Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pencetus Aksi Kamisan, Maria Catarina Sumarsih, mengungkapkan kekhawatirannya mengenai perluasan penempatan prajurit TNI aktif di lembaga negara lewat Revisi UU TNI. Sumasih mengaku cemas Revisi UU TNI berpeluang mengembalikan dwifungsi TNI, yang pada masa era Orde Baru disebut dwifungsi ABRI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumarsih menyoroti aksi protes yang dilakukan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) saat menggeruduk rapat panitia kerja pembahasan Revisi UU TNI di Hotel Fairmont, 15 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dan bila dinyatakan melanggar hukum, bukankah negara dalam hal ini eksekutif, legislatif, dan yudikatif, juga melanggar hukum? Sebab membunuh itu dilarang oleh Tuhan dan juga oleh konstitusi,” kata Sumarsih sambil memegang secarik kertas petisi penolakan Revisi UU TNI di Jakarta, 17 Maret 2025.
Sumarsih merupakan ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, seorang mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia merupakan satu dari 17 korban tragedi Semanggi I. Sumarsih tidak pernah luput berdiri di depan Istana Negara Jakarta sejak 18 Januari 2007. Aksi ini merupakan bentuk protes para keluarga korban Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok, dan pembunuhan aktivis Munir.
Sumarsih menyebut hingga saat ini TNI maupun Polri tidak pernah dibawa ke pengadilan atas pelanggaran HAM berat penghilangan paksa dan pembunuhan pada 1997-1998. Bahkan, kata Sumarsih, berkas penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti pada 2002 tidak pernah ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung hingga saat ini.
“Hal ini menimbulkan pendapat saya bahwa negara kita, Indonesia, melakukan impunitas,” ujarnya. “Jadi, saya berharap peserta rapat panja revisi Undang-Undang TNI, baik pihak DPR RI dan pemerintah maupun kepolisian, hendaknya introspeksi diri bahwa telah terjadi ketidakadilan atas tindak kejahatan TNI di masa lalu, yang hingga saat ini belum dipertanggungjawabkan oleh negara.”
Sebelumnya, prajurit TNI banyak terlibat dalam permasalahan domestik seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), distribusi gas elpiji, ketahanan pangan, penjagaan kebun sawit, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta penertiban dan penjagaan kawasan hutan, bahkan sampai pengelolaan ibadah haji.
Reformasi ABRI/TNI
Ketakutan terkait dwifungsi TNI ini berakar dari dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ketika Orde Baru, dwifungsi ABRI ini merupakan sebuah konsep dan kebijakan politik yang mengatur fungsi ABRI dalam tatanan kehidupan bernegara. Seperti namanya, dwifungsi yaitu selain menjalankan perannya sebagai kekuatan pertahanan di Indonesia, ABRI juga menjalankan tugas sebagai pengatur negara.
D.W Firdaus dalam jurnalnya Kebijakan Dwifungsi ABRI dalam Perluasan Peran Militer di Bidang Sosial Politik tahun 1966-1998 (2016), gagasan mengenai dwifungsi ABRI sudah ada sejak awal pemerintahan Orde Baru yang digagas A.H. Nasution dan disebut dengan konsep jalan tengah.
Dwifungsi ABRI kemudian dilegalkan oleh Soeharto pada 1982 melalui Undang-undang nomor 20 tahun 1982. Berangkat dari gagasan tersebut ABRI berhasil melakukan dominasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif pada pemerintahan Orde Baru. Sejak era 1970-an, sudah banyak perwira aktif ABRI yang menduduki kursi di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi. Hal ini tentunya berpengaruh pada kondisi sosial dan kehidupan politik di Indonesia.
Namun, dilansir dari artikel ilmiah Dwifungsi TNI dari Masa ke Masa karya Azwar dan Suryana (2021), dwifungsi ABRI perlahan dicabut saat reformasi, lantaran dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan oleh oknum militer maupun Soeharto sendiri.
Pada dasarnya, reformasi 1998 merupakan puncak akumulasi ketidakpuasan masyarakat Indonesia atas tatanan dan penyelenggaraan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dinilai banyak mengalami penyimpangan.
Dinukil dari artikel ilmiah berjudul 25 Tahun Reformasi: Mengawal Upaya Mewujudkan Supremasi Hukum dan Meningkatkan Kualitas Demokrasi di Indonesia (2023) oleh Udiyo Basuki dan Rudi Subiyakto yang dipublikasikan melalui Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam, para pendukung reformasi ketika itu memiliki enam poin tuntutan.
Keenam tuntutan tersebut ialah penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, amandemen UUD 1945, adili Suharto dan kroni – kroninya, penghapusan dwifungsi ABRI, serta pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Penghapusan dwifungsi ABRI terjadi pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Berawal dari seminar Angkatan Darat pada 22-24 September 1998 bertema Peran ABRI di Abad XXI. Dalam seminar itu, dihasilkan pemikiran untuk melakukan reformasi dalam tubuh TNI. Kalangan pimpinan TNI pada saat itu memiliki determinasi supaya TNI kembali menjadi tentara profesional sebagai lembaga pertahanan negara.
Karenanya Menteri Pertahanan dan Keamanan saat itu, Jenderal Wiranto, dibantu oleh Kepala Staf Sosial Politik ABRI, Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, serta pimpinan TNI lain merasa perlu mengurangi peran TNI dalam politik. Mereka pun secara bertahap menarik diri dari kegiatan politik dan pemerintahan.
Semangat ini berlanjut dalam kepemimpinan Gus Dur, dengan melakukan reformasi dalam tubuh TNI. Pada masa kepemimpinannya yang sangat pendek (1999-2001), ia telah memisahkan Polisi Republik Indonesia (Polri) dengan TNI.
Gus Dur juga mencabut dwifungsi ABRI sehingga mengakibatkan TNI harus melepaskan peran sosial-politiknya. Sejak saat itu, militer aktif tak lagi bisa berpartisipasi dalam politik partisan maupun menempati jabatan sipil.
Lebih lanjut, dalam pemerintahannya, Gus Dur mencoba memberikan ruang seluas-luasnya bagi kelompok sipil untuk memberikan sumbangsih dalam pembinaan pertahanan negara. Hal ini terlihat dari penghapusan fraksi TNI-Polri dari parlemen.
Selain itu juga terlihat dari penunjukan Menteri Pertahanan (Menhan) kepada orang sipil. Perlu diingat, semenjak 1959 jabatan Menhan selalu diisi oleh orang militer. Beberapa hal ini adalah langkah kongkret upaya penghapusan dwifungsi ABRI pada era Gus Dur.
Eka Yudha Saputra dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.