PULAU Buru, 12 November 1979. Untuk pertama kalinya sejak
1969, pagi itu lonceng kerja tidak berdentang. Pos penjagaan
kosong. Para prajurit bergabung dengan penduduk asli serta
mereka yang tinggal, melihat kesibukan yang istimewa:
pemberangkatan rombongan tahanan G30S/PKI yang terakhir. Dengan
3 sekoci, 72 tahanan meninggalkan Air Mendidih menuju Teluk
Kayeli, Namlea, tempat berlabuhnya kapal R.I. Tanjung Pandan.
Beberapa tahanan menyalami Mayor CZI Daslim, Wakil Komandan
Inrehab untuk berpamitan. Banyak penduduk asli yang sejak subuh
buta telah dtang ke Mako (markas komando) untuk mengucapkan
selamat jalan pada "Mas Tapol", sambil mengharap
kenang-kenangan. Mereka yakin mas Tapol tidak akan membawa semua
barangnya ke Jawa.
Ikut meringkasi barang-barang "warisan" adalah keluarga bekas
tahanan dan tahanan bujangan yang bebas dan memilih menetap di
Buru. Jumlah mereka 89 orang, tidak termasuk penghuni desa
Savanajaya yang semuanya telah berkeluarga. Datang dengan
gerobak dorong, hasil "jarahan" mereka jelas lebih banyak.
Sejak sehari sebelumnya semua Unit resmi beku. Hanya 72 tahanan
yang tersisa di Inrehab. Mereka dikenal sebagai "orang-orang
Mako". Tahun-tahun sebelumnya mereka ikut membantu mengurus
teman mereka yang bebas. Kini tiba giliran mereka untuk
mengurus sendiri keberangkatan mereka.
Lebih dari 1500 sapi, kerbau dan kuda sudah masuk pool beberapa
hari sebelumnya. Sebagian telah dibagikan pada bekas tahanan
yang memilih tinggal. Puluhan dokar dan gerobak diparkir rapi di
halaman Mako. Semua alat kerja inventaris, dari cangkul sampai
mesin tulis telah masuk gudang. Begitu pula arsip seluruh unit.
Setelah hampir 10 tahun, tamatlah sudah riwayat Inrehab Buru.
Kini tidak lagi tahanan yang menghuninya, tapi orang-orang
merdeka, para transmigran. Inrehab Buru telah jadi sesuatu yang
silam. Mungkin ingin dilupakan.
Banyak cerita sedih dan menggetarkan tentang masa-masa awal
Inrehab ini, sejak rombongan pertama tahanan politik G30S/PKI
dikirim ke Buru pada bulan September 1969. Tanpa pengalaman
pertanian, dengan alat se derhana mereka membuka pemukiman
baru. Jumlah tapol di Buru pernah mencapai lebih dari 10 ribu
sebelum 1977 tatkala kclompok demi kc1onnpok, mereka mulal
dibebaskan. Tidali semua orang bisa bertahan di Buru. Pada 1974,
48 tahanan melarikan diri lewat hutan. Hanya 21 yang konon bisa
bertahan di hutan Buru yang buas sebelum akhirnya menyerah.
Mungkin benar seruan yang dikeluarkan Laksus Pangkopkamtibda
Maluku yang disebarkan setelah ada tahanan yang lari:
"Saudara-saudara telah terkepung dari segala jurusan dan alam P.
Buru tidak bersahabat."
Setelah 10 tahun para tahanan ini telah berhasil mengubah wajah
"alam yang tidak bersahabat ini". Dari hutan perawan, kini ada
3.326 ha tanah pertanian terbuka, 1.710 ha di antaranya berupa
sawah. Kebutuhan beras bisa mereka cukupi sendiri. Hasil
ladang, terutama jagung dan pisang, mengalir sampai Ambon.
Suplai telor bebek untuk Namlea dilayani penghuni dataran
Wayapu ini.
Ada beberapa dari 21 Unit Inrehab yang sanggup membeli sendiri
pesawat. TV sampai ukuran 24 inci. Bahkan ada yang mampu membeli
motor diesel pembangkit listrik. Hingga banyak yang bertanya
mengapa semua "kemakmuran" itu ditinggalkan untuk kembali ke
Jawa dengan kehidupan yang belum pasti.
Jawaban yang umum dan "resmi" adalah: ingin membuka halaman baru
dalam hidup masa depan. Tapi hampir semua berkesimpulan
"Pokoknya pulang". Rupanya kebebasan dianggap lebih berarti dari
segalanya buat mereka. Walau entah bagaimana nanti nasib yang
menunggu mereka.
Para tahanan itu telah pula mewariskan nilai-nilai dan kebiasaan
baru pada penduduk asli Buru. Yang penting mungkin, memperkenan
mereka dengan sistem pertanian yang produktif. Sebelumnya
penduduk asli hanya memukul sagu, mengail ikan dan menyuling
kayu putih dan membarternya dengan keperluan hidup mereka. Mulai
dari sasi (garam) sampai kotak suara (radio/kaset rekaman).
Sebelumnya tanaman mereka seragam: kasbi (ubi kayu), petatas
(ubi jalar) dan tobako (tembakau). Cili (cabai) tak perlu
ditanam sebab tumbuh liar di tepi hutan dari bibit yang
diberakkan burung. Para tahanan tidak saja kemudian
memperkenalkan sabit dan kored, tapi juga alat penyemprot hama
yang memakai tenaga tangan atau motor.
Tak heran, warisan seperti itu membuat rombongan transmigran
pertama, yang mendarat 3 Oktober lalu, tersenyum gembira.
"Hutannya kelihatan hijau, tentu subur," ucap Suparmo yang
berasal dari Ponorogo "Apalagi setelah melihat ladang jagung di
tepi sungai. Rimbun dan gemuk," ungkap Wahyu yang berasal dari
Malang. Ada 300 kepala keluarga transmigran yang kini menghuni 3
Unit eks kediaman tahanan.
Dibanding banyak transmigran di tempat lain, mereka memang lebih
beruntung. Sawah, ladang, jaringan irigasi, rumah, sekolah
bahkan tempat ibadah telah tersedia buat mereka.
Tidak berarti semua mulus buat mereka. Hama sundep, walang
sangit, kepik, ulat tentara sampai wereng bukan barang baru buat
Buru. Semua dapat teratasi bila insektisida datang tepat pada
waktunya. Pupuk TSP dan urea juga tidak boleh terlambat. Tanpa
pemupukan berjadwal tetap, tanah akan tidak subur.
Yang menggembirakan tak ada monyet yang bisa menjadi hama.
Banyak burung pipit, tapi tak pandai makan padi, malah doyan
wereng. Ayam asli Buru kecil, sedikit lebih besar dari burung
merpati. Ogah makan biji-bijian, tapi keranjingan makan ulat.
Perkawinan dengan ayam Jawa menghasilkan keturunan yang agak
besar, tapi tetap lebih doyan ulat.
Semuanya itu kini telah lampau. Didahului upacara di lapangan
Namlea sore sehari sebelumnya, 13 November pagi kapal KRI
Tanjung Pandan lepas sauh dan menetapkan haluan. Di dermaga
Namlea, penduduk melambaikan lenso melepas mereka ke masa depan.
"Saya tidak menyesal meninggalkan Buru," kata seorang bekas
tahanan beberapa minggu kemudian. Ia di Jakarta kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini