakan Aceh Merdeka mau ikut berlaga di Pemilu 2009. Untuk soal partai politik, Malik mengatakan, “Komitmen membuat partai politik lokal sudah kami pegang sejak di Swedia,” ujarnya kepada Tempo.
Soal yang jauh lebih mendesak adalah menuntaskan janji-janji pengentasan kemiskinan semasa kampanye. Juga, membantu para personel GAM dalam proses reintegrasi. Simak penuturan Abdul Gani, 47 tahun, kepada wartawan majalah ini. Dia mengaku sebagai bekas Komandan Logistik GAM Kabupaten Pidie. Namun, sisa kemakmuran seorang komandan logistik tidak terlihat.
Rumahnya di Kecamatan Pidie—se-buah bangunan kayu kuno—yang sempat ditengok Tempo memang cukup besar, tapi pengasilan dia tidak punya. Di halaman rumahnya, bekas panglima itu bertanam cabai, bawang, dan tomat untuk memenuhi kebutuhan dapur. Karena itu, dia masih berharap mendapat bagian dari uang kompensasi bagi para bekas prajurit GAM.
Sepekan sebelum pilkada, memang ada 3.000 cek senilai Rp 750 miliar yang telah berpindah tangan dari pemerintah pusat kepada 15 panglima wilayah. “Dulu katanya akan dibagi rata walaupun hanya 50 ribu per satu orang,” kata Gani.
Ekonomi adalah satu problem, tapi soal lain yang juga mengusik adalah pertanyaan beberapa kalangan tentang merdeka-tidaknya Aceh setelah GAM berkuasa.
Irwandi menegaskan kepada Tempo: “Merdeka tidak ada dalam nota damai. Jadi, tak perlu paranoid.” Dia berjanji akan bekerja sama dengan semua pihak, termasuk Jakarta.
Dia juga mengaku tidak merasa keberatan apabila, sebagai gubernur, dia harus dikawal polisi ke mana-mana.
Yang lebih berat barangkali menghadapi “pengawalan” Sofyan Dawood dan 15 bekas panglima GAM lainnya.
Kurie Suditomo (Jakarta), Eduardus Karel Dewanto dan Adi Warsidi (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo