Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wacana DPR RI untuk membahas revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali mencuat. Wacana serupa sempat muncul setahun lalu, pada Mei 2023. Revisi UU TNI yang akan kembali digodok untuk direvisi itu dinilai dapat memicu kembalinya Dwifungsi ABRI seperti era Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam draf revisi yang sempat bergulir pada Mei 2023, terdapat pasal yang memperluas peran TNI di ranah sipil. Peneliti, akademisi hingga koalisi masyarakat sipil pun saat itu ramai mengkritik upaya revisi ini karena dianggap memberikan ruang bagi TNI untuk berpolitik, padahal tentara seharusnya dipersiapkan sebagai alat pertahanan negara, bukan untuk mengisi jabatan-jabatan sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya Pasal 3 ayat 1 yang semula berbunyi, “Pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden” diubah menjadi “TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah Presiden”. Kemudian, dalam Pasal 3 ayat 2 ditambahkan bahwa “Dalam hal dukungan, anggaran TNI berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan”.
Hussein Ahmad, peneliti Imparsial menyoroti beberapa poin terkait draf rencana revisi UU TNI tersebut. Menurut dia, ada beberapa masalah penting yang perlu diperhatikan. Pertama, soal perluasan peran TNI tidak hanya sebagai alat pertahanan tetapi juga sebagai alat keamanan. Kedua, mengenai pencabutan kewenangan Presiden untuk mobilisasi TNI. Ketiga, terkait penambahan jenis-jenis operasi militer selain perang dan perluasan jabatan-jabatan sipil untuk TNI. Kemudian ada mekanisme penganggaran TNI.
“Nah, ini sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa orde baru dengan peran sosial politik TNI, di mana TNI tidak hanya sebagai alat pertahanan, tetapi juga ada fungsi keamanan di sana, dan itu menyebabkan tugas-tugas TNI menjadi rancu,” ujar Hussein, dalam paparannya di Media Briefing dan Diskusi Revisi UU TNI dengan tema "Menyikapi Kembalinya Dwifungsi ABRI, Perluasan Kewenangan TNI, isu Peradilan Militer dalam Pembahasan RUU TNI di DPR pada 22 Mei 2024", yang digelar secara daring pada Ahad, 19 Mei 2024.
Hussein menekankan, ini dapat mengaburkan raison d'etre (alasan keberadaan) TNI yang seharusnya fokus pada pertahanan negara dari ancaman eksternal. Dia menyoroti penghapusan frasa "pengerahan dan penggunaan kekuatan militer" menjadi “TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan dan kedudukan di bawah Presiden” di Pasal 3 ayat 1 yang dapat diartikan sebagai upaya mengurangi kontrol Presiden terhadap TNI. Menurut dia, hal ini berpotensi memungkinkan TNI beroperasi secara mandiri tanpa otorisasi dari Presiden dan mengancam demokrasi.
Hussein juga mengingatkan bahwa dalam sistem demokrasi, angkatan bersenjata harus berada di bawah kendali penuh pemerintahan sipil, yaitu Presiden dan DPR. Penghapusan frasa tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 10 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, laut, dan udara. Jika kewenangan Presiden ini dihapus, TNI dapat kembali memiliki otonomi seperti pada masa Orde Baru, yang dapat mengarah pada situasi di mana TNI bertindak tanpa kendali pemerintahan sipil.
“Ini sangat berbahaya di dalam negara demokratik, manapun angkatan bersenjata itu di bawah kendali penuh pemerintahan sipil, dalam hal ini Presiden dan juga DPR,” kata Hussein.
Dia memberikan contoh kemungkinan bahaya dari perubahan UU TNI, seperti mobilisasi pasukan ke wilayah tertentu tanpa otorisasi Presiden atau situasi serupa pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, di mana Istana dikepung oleh TNI. Semua ini menunjukkan potensi risiko terhadap stabilitas demokrasi jika kontrol sipil atas militer dilemahkan.
“Itu berbahaya, dan itu yang kita khawatirkan sebagai pasal kudeta. Di mana Presiden tidak punya, dihapus kewenangannya dalam Undang-Undang ini, kemudian mengatur pengerahan presisi dan demobilisasi pasukan,” kata Hussein.
Mengenai kabar rencana pembahasan revisi UU TNI pada 22 Mei itu, Anggota Komisi I Dave Laksono mengatakan dirinya belum mengetahuinya. "Belum ada," kata dia saat dihubungi Ahad.
Dave juga menjawab senada saat ditanya kabar yang menyebut pembahasan revisi UU TNI dilakukan bersama revisi UU Polri yang tengah bergulir. "Tidak ada agenda pembahasan tersebut. Kan harus ada prosesnya, belum ada yang mulai," ujarnya.